Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Akar Wangi Di Gurun Bauksit

Tambang bauksit di p. bintan menggunakan teknik penambangan terbuka & berpindah-pindah. merusak lapisan tanah subur & menyebabkan terbentuknya gurun. pada sisa penambangan dicoba penanaman akar wangi. (ling)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROYEK Asahanyang sedang dibangun di Sumatera Utara, diharapkan dapat melahap bahan-bahan dalam negeri. Bukan cuma dalam tahap konstruksi sekarang ini, tapi juga setelah produksi nantinya. Ada dua calon pensuplai alumina (Al2O3) yang diandalkan: Alcoa, di Kahmantan Barat, dan Proyek Alumina Pulau Bintan yang mau didirikan pemerintah dengan bantuan Soviet. Tapi baik kesediaan Alcoa, maupun bantuan Soviet bagi Pulau Bintan, sampai sekarang belum terdengar konfirmasinya. Bagaimana reaksi masyarakat Kepulauan Riau? Belum terdengar. Tapi baru-baru ini Bupati Riau Firman Eddy SH menginstruksikan para camatnya-terutama yang daerahnya jadi lokasi pertambangan -- agar lebih rajin mendesak para pimpinan perusahaan tambang untuk ikut membenahi lingkungan yang gawat. "Singkep." begitu tutur sang bupati kepada Rida K. Liamsi dari TEMPO, "kini sudah jadi daerah tandus dan semakin sulit dipulihkan." Ini akibat penambangan timah yang sudah puluhan tahun berlangsung. Sementara usaha penghijauan hampir tak dilakukan. Sehingga nanti, kalau usaha penambangan itu berakhir, "rakyat Singkep hanya akan mewarisi tanah gurun dan kemiskinan," ujar Firman Eddy. Para camat yang mendengar peringatan Bupati itu tak butuh kuliah panjang. Contoh terdekat adalah Bintan Timur tempat bercokol tambang bauksit, bahan mentah alumina. Gurun Kerikil Tambang bauksit itu dibuka tahun 1935. Kini gurun kerikil membentang di kiri-kanan jalan Kijang, sekitar 30 Km dari ibukota Kabupaten, Tanjung Pinang. Gurun kerikil itu beralur-alur bekas rembesan air hujan. Di musim panas, tanah merekah menguapkan debu yang bikin mata perih. Masih ada tetumbuhan di sana, mulai dari alang-alang, sampai cemara. Tapi warnanya serba kuning dan gersang. Penambangan yang dilakukan dengan berpindah-pindah menyebabkan gumn kerikil itu bak panu gundul merebak di sana sini. Beberapa kawasan yang dulu hijau oleh pepohonan karet dan buah-buahan, kini kurus kerontang. Kalaupun ada jalur hijau yang tersisa, rasanya hanya menunggu tanggal matinya saja. Setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir sudah lebih 4000 hektar gurun kerikil terkuak dari cadangan kawasan tambang bauksit yang seluruhnya 10 ribu hektar. Alias 40%. Mengembalikan Top Soil Untung saja perusahaan bauksit negara itu tak bekerja dengan kapasitas penuh. Kontrak dengan Jepang membuat perusahaan itu membatasi produksi hanya 1-1,3 juta ton saja setahun. Kalau kemampuan maksinal perusahaan itu dituruti -- yakni 2 juta ton setahun-luas kanker kerikil itu mungkin sudah lebih dari 5000 hektar. Teknik penambangan terbuka memang merusak lapisan tanah teratas yang subur (top soil) Lapisan ini tebalnya paling banter 20 sampai 100 Cm. Jadi begitu traktor penyodok melucuti punggung bukit bauksit itu, bermeter kubik tanah subur ikut terangkut ke bak truk untuk dibawa ke tempat pembersihan. Di situ lapisan top soil berikut tanah lainnya terkelupas dari bijih bauksit kemudian dihanyutkan ke tempat pembuangan. Dengan proses begini, "memang tak tersisa humus dari tiap jengkal tanah bekas penambangan," kata Gumelar, Kuasa Direksi Unit Penambangan Bauksit Kijang kepada TEMPO. Maka tak heran keadaan tanah bekas tambang bauksit itu betul-betul miskin. Yang bisa hidup hanyalah alang-alang. Itupun tak pernah hijau," ujar Gumelar. PT Aneka Tambang--induk semang UPBK --baru dalam 4 tahun terakhir memberi perhatian yang agak serius -meski baru dalam taraf penelitian. Satu regu peneliti dari Departemen Geologi ITB telah dikirim ke sana. Sebelumnya, Gumelar dan stafnya mencoba mengadakan penghijauan dengan sistim pot. Di bekas penambangan digali lubang-lubang sedalam 2 meter, kemudian diisi tanah. Di situlah ditanam pepohonan, terutama yang produktif. Tapi 'penghijauan' sang insinyur baru terbatas -- dilingkungan kantor dan rumah karyawannya. Gumelar masih dihadapkan kepada ekses lain dari kehadiran tambang bauksit itu. Sisa pembersihan bauksit yang mengalir ke sebuah sungai di sebelah kilang Kijang mengotori laut di sekitar Bintan Timur. Konon ikan-ikan tangkapan nelayan keracunan. Paling tidak, produksi merosot. Mendapat laporan penduduk, pimpinan UPBK buru-buru membendung sungai dengan tanggul, sehingga tanah sisa kelupasan bijih bauksit tak terus mengalir ke sungai, tapi tertumpuk di balik tanggul. Tanah sisa yang tertumpuk di balik tanggul itu kemudian dipindah ke kawasan kosong bekas penambangan. Di luar dugaan, tanah sisa itu masih mengandung top soil yang subur. Terbukti, di tempat penimbunan tanah sisa itu berbagai tumbuhan bisa hidup --dan hijau. Gumelar segera meratakan lokasi penimbunan dan mencoba menanam akar wangi--sejenis tanaman penghasil minyak atsiri--di situ. Itu atas anjuran Dinas Kehutanan setempat, yang menyatakan tanaman itu dapat bertahan di tanah yang masih berbauksit. Diharapkan, akar wangi itu dapat mengurangi eluasnya gurun bekas tarbang bauksit di Pulau Bintan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus