PROYEK Asahanyang sedang dibangun di Sumatera Utara, diharapkan
dapat melahap bahan-bahan dalam negeri. Bukan cuma dalam tahap
konstruksi sekarang ini, tapi juga setelah produksi nantinya.
Ada dua calon pensuplai alumina (Al2O3) yang diandalkan: Alcoa,
di Kahmantan Barat, dan Proyek Alumina Pulau Bintan yang mau
didirikan pemerintah dengan bantuan Soviet. Tapi baik kesediaan
Alcoa, maupun bantuan Soviet bagi Pulau Bintan, sampai sekarang
belum terdengar konfirmasinya.
Bagaimana reaksi masyarakat Kepulauan Riau? Belum terdengar.
Tapi baru-baru ini Bupati Riau Firman Eddy SH menginstruksikan
para camatnya-terutama yang daerahnya jadi lokasi pertambangan
-- agar lebih rajin mendesak para pimpinan perusahaan tambang
untuk ikut membenahi lingkungan yang gawat.
"Singkep." begitu tutur sang bupati kepada Rida K. Liamsi dari
TEMPO, "kini sudah jadi daerah tandus dan semakin sulit
dipulihkan." Ini akibat penambangan timah yang sudah puluhan
tahun berlangsung. Sementara usaha penghijauan hampir tak
dilakukan. Sehingga nanti, kalau usaha penambangan itu berakhir,
"rakyat Singkep hanya akan mewarisi tanah gurun dan kemiskinan,"
ujar Firman Eddy.
Para camat yang mendengar peringatan Bupati itu tak butuh kuliah
panjang. Contoh terdekat adalah Bintan Timur tempat bercokol
tambang bauksit, bahan mentah alumina.
Gurun Kerikil
Tambang bauksit itu dibuka tahun 1935. Kini gurun kerikil
membentang di kiri-kanan jalan Kijang, sekitar 30 Km dari
ibukota Kabupaten, Tanjung Pinang. Gurun kerikil itu
beralur-alur bekas rembesan air hujan. Di musim panas, tanah
merekah menguapkan debu yang bikin mata perih. Masih ada
tetumbuhan di sana, mulai dari alang-alang, sampai cemara. Tapi
warnanya serba kuning dan gersang.
Penambangan yang dilakukan dengan berpindah-pindah menyebabkan
gumn kerikil itu bak panu gundul merebak di sana sini. Beberapa
kawasan yang dulu hijau oleh pepohonan karet dan buah-buahan,
kini kurus kerontang. Kalaupun ada jalur hijau yang tersisa,
rasanya hanya menunggu tanggal matinya saja. Setidaknya dalam
dua dasawarsa terakhir sudah lebih 4000 hektar gurun kerikil
terkuak dari cadangan kawasan tambang bauksit yang seluruhnya 10
ribu hektar. Alias 40%.
Mengembalikan Top Soil
Untung saja perusahaan bauksit negara itu tak bekerja dengan
kapasitas penuh. Kontrak dengan Jepang membuat perusahaan itu
membatasi produksi hanya 1-1,3 juta ton saja setahun. Kalau
kemampuan maksinal perusahaan itu dituruti -- yakni 2 juta ton
setahun-luas kanker kerikil itu mungkin sudah lebih dari 5000
hektar.
Teknik penambangan terbuka memang merusak lapisan tanah teratas
yang subur (top soil) Lapisan ini tebalnya paling banter 20
sampai 100 Cm. Jadi begitu traktor penyodok melucuti punggung
bukit bauksit itu, bermeter kubik tanah subur ikut terangkut ke
bak truk untuk dibawa ke tempat pembersihan. Di situ lapisan top
soil berikut tanah lainnya terkelupas dari bijih bauksit
kemudian dihanyutkan ke tempat pembuangan.
Dengan proses begini, "memang tak tersisa humus dari tiap
jengkal tanah bekas penambangan," kata Gumelar, Kuasa Direksi
Unit Penambangan Bauksit Kijang kepada TEMPO. Maka tak heran
keadaan tanah bekas tambang bauksit itu betul-betul miskin.
Yang bisa hidup hanyalah alang-alang. Itupun tak pernah hijau,"
ujar Gumelar.
PT Aneka Tambang--induk semang UPBK --baru dalam 4 tahun
terakhir memberi perhatian yang agak serius -meski baru dalam
taraf penelitian. Satu regu peneliti dari Departemen Geologi ITB
telah dikirim ke sana. Sebelumnya, Gumelar dan stafnya mencoba
mengadakan penghijauan dengan sistim pot. Di bekas penambangan
digali lubang-lubang sedalam 2 meter, kemudian diisi tanah. Di
situlah ditanam pepohonan, terutama yang produktif. Tapi
'penghijauan' sang insinyur baru terbatas -- dilingkungan kantor
dan rumah karyawannya.
Gumelar masih dihadapkan kepada ekses lain dari kehadiran
tambang bauksit itu. Sisa pembersihan bauksit yang mengalir ke
sebuah sungai di sebelah kilang Kijang mengotori laut di sekitar
Bintan Timur. Konon ikan-ikan tangkapan nelayan keracunan.
Paling tidak, produksi merosot.
Mendapat laporan penduduk, pimpinan UPBK buru-buru membendung
sungai dengan tanggul, sehingga tanah sisa kelupasan bijih
bauksit tak terus mengalir ke sungai, tapi tertumpuk di balik
tanggul.
Tanah sisa yang tertumpuk di balik tanggul itu kemudian dipindah
ke kawasan kosong bekas penambangan. Di luar dugaan, tanah sisa
itu masih mengandung top soil yang subur. Terbukti, di tempat
penimbunan tanah sisa itu berbagai tumbuhan bisa hidup --dan
hijau. Gumelar segera meratakan lokasi penimbunan dan mencoba
menanam akar wangi--sejenis tanaman penghasil minyak atsiri--di
situ. Itu atas anjuran Dinas Kehutanan setempat, yang menyatakan
tanaman itu dapat bertahan di tanah yang masih berbauksit.
Diharapkan, akar wangi itu dapat mengurangi eluasnya gurun bekas
tarbang bauksit di Pulau Bintan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini