KOTA Samarinda tak lama lagi akan bermandi cahaya. Namun sekitar
3000 penduduk Karang Asam, tempat proyek PLTD (Pembangkit
Listrik Tenaga Disel) dilokasikan, kini semakin kerap bermandi
air bercampur solar bekas.
Masalah lingkungan ini timbul dengan dibangunnya PLTD dengan
enam generator bertenaga 4,4 megawat, hasil kerjasama Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Belanda. Kabarnya PLTD itu "terbesar di
Indonesia." Paling tidak, biaya investasinya tak
tanggung-tanggung: Rp 46 milyar.
Pembangkit listrik itu sudah dicoba. Jalannya sip. Tapi karena
terletak di lereng bukit. di hulu Sungai Asyura, di waktu hujan
air menyeret minyak dan oli yang berceceran di bukit ke dalam
sungai. "Minyak itu membuat kami tak dapat mengambil air minum.
Bahkan mandi dan cuci pun susah," keluh seorang penduduk Karang
Asam yang bermukim di tepi sungai itu.
Mulanya, pencemaran sungai kecil itu tak terlalu parah. Tapi
semakin hari semakin memburuk. "Kami terpaksa menunggu air
Mahakam meluap baru dapat mengambil air minum," ujar Nandrin
yang juga tinggal di tepi sungai. Meluapnya air Mahakam - induk
Sungai Asyura--dimanfaatkan penduduk dengan cepat-cepat menimba
air. Soalnya, luapan Mahakam dapat mendorong genangan minyak
kembali ke hulu. Sayangnya pasang besar hadiah Mahakam itu tak
tiap hari. Paling banter "lima kali sebulan," kata Nandrin lagi.
Itupun kalau musim hujan.
Toh ada repotnya lagi: bah Mahakam itu merugikan para peladang.
Sebab air pasang itu ikut menyiram minyak ke tanah mereka.
Tanaman seperti ubi kayu dan labu, banyak yang mati muda.
Genangan minyak bahkan merembes pula ke kolong rumah. Betapapun,
kalau air Mahakam belum juga meluap sementara persediaan air
minum sudah habis, tak jarang penduduk memanfaatkan juga air
berminyak itu. Setelah permukaannya dikibas-kibas, tentunya.
Ikut Masygul
Pihak PLN agaknya susah juga mencari jalan keluar. Surat protes
penduduk cuma ditanggapi ir Lumban Gaol, Kepala PLN Samarinda,
dengan janji: "Kami usahakan tak membuang lagi sisa minyak ke
sungai." Cukup lama juga penduduk menunggu buah janji itu.
Sampai akhirnya keluhan mereka didengar oleh Dinas Kesehatan
Kota (DKK) Samarinda. Dr Soepangat, Kepala DKK yang langsung
meninjau keadaan sungai Asyura, ternyata ikut masygul.
"Pencemaran ini sangat membahayakan kesehatan penduduk,"
katanya. Menurut dokter itu, tebal minyak yang menggenangi
sungai tak kurang dari satu mili. Makanya dokter muda itu
mengusulkan agar PLN menyediakan bak khusus - buat sisa solar.
Sebab bila dibiarkan berlarut-larut, "penduduk gampang ditimpa
penyakit pada lambung dan paru-paru."
"Bak itu sebenarnya sudah disediakan. Tapi mana mungkin
menampung sisa solar sebanyak itu dengan rapi?" tangkis seorang
karyawan PLN. Menurut orang ini, tak kurang dari 20 liter solar
yang harus dibuang tiap hari. Itu minimal. Kadang-kadang
diperlukan sekitar 30 liter sehari untuk mencuci penyaring mesin
raksasa itu. Makanya jangan kaget bila solar bekas sebanyak itu
tumpah begitu saja ke Sungai Asyura--melewati selokan bikinan
PLN. Belum termasuk tiga drum oli yang tumpah manakala dilakukan
penambahan oli.
Nah. Seperti dilaporkan pembantu TEMPO di sana, akhir-akhir ini
beberapa anak sering sakit-sakitan. Terutama perut
mulas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini