Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Alasan Masyarakat Adat Suku Awyu Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Masyarakat adat suku Awyu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam sengketa izin lingkungan perusahaan sawit PT ASL di Boven Digoel, Papua Selatan.

15 Maret 2024 | 17.48 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pantang mundur untuk menuntut keadilan dan hak mereka, masyarakat adat suku Awyu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam perkara sengketa izin lingkungan hidup yang diberikan kepada perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Permohonan kasasi diajukan setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Manado menolak upaya banding masyarakat adat di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memori kasasi tersebut telah dilayangkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada Kamis, 14 Maret 2024. Masyarakat adat suku Awyu diwakili Hendrikus Woro, pemimpin marga Woro—bagian dari suku Awyu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua yang juga menjadi kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu, Tigor G. Hutapea, mengatakan kasasi ini akan menjadi pertarungan selanjutnya bagi masyarakat adat Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka. Dia berharap Mahkamah Agung melihat gugatan ini dengan mengacu pada pedoman peradilan perkara lingkungan hidup yang sebelumnya mereka keluarkan. "Agar dapat memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu,” kata Tigor,

Sebelumnya, pada 1 Maret lalu, putusan PT TUN Manado menolak permohonan banding masyarakat adat suku Awyu. Majelis hakim juga menolak gugatan yang diajukan penggugat intervensi dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Eksekutif Walhi Nasional.

Majelis hakim PT TUN Manado menilai permohonan gugatan ini, yang diajukan kepada PTUN Jayapura sebagai pengadilan tingkat pertama pada 13 Maret 2023, telah melebihi tenggat waktu 90 hari sejak diketahuinya objek sengketa. Adapun obyek sengketa di perkara ini adalah izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Pemerintah Provinsi Papua kepada PT Indo Asiana Lestari. Izin ini memicu konflik agraria karena menduduki wilayah adat suku Awyu di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Boven Digoel, Papua Selatan.

Baca laporan mendalam tentang masyarakat adat suku Awyu di Koran Tempo


Tigor mengkritik putusan majelis PT TUN Manado tersebut. Dalih majelis hakim, bahwa permohonan gugatan melebihi tenggat waktu, bermasalah. Sebab perhitungan hari yang dilakukan majelis hakim patut diduga menerabas Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Selain itu, perhitungan hari itu juga mengabaikan adanya kalender khusus yang ditetapkan Gubernur Papua–yang memiliki libur Natal lebih panjang ketimbang kalender nasional.

Ihwal batas waktu pengajuan gugatan, Pasal 18 ayat 2 Perma 1 Tahun 2023 memuat frasa “atau sejak mengetahui adanya potensi atau terjadinya dampak lingkungan”. Artinya, sebenarnya ada banyak pilihan bagi majelis hakim untuk menafsirkan tenggat waktu pengajuan gugatan. Hakim tata usaha negara (TUN), merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017, semestinya juga mengutamakan keadilan substantif ketimbang keadilan formal. Sebab, fungsi hukum formal atau hukum acara adalah untuk menegakkan kaidah hukum material/substantif.

Apalagi, Tigor mengingatkan, gugatan masyarakat adat Awyu sebelumnya telah melalui proses pemeriksaan dismissal di PTUN Jayapura. "Dalam proses dismissal itu gugatan telah dinyatakan diterima dan tak melewati batas waktu kedaluwarsa," kata dia.

Masyarakat adat suku Awyu, Papua Selatan melakukan audiensi dengan Komnas HAM di Jakarta Pusat, Selasa, 9 Mei 2023. dok: Nabiila Azzahra/Tempo

Anggota tim kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu, Sekar Banjaran Aji, putusan majelis hakim PT TUN Manado secara nyata tak mempertimbangkan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam penanganan perkara. Prinsip-prinsip yang dimaksudkan Sekar meliputi prinsip pencegahan bahaya lingkungan, prinsip pembangunan berkelanjutan, keberlanjutan ekosistem dan daya dukung lingkungan, serta prinsip pengakuan dan pemberdayaan hak masyarakat adat.

Pengabaian prinsip-prinsip tersebut malah melanggengkan pemberian izin yang merusak hutan dan lingkungan hidup. Idealnya pengadilan dapat menjadi benteng dalam mewujudkan urgensi mitigasi krisis iklim. “Pilihan hakim menggunakan ketentuan yang paling mudah justru menutup peluang keadilan lingkungan dan menunjukkan posisi hakim yang tidak memiliki perspektif pelindungan lingkungan,” kata Sekar.

Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, mengatakan upaya kasasi kepada MA juga patut dilakukan karena tak satu pun anggota majelis hakim PT TUN Manado yang mengadili perkara banding memiliki sertifikasi hakim lingkungan. Hal ini juga bertentangan dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. “Ini artinya ada cacat formil dalam penanganan gugatan Hendrikus Woro, sebab seharusnya minimal satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan hidup,” kata Emanuel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus