Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kerugian ekonomi Indonesia akibat bencana iklim lima tahun terakhir mencapai ratusan triliun rupiah.
Pernyataan Prabowo Subianto menunjukkan gelagat mencederai komitmen mitigasi krisis iklim.
Pemerintah dikabarkan mengutak-atik dokumen Second NDC yang batal disetorkan ke PBB.
SABAN tahun, perekonomian nasional menanggung kerugian akibat bencana, termasuk yang dipicu oleh perubahan iklim. Lima tahun lalu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional telah memperkirakan total kerugian ekonomi akibat bencana pada periode 2020-2024 mencapai Rp 544,9 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka kerugian itu ditargetkan bisa menyusut lebih dari separuh melalui program-program pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga saat ini, belum terang seberapa besar kerugian ekonomi nasional akibat bencana yang bisa ditekan oleh kerja-kerja pemerintah selama lima tahun terakhir. Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (KLHS RPJPN) 2025-2045, yang juga dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional pada Agustus 2023, hanya memuat capaian kinerja tahun anggaran 2020.
Pemerintah mengklaim bisa menekan angka kerugian ekonomi akibat bencana pada tahun itu menjadi Rp 44,86 triliun dari semula diperkirakan mencapai Rp 102,3 triliun.
Hal yang menarik, dokumen KLHS RPJPN 2025-2045 itu memperkirakan dampak bencana terus menggerogoti perekonomian tahun ini. Bencana, terutama yang dipicu oleh fenomena iklim (bencana hidrometeorologi), akan menimbulkan kerugian sebesar 0,14 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2025. Dengan asumsi PDB tahun ini menembus Rp 24.270 triliun, nilai kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan sebesar Rp 33,9 triliun.
Kendati belum bisa diuji akurasinya, karena dokumen tersebut tak merinci detail formula penghitungan kerugian, beban ekonomi sebesar Rp 33,9 triliun pada 2020 bukan angka yang sedikit. Apalagi nilai kerugian itu juga hanya menghitung empat sektor yang rentan menghadapi bencana akibat perubahan iklim, yaitu kelautan dan pesisir, pertanian, air, serta kesehatan.
Sementara itu, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pertanian, kehutanan, dan kelautan, Riyono, mengingatkan dampak perubahan iklim tidak hanya berupa hal yang bersifat langsung, tapi juga tak langsung. "Terutama beban lingkungan hidup juga akan makin besar,” kata Riyono kepada Tempo, Sabtu, 1 Februari 2025.
Lumbung pangan nasional ‘food estate’ Dadahup di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Antara/Makna Zaezar
Karena itu, Riyono khawatir akan perkembangan akhir-akhir ini yang menunjukkan gejala ketidakseriusan pemerintah dalam menekan laju perubahan iklim. Dia mencontohkan pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ihwal pengalokasian kawasan hutan seluas 20 juta hektare untuk cadangan pangan, energi, dan air. Kendati Raja Juli telah menegaskan bahwa pengalokasian itu tak berarti akan membabat hutan, kekhawatiran akan berlanjutnya deforestasi akibat kebijakan pemerintah kini bertambah.
Riyono mengingatkan, deforestasi akan mempercepat pemanasan suhu bumi. Fenomena iklim berupa kekeringan ataupun hujan ekstrem makin tidak dapat diprediksi. Ujung-ujungnya, aktivitas manusia—termasuk ekonomi—akan terkena getahnya.
Menurut Riyono, wacana pembukaan lahan sempat meramaikan grup pimpinan Komisi IV DPR. "Dan menjadi bahan pertanyaan kami semua. Kami mewanti-wanti pemerintah soal ini,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini.
Komitmen Mitigasi Krisis Iklim Berjalan Mundur
Pernyataan Menteri Raja Juli itu disampaikan pada hari yang sama ketika Presiden Prabowo Subianto melontarkan pernyataan kontroversial ihwal rencana memperluas perkebunan sawit pada 30 Desember 2024. Kala itu, berbicara dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, Prabowo menyebutkan sawit tak ubahnya pohon lain. “Enggak usah takut apa itu, katanya membahayakan, deforestation,” ucap Prabowo dalam pidato di hadapan para menteri.
Pidato itu dinilai banyak kalangan berbanding terbalik dengan pernyataan Prabowo di depan forum Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Brasil, sebulan sebelumnya. Dalam pertemuan yang mengangkat tema "Sustainable Development and Energy Transition" tersebut, Prabowo menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai target netral karbon atau net zero emission sebelum 2050—sedekade lebih cepat dari yang dipatok pemerintahan Joko Widodo.
Ketika kontroversi pernyataan Prabowo dan Raja Juli itu belum mereda, giliran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia memantik kegaduhan. Berbicara dalam acara Berita Satu Outlook 2025, Kamis, 30 Januari 2025, Bahlil mengungkit kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kembali mencabut keikutsertaan negaranya dalam Perjanjian Paris. Bahlil menilai Amerika sebagai salah satu inisiator Perjanjian Paris sehingga kebijakan Trump membuat posisi Indonesia dilematis.
"Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri," tutur Bahlil. "Nah, negara yang memikirkan (perjanjian) ini saja mundur. Masak, kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?"
Pernyataan Bahlil itu menuai kecaman. Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) menilai Bahlil tidak memahami sejarah Perjanjian Paris, yang justru merupakan perjuangan menuntut negara industri atas krisis iklim.
Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menghadiri HUT Partai Golkar, di Bogor, Jawa Barat, 12 Desember 2024. Tempo/Imam Sukamto
Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, yang merupakan bagian dari Aruki, Giorgio B. Indrarto, menganggap pernyataan Bahlil itu sebagai gambaran watak pemerintah selama ini. "Yang mencerminkan pengabaian terhadap penderitaan rakyat akibat krisis iklim serta kewajiban hukum dan moral untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat," kata Giorgio.
Giorgio menengarai pemerintah sejak awal enggan memprioritaskan agenda keadilan iklim. "Alih-alih merespons krisis iklim yang mengancam masyarakat, pemerintah masih bernafsu pada prioritas ekonomi yang menitikberatkan pada ekstraktivisme dan eksploitasi, yang merupakan penyebab utama krisis iklim," ujarnya.
Utak-Atik Target Menurunkan Emisi demi Pertumbuhan Ekonomi
Seorang sumber Tempo di lingkaran Prabowo Subianto mengungkapkan pemerintah tengah mengkaji ulang berbagai target yang sebelumnya dijanjikan kepada forum perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Target-target itu, termasuk rencana aksi pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah disiapkan dalam draf Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional Ke-2 atau Second Nationally Determined Contribution (NDC), harus disesuaikan dengan ambisi pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2028-2029.
“Itu makanya kami menunda submit Second NDC pada Februari ini karena target pemerintahan sebelumnya terlalu ambisius,” ucap sumber Tempo yang sebelumnya juga menjadi bagian dari Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran tersebut ketika ditemui pada Rabu, 29 Januari 2025.
Dokumen Second NDC, yang berisi komitmen dan upaya pengurangan emisi sesuai dengan Perjanjian Paris, telah disiapkan sejak masa pemerintahan Jokowi. Semula, dokumen ini hendak disodorkan pada Agustus 2024 atau sebelum penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 alias The 29th Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan, pertengahan November 2024. Namun belakangan pemerintah mengurungkan rencana ini dan menjadwalkan penyerahan dokumen tersebut pada Februari 2025 kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
Menurut sumber Tempo, peninjauan ulang tak menutup kemungkinan bakal menghasilkan penurunan target. Target-target yang ditetapkan pemerintahan sebelumnya, kata dia, mustahil dicapai. Apalagi, ujar dia, pemerintahan sebelumnya juga gagal mendatangkan investor dan sumber pembiayaan lain untuk mendanai program-program transisi energi. "Sehingga fokus pemerintah adalah optimalisasi penggunaan fosil, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Sebelumnya, dalam dokumen Enhanced NDC, pemerintahan Jokowi menaikkan berbagai target pada dokumen Updated NDC. Target pengurangan emisi dengan upaya sendiri meningkat dari semula 29 persen menjadi 31,89 persen, sedangkan dengan dukungan internasional naik dari 41 persen menjadi 43,2 persen.
Tempo berupaya meminta penjelasan kepada Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq ihwal nasib penyusunan Second NDC dan rencana penyerahan dokumen tersebut kepada UNFCCC. Namun dia tidak menjawab pertanyaan itu.
Hanif hanya menjawab soal kabar tersendatnya pekerjaan Kementerian Lingkungan Hidup seiring dengan penataan organisasi baru setelah dipisahkan dari Kementerian Kehutanan. “Enggak ada masalah. Kami kerja terus, kok,” ucap Hanif pada Rabu, 29 Januari 2025.
Bongkar muat batubara di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 4 Agustus 2024. Tempo/Tony Hartawan
Pengajar pada Institut Teknologi PLN, Agus Puji Prasetyono, mengatakan pemerintah akan mengoptimalkan pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga masa puncak pada 2035. “PLTU akan meningkat kapasitasnya, tapi bukan berarti kami tidak berkomitmen mengurangi emisi, melainkan itu sudah dalam rencana hingga 2040,” kata Agus, yang juga anggota Dewan Energi Nasional dari usur pemangku kepentingan.
Agus belum bisa merinci detail rencana tersebut. Sebab, semua perencanaan akan dituangkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Dampak Perubahan Iklim Makin Parah
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengecam wacana pemerintah menurunkan target dan upaya kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca dalam dokumen Second NDC. “Kalau kemudian kita mengubah NDC dengan kembali ke fossil-fuel, itu sama dengan Presiden Prabowo berbohong dalam forum-forum internasional sebelumnya,” tutur Fabby pada Senin, 3 Februari 2025.
Menurut Fabby, komitmen kontribusi Indonesia dalam upaya adaptasi dan mitigasi krisis iklim sebelumnya saja kurang ambisius untuk menahan pemanasan suhu bumi di level 1,5 derajat Celsius dari kondisi sebelum Revolusi Industri. Dengan target-target kontribusi Indonesia saat ini, suhu bumi diperkirakan tetap meningkat hingga ke level 2,4-2,7 derajat Celsius. Fabby khawatir mengendurnya komitmen pada dokumen Second NDC bakal memperparah kenaikan suhu bumi.
Abrasi dan banjir rob laut di Pantai Eretan, Indramayu, Jawa Barat, 22 Desember 2024. Tempo/Prima Mulia
Fabby makin khawatir mengingat adanya sawala pengalokasian 20 juta hektare kawasan hutan untuk cadangan pangan, energi, dan air. Dia menilai pernyataan pemerintah selama ini tidak konsisten. “Pertanyaannya, ke mana arah kebijakan pemerintah? Kok dalam waktu singkat bisa berubah-ubah,” katanya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Iqbal Damanik menyebutkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 telah menargetkan penurunan laju deforestasi 4,22 juta hektare hingga 2030. Sementara itu, sampai 2019, deforestasi nasional telah mencapai 4,8 juta hektare. Artinya, alih fungsi hutan alam telah melebihi "kuota" seluas 577 ribu hektare.
Jika betul pemerintah akan menurunkan berbagai target dalam Second NDC, menurut Iqbal, deforestasi bakal makin parah. “Maka pulau-pulau kecil yang akan terkena dampak pertama kali akibat pemanasan global,” ucapnya.
Dampak perubahan iklim bukan bualan. Kenaikan suhu bumi secara nyata telah meningkatkan intensitas bencana hidrometeorologi. Bencana tersebut pada akhirnya memicu kerugian ekonomi. Padahal pemerintah terus mengumbar jargon mengejar pertumbuhan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo