Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah menemukan bahan bakar alternatif yang rendah emisi untuk menggantikan batu bara di PLTU.
PT Pupuk Kujang di Cikampek menguji coba produksi amonia hijau dengan mengolah 1 ton hidrogen.
Produksi amonia hijau tetap memproduksi polutan nitrogen yang berdampak buruk bagi lingkungan.
SEPERTINYA pemerintah belum akan menyuntik mati pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), setidaknya dalam waktu dekat. Pasalnya, pemerintah kembali menemukan bahan bakar alternatif yang rendah emisi untuk menggantikan penggunaan batu bara pada PLTU. Salah satunya amonia hijau. Senyawa dengan rumus kimia NH3 itu dihasilkan dari hidrogen hijau dan nitrogen yang dipisahkan dari udara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inovasi transisi energi ini dimulai ketika PT Pupuk Kujang di Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menguji coba produksi amonia hijau di Pabrik Unit Amonia Kujang 1B. Rencana produksi awal mereka adalah mengolah 1 ton hidrogen menjadi 5 ton amonia hijau. "Kami akan memenuhi kebutuhan PT PLN Indonesia Power yang memerlukan 50 ton amonia hijau untuk menyalakan turbin di PLTU Labuan," kata Direktur Operasi dan Produksi PT Pupuk Kujang Robert Sarjaka dalam keterangannya pada Selasa, 4 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Pupuk Kujang merupakan perusahaan pelat merah—anak usaha PT Pupuk Indonesia—yang sejak 1975 berfokus memproduksi pupuk. Kapasitas produksi mereka mencapai 570 ribu ton urea dan 330 ribu ton amonia per tahun. Bahan baku utamanya adalah gas bumi, air, dan udara yang diolah menjadi amonia, kemudian diubah menjadi urea. Mereka mendapat pasokan dari ladang-ladang gas di lepas pantai Laut Jawa.
Untuk menghasilkan amonia, perusahaan biasanya mengolah nitrogen dan hidrogen menggunakan suhu bertekanan tinggi melalui mesin ammonia synthesis unit. Bahan baku amonia kemudian dialirkan ke urea synthesis unit hingga mesin pembentuk butiran urea. Sejak Agustus 2024, Pupuk Kujang merambah ke bisnis amonia hijau untuk menyuplai rencana bauran energi batu bara pada PLTU Labuan di Pandeglang, Banten.
Pupuk Kujang mengklaim amonia hijau yang mereka produksi bakal menjadi yang pertama di Indonesia. Perseroan bekerja sama dengan IHI Corporation—perusahaan permesinan industrial asal Jepang—yang akan memasang teknologi electrolyzer untuk mendapatkan senyawa hidrogen dari air menggunakan sumber energi terbarukan. Hidrogen hijau itu direaksikan dengan nitrogen untuk menjadi amonia hijau tanpa menghasilkan emisi karbon.
Direktur Pengembangan Bisnis dan Niaga PLN Indonesia Power Bernadus Sudarmanta bercerita bahwa amonia hijau yang diproduksi Pupuk Kujang bakal diuji coba di PLTU Labuan. "Uji coba ini untuk mendapatkan keyakinan bahwa PLTU juga bisa beroperasi menggunakan amonia. Apakah lebih efisien dan mudah di-handle. Karena itu, kami berharap uji coba ini dilakukan dengan sangat baik dan akurat," kata Bernadus.
Rencananya, amonia hijau Pupuk Kujang digunakan dalam proses co-firing selama delapan jam untuk menggantikan batu bara. Jika proses itu dinilai aman, Pupuk Kujang bersama PLN Indonesia Power akan menghitung efisiensi dalam penggunaan energi terbarukan. Proses pembakaran menggunakan tungku khusus yang disiapkan IHI Corporation bersama perusahaan lain.
Proyek amonia hijau ini merupakan bagian dari kerja sama PT Pupuk Indonesia dengan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) bersama ITOCHU Corporation dan Toyo Engineering Corporation sejak tahun lalu. Kedua perusahaan itu digandeng untuk merancang teknologi dan membentuk rantai pasok suplai amonia hijau ke sejumlah PLTU. Rencananya, mereka tak hanya memproduksi amonia hijau untuk Pupuk Kujang, tapi juga buat Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe, Aceh, milik PT Pupuk Iskandar Muda.
Seperti kebanyakan negara, amonia hijau dipilih pemerintah sebagai salah satu bauran energi terbarukan menuju net zero emission pada 2060. Gagasan pemerintah adalah menggunakan amonia hijau dari sumber bahan bakar nonfosil, menyimpannya dalam bentuk cair, mengirimnya ke pembangkit menggunakan pipa, kemudian membakarnya di turbin-turbin PLTU tanpa menghasilkan karbon dioksida.
Pengajar di Institut Teknologi PLN, Agus Puji Prasetyono, mengungkapkan bahwa PLTU masih menjadi andalan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi listrik per kapita. Sebab, produksi batu bara akan mencapai masa puncak hingga 2035. "Kami melihat dalam jangka panjang PLTU kita pakai terus, tapi dengan mekanisme co-firing atau carbon capture and storage," ujar Agus, yang juga Anggota Dewan Energi Nasional dari unsur pemangku kepentingan.
Bauran sumber energi pada PLTU yang dimaksudkan Agus merupakan rencana pemanfaatan bahan bakar terbarukan yang dicanangkan dalam draf dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. Berdasarkan proyeksi Dewan Energi Nasional, pada 2060, pemerintah akan memproduksi 2.306 terawatt listrik per jam yang disokong 77,7 persen energi terbarukan dan 22,3 persen pembangkit listrik dari fosil.
Dari besaran tersebut, PLTU berbasis amonia hijau bakal menyumbang bauran energi terbarukan sebesar 8,4 gigawatt atau 1,3 persen pada 2060. PLTU juga akan dikembangkan lebih dulu untuk co-firing biomassa menggunakan pelet kayu. Pemerintah turut mengurangi emisi pada PLTU melalui retrofitting atau menangkap karbon dioksida melalui teknologi carbon capture and storage (CCS) yang sedang dikembangkan di sejumlah wilayah.
Selain itu, pemerintah tengah mengembangkan turbin gas berbahan bakar amonia melalui proyek Mitsubishi Heavy Industries PLTGU Unit 2 Keramasan, Palembang, Sumatera Selatan. Untuk mendapatkan suplai amonia hijau buat pembangkit listrik tersebut, PT Pupuk Indonesia membangun proyek Green Ammonia Initiative from Aceh. Proyek ini akan menambah kapasitas amonia dari 7 juta menjadi 12 juta ton pada 2045, dengan dominasi produk amonia hijau.
•••
AMONIA sudah banyak digunakan untuk memproduksi pupuk dalam skala industri sejak satu abad belakangan. Jumlahnya diperkirakan mencapai 175 juta ton amonia per tahun atau menyumbang 1-2 persen emisi gas rumah kaca—setara dengan sumbangan emisi Indonesia terhadap global. Adapun besaran produksi amonia hijau diprediksi makin meningkat seiring dengan banyak negara yang menggunakannya sebagai bahan bakar turbin pembangkit listrik.
Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Iqbal Damanik, mengingatkan bahwa penggunaan co-firing amonia hijau pada PLTU hanyalah cara mengalihkan emisi dari pembangkit ke produsen amonia. Pengalihan emisi ini lantaran amonia yang dihasilkan masih bergantung pada hidrogen yang bersumber dari gas alam. "Meski tidak termasuk gas rumah kaca, hidrogen dapat menghasilkan polutan berbahaya, seperti nitrogen oksida (NOx)," ucap Iqbal.
Selain itu, penggunaan amonia hijau untuk co-firing hanya akan memperpanjang umur PLTU yang masih mengandalkan batu bara. Iqbal mencontohkan PLTU Labuan yang memiliki kapasitas sangat besar, yakni 2 x 300 megawatt, sehingga mustahil akan sepenuhnya diganti dengan bahan bakar amonia hijau. "Semestinya pemerintah mengembangkan pembangkit energi terbarukan yang terbukti hijau, seperti tenaga bayu, surya, air, atau geotermal," tuturnya.
Iqbal menjelaskan bahwa produksi amonia, tak terkecuali amonia hijau, memang tak menghasilkan karbon dioksida. Persoalannya, senyawa ini tidak seramah yang digambarkan pemerintah karena memproduksi polutan nitrogen. Polutan nitrogen dinilai berdampak buruk bagi lingkungan atau 298 kali lebih berbahaya ketimbang karbon dioksida.
Temuan polutan nitrogen ini juga didapati dalam studi Opeyemi A. Ojelade—kandidat doktor dari Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat—pada artikel jurnal bertajuk "Green Ammonia Production Technologies: A Review of Practical Progress" yang dipublikasikan di Journal of Environmental Management pada 15 September 2023. Dalam laporannya, Ojelade menemukan peningkatan nitrogen untuk pupuk memicu masalah lingkungan, seperti pengasaman global, penipisan ozon, eutrofikasi, dan perubahan iklim. Sebab, sebagian besar nitrogen oksida dilepaskan sebagai amonia ke udara.
Peneliti di The Purnomo Yusgiantoro Center, Hidayatul Mustafidah Rohmawati dan Vivi Fitriyanti, juga mewanti-wanti bahaya penggunaan amonia yang memiliki jejak karbon dari pengolahan gas bumi. Proses kimianya biasanya membutuhkan energi 500 derajat Celsius atau tekanan yang 250 kali lebih besar dari tekanan atmosfer. "Emisi yang dihasilkan dari keseluruhan produksi amonia fosil dan co-firing dua kali lipat dari emisi yang dihasilkan PLTU," demikian ditulis Hidayatul dan Vivi dalam artikel "Risiko Penggunaan Amonia di PLTU" yang dipublikasikan pada 1 November 2023.
Mereka mencontohkan dampak sosial di salah satu pabrik urea di Indonesia, yang didapati adanya pelepasan amonia ke udara dalam bentuk gas atau aerosol. Imbas produksi amonia bagi kesehatan adalah gangguan paru-paru atau iritasi kulit yang diderita penduduk di sekitar pabrik. Hal yang sama diprediksi terjadi pada produksi amonia hijau di masa mendatang karena adanya paparan polutan nitrogen yang berdampak merusak ekosistem dan menyebabkan hujan asam. ●
Ahmad Fikri dari Bandung berkontribusi dalam penulisan laporan ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo