Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ancaman 'Wedhus Gembel' di Merapi

Pasir Merapi bisa membawa berkah. Namun, jika serakah, lahar dingin bakal mengancam.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA Merapi semakin gundul, bisa jadi wedhus gembel segera mengamuk lagi. Pada 1994, si wedhus menewaskan 66 orang sekaligus dan memaksa ribuan penduduk mengungsi. Sekarang ini, awan panas yang kecepatan luncurnya mencapai 600 kilometer setiap jamnya itu kembali mengancam. Itu akibat hutan sekitar Merapi yang makin sengsara. Padahal, jika bencana itu datang, hanya dalam hitungan menit, lahar dingin bisa menyapu kawasan lereng gunung berapi yang terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah ini. Para ahli khawatir melihat pinggang Merapi yang gundul di sana-sini. Hutan pinus sebagai sabuk hijau tak lagi bisa diharapkan menjadi perisai awan panas dan hujan debu jika Merapi mengamuk. Kalaupun masih ada rerimbunan pinus, itu sudah meranggas. Pohon-pohon itu tampak kurang gizi akibat akarnya tak lagi mampu mencapai sumber air. "Pasir di bawah pepohonan itu dikeruk," kata Habib, yang tinggal di lereng Merapi. Akibatnya, menurut aktivis lingkungan ini, sumber air mengering. Kondisi itu terjadi di Sungai Blongkeng, Lamat, Sat, Bebeng, Krasak, Batang, Putih, dan Senowo di Jawa Tengah. Begitu pula dengan sungai-sungai di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta seperti Sungai Boyong, Kuning, Gendol, dan Woro. Wajah sungai yang berfungsi sebagai jalur utama aliran lahar ini berubah sejak 1989. Saat itu, para pengusaha bermodal besar mulai ikut mengeruk pasir di sepanjang bantaran sungai. Yang paling parah terjadi pada Sungai Putih dan Sungai Batang di wilayah Magelang, Jawa Tengah, yang sebelumnya digarap penambang pasir tradisional. Setiap hari, ratusan truk tronton pengangkut pasir berderet sepanjang alirannya yang berhulu di kaki Merapi itu. Semakin banyaknya pemain ini membuat lahan yang dieksploitasi merembet hingga tinggal 4 kilometer dari puncak Merapi. Saling berebut lahan pun tak terhindari. Lalu, Gubernur Soewardi menurunkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1994, yang mengatur usaha penambangan bahan galian golongan C di Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan petunjuk pelaksanaan (PP)-nya, oleh gubernur pencinta warna kuning ini, dikeluarkan pada 24 Januari 1996. Segera saja 11 perusahaan berbadan hukum dan 11 perorangan yang mengantongi surat izin penambangan daerah (SIPD) mengkapling kantong-kantong lahar itu. Di antaranya Perusahaan Daerah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, Pusat Koperasi Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Primkopad Komando Distrik Militer Magelang, dan KPN Bhakti Sekretariat Wilayah Daerah Jawa Tengah. Aturan tinggal aturan. Buktinya, penerbitan surat izin, yang jamaknya dilakukan oleh Dinas Pertambangan Tingkat I Jawa Tengah, bisa juga diperoleh lewat Dinas Perhutani setempat. Misalnya izin yang diberikan kepada PT Muncul Baru dan PT Mekar Pratama Sampurna, yang menambang tanpa mengantongi SIPD. Mereka berdua berbekal izin dari Dinas Perhutani sebagai pemilik wilayah penambangan dengan sistem bagi hasil. Setiap harinya tak kurang dari 5.000 meter kubik pasir dikeruk. Akibat eksploitasi besar-besaran itu, sejumlah cekdam atau tanggul yang dipakai untuk menahan luncuran lahar dingin Merapi pun menjadi rapuh. Padahal, tanggul dan bendungan itu dibuat melalui utang Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) Jepang, selama dua tahap. Pada tahap pertama, 1981/1982 hingga 1988/1989, diperoleh bantuan utang 440 juta yen. Sedangkan pada tahap kedua, 1995/1996 hingga 2000, besarnya 4.405 juta yen. Belum lagi utang itu lunas, fondasi sebuah tanggul di aliran Sungai Putih di Srumbung, Magelang, anjlok. Kemudian, di Sungai Woro, sebuah tanggul sepanjang 3 kilometer roboh. Kondisi tanggul ini buruk karena para penambang tak mau mengikuti aturan main. Jarak penggalian dan tanggul ditetapkan sekurang-kurangnya 150 meter—untuk beberapa kasus, diberi toleransi hingga 50 meter—tapi ada saja yang menggali hingga jarak 1 meter dari tanggul. Cara penambangan pun dilakukan dengan menggerus tebing sungai. Padahal, Kepala Seksi Perizinan Dinas Pertambangan Jawa Tengah, Sulistyo, menyebutkan bahwa pengecekan di lapangan dilakukan setiap tiga bulan. Namun, perusakan lingkungan itu terus berlanjut. Akibatnya, aliran sungai melebar dan membuat longsoran-longsoran di tebing sungai. Nah, longsoran inilah yang bisa menyebabkan pendangkalan sungai. "Pendangkalan itu membuat aliran lahar tak terarah," kata Syamsul Rizal. Kepala Balai Vulkanologi Yogyakarta ini menyesalkan tak berfungsinya pendeteksi jarak luncur lahar yang ditanam di sepanjang Sungai Putih. Sebuah alat pengontrol curah hujan di cekdam bagian atas juga terancam rusak akibat hadirnya alat-alat berat selama ini. Apakah perbaikan harus dilakukan setelah Merapi kembali mengamuk? Agung Rulianto, L.N. Idayanie, Bandelan Amarudin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus