DOKTER Datuk Sri Mahathir Mohamad tersenyum di antara kilatan lampu blitz. Sehari setelah pemilihan umum Malaysia, yaitu 30 November 1999, Mahathir mengumumkan bahwa Barisan Nasional, koalisi partai yang sudah memerintah Malaysia sejak 1957, telah kembali diberi mandat oleh rakyat Malaysia untuk memerintah hingga 2004. Barisan Nasional mendapat 148 kursi dari 193 kursi parlemen. "Terbukti bahwa Barisan Nasional masih menjadi partai pilihan rakyat Malaysia," kata Mahathir.
Sejak memutuskan mempercepat pemilihan umum ke-10, Mahathir sudah yakin bahwa Barisan Nasional pasti menang dan kembali mendapat mandat dengan menyabet dua pertiga (mayoritas) kursi parlemen, yang lebih kuat dibandingkan dengan kemenangan pemilu pada 1995. Bahkan, Barisan Nasional sudah mempersiapkan pesta kemenangan pada hari pemilihan umum (29 November 1999) di markas besar United Malays National Organization (UMNO), yang megah bertingkat, di Gedung World Trade Center Putra, Kuala Lumpur.
Menurut Mustafa K. Anuar, dosen Fakultas Komunikasi Universitas Sains Malaysia, Penang, kunci kemenangan Barisan Nasional adalah meyakinkan pemilih tentang politik "father knows best". Pokoknya, tidak ada alasan bagi rakyat Malaysia untuk mempertaruhkan masa depan Malaysia. Hanya Barisan Nasional yang memiliki pengalaman memerintah di Malaysia, bahkan untuk melalui krisis ekonomi. Bukti bahwa perekonomian Malaysia semakin membaik kemudian menjadi kartu utama Barisan Nasional.
Benarkah klaim kemenangan yang dilontarkan dr. M? Tunggu dulu. Mari kita menghitung dengan cermat. Dukungan riil yang diperoleh Barisan Nasional sesungguhnya menurun dengan drastis. UMNO, partai terbesar dalam Barisan Nasional, yang dinakhodai Mahathir, mengalami kekalahan di parlemen lebih dari 20 persen.
Itu berarti Mahathir harus lebih banyak berkompromi dengan pendukung etnis Cina dan India dalam Barisan Nasional. Bahkan, di banyak negara bagian, selisih suara antara Barisan Nasional dan kontestan dari Barisan Alternatif (BA)—Partai Keadilan Nasional, Partai Islam Se-Malaysia (PAS), Partai Rakyat Malaysia (PRM), dan Democratic Action Party (DAP)—hanya puluhan hingga ratusan suara (tak seperti pada pemilu 1995, yang selisihnya ribuan).
Selain itu, selama sembilan kali pemilu, Barisan Nasional belum pernah kalah di dua negara bagian: Trengganu dan Kelantan. Kedua negara bagian ini habis dilalap PAS pada pemilu tahun ini. Bahkan, di Trengganu, PAS tak menyisakan satu kursi pun untuk Barisan Nasional. Sementara itu, di Kedah, negara bagian tempat Mahathir selalu berjaya, Barisan Nasional hanya menang dengan margin tipis untuk kursi negara bagian, yakni rata-rata di bawah 10 persen.
Itu berarti dukungan untuk dr. M telah menurun karena indikasi adanya perpindahan pemilih ke Barisan Alternatif.
Memang, dalam sistem pemilihan umum di Malaysia, banyaknya kursi yang didapat tidak mencerminkan besarnya dukungan masyarakat. Ini karena jumlah suara untuk mencapai satu kursi tidak merata di setiap daerah pemilihan. Biasanya, di tempat-tempat kekuasaan oposisi, seperti Trengganu, dibutuhkan lebih banyak pemilih untuk mendapat satu kursi daripada di negara bagian basis kekuatan Barisan Nasional.
Kemenangan Barisan Nasional kali ini juga diragukan kejujurannya. Asian Network for Free Election (Anfrel)—jaringan regional untuk memantau pemilu, yang didirikan pada 1997—melaporkan bahwa pemilu Malaysia memang berlangsung dengan aman (tidak rusuh seperti rumor yang beredar selama masa kampanye), tapi juga tidak transparan, tidak bebas, dan tidak adil. Komisi Pemilu tidak memberikan sanksi apa pun kepada hampir semua media massa yang partisan terhadap pemerintah. Komisi itu juga sengaja tidak mendaftar 680 ribu pemilih pemula. Dan para imigran diberi identitas palsu untuk memilih Barisan Nasional. Bahkan, mereka tetap mendaftar orang-orang yang sudah meninggal dunia. Ini merupakan sebagian rincian kecurangan yang telah dilakukan dengan sengaja dalam sistem.
Penguasa Malaysia dan media bersatu menyebarluaskan pernyataan yang keras dan tidak adil terhadap Barisan Alternatif dengan menciptakan hujan iklan di media elektronik dan cetak. "PAS + DAP + Adil + PRM = No principles, No agreement, No experience, No logo even" merupakan olok-olok yang sangat merugikan Barisan Alternatif.
Berita media massa—termasuk media di Indonesia—juga menyebutkan bahwa ribuan pendukung Barisan Alternatif menyeberang ke Barisan Nasional, tanpa memberikan kesempatan kepada Barisan Alternatif untuk menjawab. "Padahal, semua itu tidak benar," kata Rustam Sani, juru bicara Barisan Alternatif, sambil menunjukkan bukti-bukti bahwa para penyeberang itu bukan anggota partai-partai di Barisan Alternatif. "Tidakkah ada etika yang membatasi semua itu?" tulis seorang warga Malaysia di Malaysiakini, sebuah situs berita independen.
Apa artinya semua itu? Tampaknya, kemenangan Barisan Nasional dan Mahathir pada pemilu 1999 ini bukanlah kemenangan sejati. Beberapa hal harus diubah karena tidak mungkin Mahathir dibiarkan memerintah dalam lima tahun mendatang dengan citra kotor: berpolitik main uang, berpropaganda melalui media, dan mempertahankan iklim ketakutan. Menurut pengamat politik Suffian Abdul Rahman, penyebaran rasa takut untuk mengontrol ketaatan orang pada pemerintah telah menjadi pengekang pengembangan kepribadian dan intelektual di Malaysia.
Ketakutan akan bentrok rasial itu terbukti menjadi senjata yang paling ampuh untuk "membeli" ketaatan, terutama dari pemilih etnis Cina di Malaysia, yang jumlahnya lebih dari 30 persen. Etnis Cina di Malaysia memiliki trauma peristiwa 1969 setelah oposisi menang, yang mengakibatkan bentrok antara Melayu dan Cina, sementara tentara Malaysia berpihak pada etnis Melayu. Alhasil, terjadilah pembantaian etnis Cina. Dengan sangat meyakinkan, pemerintahan Mahathir mengklaim bahwa hanya pihaknyalah yang mampu melindungi etnis Cina dari kerusuhan.
Sebenarnya, semua teknik propaganda pemerintahan Mahathir sudah tidak bisa dipakai untuk milenium mendatang. Menurut pengamat Khoo Boo Teik, tema perbedaan rasial bahwa hanya UMNO yang mampu mempertahankan superioritas Melayu sekaligus melindungi etnis Cina dari segala ancaman itu sudah tidak laku. Perekonomian Malaysia sudah terbangun berdasarkan semua etnis. Lagi pula, generasi setelah tahun 1967 sudah dikenai Undang-Undang Bahasa Nasional, yang mewajibkan semua warga negara Malaysia berbahasa Melayu sebagai identitas. Lim Guan Eng, tokoh muda DAP, dan Anwar Ibrahim, dua tahanan politik pemerintah Malaysia, sudah telanjur menjadi idola generasi muda yang tak memandang warna kulit. Jika pemerintah Malaysia tetap menggunakan propaganda seperti perbedaan rasial, senjata itu akan berbalik ke Barisan Nasional.
Barisan Nasional juga wajib mengubah model pembangunan yang memihak ke daerah-daerah yang mendukung Barisan Nasional saja. Nasib daerah perkampungan Melayu lama di tengah kota Kuala Lumpur, yakni Kampung Baru yang tertinggal—dengan bangunan rumah-rumah tua tanpa renovasi—tampak kontras dibandingkan dengan gedung pencakar langit Twin Tower, yang mengelilingi area permukiman tersebut. Penduduk setempat menolak niat pengusaha kroni Mahathir untuk membangun daerah tersebut dan bertekad tidak memilih Barisan Nasional.
Koreksi yang juga penting adalah hukum subversif Internal Security Act (ISA), yang memberi pemerintah hak untuk menangkap siapa saja yang dinilai penguasa sebagai pengkhianat negara. Korban hukum ini—salah satunya Anwar Ibrahim—sama sekali tidak memiliki kesempatan membela diri. Bahkan, dari hal-hal yang konyol pun, seperti kasus biru lebamnya mata Anwar—menurut Anwar adalah hasil bogem mentah polisi—dianggap pemerintah sebagai tindakan Anwar untuk menarik perhatian publik.
Lalu, bagaimana dengan Barisan Alternatif? Yang jelas, mereka harus berkonsolidasi dan memperkuat basis dukungan masyarakat. Untuk lima tahun ke depan, Barisan Alternatif harus bisa membuktikan mampu menjadi alternatif yang lebih baik bagi rakyat Malaysia, seperti yang tersebut dalam logo mereka: "Rakyat Malaysia berhak menerima yang lebih baik." Mundurnya Sekretaris Jenderal DAP Lim Kit Siang, misalnya, harus dilihat sebagai faktor yang tidak memecah BA. Partainya Lim—sudah 30 tahun menjadi anggota parlemen sekaligus oposan—memang telah kalah di daerah pemilihan Bukit Bendera, Penang, tapi Lim menganggap kekalahan sebagai hal yang wajar.
Yang penting juga untuk diperhatikan BA adalah kejelasan program yang ditawarkan ke masyarakat. Memang benar Barisan Alternatif sudah memiliki manifesto bersama yang berisi sikap BA. Tapi poin-poin yang mereka tawarkan masih abstrak, seperti transparansi pemerintah, pembangunan yang adil, dan demokratisasi. Barisan Alternatif seperti terpancing membalas serangan Barisan Nasional dengan menuding sosok Mahathir. Dalam sebuah kampanye oleh Wan Azizah Wan Ismail, misalnya, soal larangan Anwar menemui anak perempuannya lebih ditonjolkan ketimbang mengungkap program kelompoknya. Jadi, bagi Malaysia, yang dianugerahi keadaan ekonomi yang lebih bersinar, tampaknya jalan demokrasi masih panjang untuk kedua Barisan.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini