Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM dunia penegakan hukum Indonesia, kita mengenal tiga pilar penunjang tegaknya hukum, yaitu perangkat perundang-undangan yang adil dan manusiawi, perangkat pelaksana penegakan hukum yang terdiri atas hakim, jaksa, polisi, dan pengacara/advokat (dikenal sebagai caturwangsa penegak hukum), serta partisipasi aktif masyarakat untuk mematuhi hukum seperti adanya.
Dari ketiga pilar tersebut, menurut saya, yang selalu menjadi sorotan adalah perangkat pelaksana penegakan hukum atau caturwangsa penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa caturwangsa penegak hukum menjadi tumpuan pencari keadilan, selain menjadi momok yang menakutkan. Dari sisi masyarakat awam, sulit menerima kesatuan dan keterpaduan caturwangsa bila hal itu malah memojokkan yang benar dan menyanjung yang salah. Betapa tidak? Ketika hukum dipandang hanya sebagai instrumen keadilan belaka, tak pelak pula hasilnya sangat bergantung pada pengguna instrumen tersebut. Bila pengguna instrumen sangat memahami fungsinya, ada dua kemungkinan: berfungsi positif atau berfungsi negatif.
Fungsi positif mengisyaratkan adanya pertanggungjawaban moral dan etika hukum bagi para penggunanya. Dengan demikian, keadilan dapat dijamin keasliannya. Sementara itu, pengguna dapat pula berfungsi negatif, yakni ketika lebih mengedepankan syarat-syarat legal formal tanpa memperhatikan sisi keadilannya. Dalam kaitan tersebut, yang terjadi adalah merebaknya praktek beracara di luar hukum acara, yang memupuk bibit kolusi dan korupsi. Fungsi kedua inilah yang menjadi keprihatinan dunia hukum kita di masa kini. Bahkan, keprihatinan itu menjadi urgen ketika ada dugaan kuat terjalinnya mafia peradilan. Konon, mereka yang tergabung dalam mafia peradilan, terutama para pengacara, sangat pandai menyimpan rahasia, seolah-olah memiliki ”kode etik” sendiri, sehingga sulit sekali membongkar jaringannya.
Maka, tidaklah mengherankan, terbentuknya kabinet yang baru di bawah kepemimpinan duet Gus Dur-Megawati membuka harapan baru bagi pulihnya penegakan hukum yang didukung oleh moralitas hukum dan etika hukum di setiap aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Cita-cita Kabinet Persatuan Nasional untuk mengembalikan citra penegakan hukum yang tegas tanpa diskriminasi, apalagi KKN, semakin menampakkan urgensinya ketika penegakan hukum menjadi prasyarat utama dalam upaya pemulihan ekonomi kita yang diarahkan pada tumbuhnya kembali kepercayaan rakyat dan dunia investor, baik nasional maupun internasional, untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan proses recovery ekonomi Indonesia akan cepat terwujud.
Untuk itulah saya berpendapat bahwa yang pertama kali harus dilakukan adalah membenahi internal Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman (dulu), Kejaksaan Agung, dan kepolisian, yaitu dengan menyapu bersih aparat yang tidak bersih dan yang kenyang dengan KKN, dari tingkat pusat hingga daerah, melalui pemeriksaan profesional para hakim, jaksa, polisi, bahkan pengacara. Ini penting dan mutlak untuk segera dilakukan mengingat kronik hukum kita ternyata berasal dari mereka yang tergabung dalam caturwangsa penegak hukum. Jangan sampai mereka terus bersatu menjalin korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang akhirnya malah menjerumuskan bangsa ini.
Hukum sebagai sebuah konsensus bersama masyarakat bak gading yang menjadi tumpuan hidup bersama menuju ”negara kesejahteraan” (welfare state). Ketika tumpuan hidup bersama itu diporak-porandakan oleh segelintir orang yang memikirkan hidupnya sendiri, sudah sepantasnya kita (masyarakat) sebagai sangkan-paraning (asal dan tujuan) hukum bersikap proaktif tanpa harus main hakim sendiri (eigenrichting) demi kemenangan sesaat dan mendukung semakin kuatnya praktek mafia peradilan. Maka, marilah kita dukung upaya Kabinet Persatuan Nasional dengan turut pula menganggap mafia peradilan sebagai musuh bersama rakyat Indonesia dan bertekad mengubah wajah hukum kita dari wajah kekerasan menjadi wajah ketegasan.
S. BAGUS TRIYOGO A.P., S.H.
Jalan Karangsambung Gg. Kerkop 53
Mertokondo, Kebumen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo