Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sepercik Asa di Akhir Milenium

Kelompok Katolik dan Protestan sepakat membentuk pemerintahan bersama. Namun, jalan damai cukup berliku dan rintangan masih banyak menghadang.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim dingin di Belfast kali ini terasa lebih hangat. Runtuhan salju dari langit tidak mampu memadamkan sepercik asa yang tersembul dari pertemuan pemerintah Inggris Raya dengan Republik Irlandia di Dublin, Kamis pekan silam. Hasil pertemuan itu menghapus klaim konstitusional Republik Irlandia atas Irlandia Utara. Adapun pihak yang bertikai di sana, kelompok Protestan dan Katolik, sepakat membentuk pemerintahan bersama. Persetujuan baru ini merupakan lanjutan dari Perjanjian Jumat Agung, kesepakatan damai antara kelompok Katolik dan Protestan yang ditandatangani April tahun lalu. Perjanjian ini diharapkan dapat melicinkan proses pengalihan kekuasaan, yang telah disahkan parlemen Inggris dan disetujui Ratu Elizabeth II. Majelis Irlandia Utara, yang menerima limpahan kekuasaan itu, selanjutnya akan bertanggung jawab atas pekerjaan sehari-hari pemerintah Irlandia Utara. Peristiwa ini disambut hangat banyak kalangan. Presiden Bill Clinton berharap, dengan persetujuan ini, konflik di antara mereka, yang kerap diramaikan letusan senjata dan dentuman bom, akan segera usai. Adapun Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, menyebut peristiwa ini merupakan kembalinya kekuasaan ke tangan rakyat. "Ini adalah peristiwa yang bersejarah," tutur Blair. Namun, masyarakat Irlandia menganggap keyakinan itu berlebihan. Masyarakat kelompok Protestan mengkhawatirkan anasir tentara pembebasan Irlandia yang berafiliasi dalam partai Sinn Fein ke dalam pemerintahan kelak. Berbagai teror yang dilakukan kelompok ini agaknya sangat membekas di benak warga Protestan, termasuk peristiwa ranjau yang ditanam di kawasan Shankill, Belfast, enam tahun silam, yang menewaskan sepuluh orang Protestan. Halangan lain adalah sikap tentara pembebasan Irlandia (IRA). Meskipun mereka berjanji akan menyarungkan senjatanya, toh sejumlah anggota IRA dan kelompok Katolik yang tergabung dalam Partai Sinn Fein pimpinan Garry Adams, yang menginginkan Irlandia Utara lepas dari Inggris, menyatakan merasa dikhianati dengan konsesi-konsesi yang dibuat para anggota Partai Unionis Ulster yang pro-Inggris. Irlandia Utara memang tanah yang tak henti bergolak dan selalu dipenuhi kepulan asap mesiu, air mata, dan darah. Konflik di antara dua kelompok agama di wilayah ini telah berlangsung sejak empat abad lalu. Dimulai saat kaum Protestan mendiami sebagian besar wilayah Irlandia, yang penduduknya mayoritas Katolik. Kekalahan Raja James II pada 1690, di tangan penerusnya, William, dalam pertempuran Boyne makin menyulitkan posisi warga umat Katolik. Mereka kehilangan tanah dan posisinya makin terdesak. Menginjak abad ke-19, Irlandia menjadi bagian dari Inggris Raya sebagai hasil dari Act of Union. Namun, perlawanan umat Katolik tak berhenti. Pada 1905, mereka mendirikan Sinn Fein, yang semula didirikan untuk memajukan kebudayaan Gaelic, yang akhirnya menjadi sayap politik tentara Republik Irlandia. Perlawanan ini terus-menerus dibungkam tentara Inggris. Tujuh belas tahun kemudian, 26 wilayah di selatan menjadi negara merdeka dengan nama Republik Irlandia, sedangkan enam provinsi di bagian utara tetap di bawah pemerintah Inggris. Ketegangan itu makin meruncing saat minoritas Katolik melancarkan kampanye persamaan hak melawan mayoritas Protestan, 30 tahun lalu. Tentara Inggris melakukan tindakan represif terhadap gerakan itu. Seperti yang terjadi pada 1972, ketika tentara Inggris membantai 14 demonstran Katolik dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Minggu Berdarah di London. Pihak IRA membalas dengan bom mobil di Belfast dan aksi teror yang tidak pernah berhenti. Selanjutnya, hari-hari berdarah lainnya meledak di banyak tempat. Tercatat sekitar 3.500 tewas akibat bentrokan itu dan berbagai peristiwa dan nama patah tumbuh hilang berganti, yang kemudian dikisahkan dalam berbagai novel sejarah maupun film, seperti Michael Collins dan Cal. Bermacam usaha dilakukan untuk meredam konflik itu, tapi mereka tetap saja bertikai. Pada 1993, kedua pihak berupaya mencari jalan keluar. Tiga tahun berikutnya George Mitcell, bekas senator AS, menawarkan fase perundingan. Disusul upaya Perdana Menteri Tony Blair, yang menawarkan pemilu di Irlandia Utara. Barulah April tahun lalu, mereka akhirnya mau berjabat tangan. Salju masih akan turun di tanah Irlandia Utara pada hari-hari berikut. Butiran es itu akan menjadi saksi perkembangan perdamaian di negeri itu. Irfan Budiman (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus