Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Arkeolog Papua Temukan Artefak Batu Alat Masak Peninggalan Megalitikum

Artefak itu berbentuk batu bundar dan pipih, dengan diameter sekitar 10 cm, dan ditemukan bersama pecahan-pecahan gerabah.

26 Juli 2021 | 16.24 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gerabah alat memasak presto ikan. Kredit: Balai Arkeologi Papua

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Balai Arkeologi Papua berhasil menemukan artefak kuliner di Bukit Khulutiyauw, Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura. Artefak itu diduga berfungsi sebagai alat memasak presto ikan dalam gerabah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arkeolog dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, menerangkan bahwa temuan tersebut menunjukkan pengetahuan kuliner ikan masak duri lunak ternyata sudah dikenal sejak masa prasejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berdasarkan konteks, temuan berupa tinggalan megalitik sekitar 1600 tahun yang lalu di Danau Sentani,” ujar dia saat dihubungi, Senin, 26 Juli 2021, sambil menambahkan budaya gerabah mulai dikenal di Papua sejak 3.000 tahun lalu. 

Artefak alat memasak presto ikan dalam gerabah ditemukan di Bukit Khulutiyauw, Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Papua. Kredit: Balai Arkeologi Papua

Artefak itu berbentuk batu bundar dan pipih, dengan diameter sekitar 10 cm, dan ditemukan bersama pecahan-pecahan gerabah yang banyak dijumpai di hampir seluruh permukaan Bukit Khulutiyauw.

Seperti diketahui, kata Hari, Bukit Khulutiyauw terletak di tepi Danau Sentani bagian selatan atau sebelah barat Kampung Abar. Di wilayah itu terdapat tradisi Sentani yang dikenal kuliner ikan kuah hitam atau hebehelo.

“Kuliner hebehelo berupa presto ikan danau dengan wadah gerabah yang dibumbui daun dan batang keladi,” tutur Hari sambil menambahkan bahwa hanya keladi jenis bete yang digunakan sebagai bumbu yang berbentuk daun dan batangnya kecil berwarna ungu.

Arkeolog lulusan Universitas Udayana itu juga menceritakan bagaimana cara memasak menu tersebut. Caranya, siapkan wadah gerabah yang bagian dalamnya telah ditaruh anyaman bambu sebagai alas. Lalu, siapkan pula batang dan daun keladi untuk diasapkan di perapian.

Di atas anyaman bambu itu, ditaruh ikan yang sudah dibersihkan. Sebelum dikenal ikan mujair, ikan yang dimasak berupa ikan gabus hitam atau kayou (Eleotrididae Oxyeleotris heterodon) dan ikan gabus merah atau kahe (Eleotrididae Giuris margaritacea). “Setelah itu ditambah air secukupnya dan garam.”

Kemudian, di atas ikan tadi ditaruh batang dan daun keladi kering. Pada permukaan atas bahan makanan tadi juga ditaruh batu bundar pipih untuk penutup sekaligus sebagai penekan. Wadah gerabah berisi ikan dipanasi di atas bara api selama sekitar dua jam.

Selain itu, garam dan bumbu batang keladi akan merasuk ke dalam ikan yang akan membuat ikan akan terasa empuk sampai tulang. “Rasanya, tentu saja enak,” kata Hari menambahkan.

Penggunaan batang dan daun keladi merupakan bentuk kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun di Sentani. Ternyata, batang dan daun keladi ungu mengandung polifenol yang terbukti menurunkan kolesterol.

Sementara, ikan gabus Sentani memang memiliki kandungan lemak tinggi, jadi untuk menyeimbangkannya digunakanlah batang dan daun keladi. “Keladi merupakan jenis tanaman yang ditanam pertama kali pada masa pra sejarah, 8.000 tahun yang lalu di Papua dan Papua Nugini,” ujar Hari.

Baca:
Kejaksaan Manhattan Kembalikan 3 Barang Antik ke Indonesia

Erwin Prima

Erwin Prima

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus