TIGA minggu sebelum meletakkan jabatan sebagai Gubernur DKI
Jaya, Ali Sadikin masih sempat meninggalkan satu kejutan bagi
industri sabun cuci di Jakarta.
Melalui sepucuk SK Pj. Gubernur, dilarangnya penggunaan "alkilat
keras" sebagai bahan baku industri deterjen di sini. Sebagai
gantinya, pabrik deterjen bubuk sebangsa Dino dan Rinso maupun
yang berwujud krim seperti B-29 dan Wing diwajibkannya beralih
ke bahan baku "alkilat lunak" dalam tempo 3 bulan. Sedang tiga
bulan berikutnya, semua deterjen keras harus lenyap dari pasaran
Jakarta. Kecuali yang diprodusir di luar Jakarta -- sebab Jakarta
bukan kota tertutup untuk deterjen dari luar.
Mengapa ada larangan itu? Penggunaan deterjen sebagai bahan
pembersih ternyata mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup.
Begitu pertimbangan SK Gubernur itu. Makanya Jakarta (dan belum
seluruh Indonesia, lho) akhirnya mengikuti jejak AS yang sudah 12
tahun lampau melarang produksi deterjen keras. Apakah langkah
berikutnya adalah penghapusan produksi dan peredaran deterjen
lunak juga, masih wallahualam.
Yang disebut "deterjen keras" itu adalah sabun cuci sintetis
yang menggunakan asam alkil-bensin-sulfonat (ABS) sebagai bahan
baku utama. Bahaya pencemaran alam -- khususnya polusi air buangan
-- timbul, karena asam ABS ini tak dapat terurai secara biologis
dalam air. Ini berbeda dengan sabun yang terbuat dari bahan
nabati atau hewani, yang bisa terurai oleh aktifitas
mikroba-mikroba air. Akibatnya, terjadi penumpukan deterjen
dalam air buangan, dengan berbagai efek negatifnya. Misalnya
eksplosi tanaman air (eutrophication) sebangsa eceng gondok.
Atau, air kotor itu menjadi tempat pembibitan nyamuk Malaria dan
nyamuk Encephalitis.
Merugikan Ikan
Bukan asam ABS itu saja yang menimbulkan bahaya polusi air itu.
Tapi juga fosfat yang merupakan bahan tambahan dalam produksi
deterjen, sebab menambah daya pembersih sabun sintetis itu.
Sekali terbuang dalam air, fosfat itu terurai menjadi fosfor
(P) yang merupakan salah satu zat hara utama bagi tanaman di
samping nitrogen (N) dan kalium (K). Di Amerika Serikat, 50-70%
fosfor yang mengalir dalam sungai dan danau di negara itu diduga
berasal dari deterjen berfosfat. Akibatnya bisa mengurangi atau
menghabiskan kadar zat asam dalam air itu yang diperlukan oleh ikan.
Jepang yang juga sudah lama berperang melawan polusi industri,
sudah merasakan pula akibat negatif dari penggunaan deterjen.
Sampai tahun 1974, 780 ribu ton deterjen diproduksi di sana,
yang terutama menggunakan bahan baku ABS tadi. Akibatnya,
seperti yang dikemukakan Perhimpunan Konsumen Jepang awal 1974,
hampir 50% tangan ibu rumah tangga yang mencuci dengan deteren
menderita semacam eksema dan kuku mereka retak-retak. Bahkan
satu penyakit kulit baru telah muncul di kota Kawasaki yang
segera dinobatkan menjadi "penyakit Kawasaki." Penyakit kulit
pada anak-anak itu timbul karena pakaian dalam yang dicuci
dengan deterjen.
Menghadapi ekses deterjen itu, para konsumen lantas mendirikan
satu badan penentang deterjen yang berhasil mendesak pemerintah
kota metropolitan Tokyo melarang penggunaan deterjen di sekolah,
rumah sakit dan fasilitas kesejahteraan umum lainnya. Juga
pencucian sayur dan buah-buahan dengan deterjen dilarang. Sekaligus
Liaison Meeting for Detergents di Tokyo itu mencetuskan gerakan
kembali ke sabun yang terbuat dari bahan alamiah yang ebih bersih
dari polusi. Sebab penggunaan sabun nabati dan hewani juga berarti
penghematan minyak bumi, yang salah satu hasil sampingannya adalah
deterjen itu.
Masih Gandrung
Namun pabrik sabun sintetis yang sudah terlanjur berdiri,
tentunya tidak mau gulung mesin begitu saja. Maka sejak tahun
1965, pabrik deterjen di AS itu beralih ke deterjen "lunak" yang
dapat terurai dalam air (biodegradable). Bahan bakunya yang
disebut "alkilat lunak" itu antara lain alkil-sulfat,
ethoxylates serta sulfatnya, dan ABS linier yang dipisahkan dari
minyak tanah (kerosene). Peralihan ke deterjen lunak di AS itu
segera diikuti pula oleh Eropa Barat, Jepang, dan tak ketinggalan
pula tetangga kita yang lebih peka-polisi: Singapura.
Sementara itu, kebanyakan negara berkembang masih gandrung
industri dan tidak keberatan terhadap polusinya. Jadilah mereka
sasaran empuk tempat pelemparan deterjen keras yang sudah
dilarang beredar di negara maju. Termasuk Indonesia, yang baru
mulai berkenalan secara besar-besaran dengan deterjen keras ini
lima tahun berselang. Dirintis oleh Dino dengan kapasitas sampai
3000 ton setahun, dan Rinso sekitar 10.000 ton setahun. Sukses
kedua raksasa deterjen itu segera menimbulkan demam pabrik
deterjen cream yang lebih sederhana pembuatannya, dan lebih murah
harganya ketimbang deterjen bubuk.
"Sebenarnya kami sudah mencium bau, bahwa pemerintah Indonesia
pun akan beralih ke deterjen lunak," tutur ir Jenny A. Bunanta,
Kepala Bagian Kontrol Kwalitas Dino pada TEMPO. Tanggal 22-23
Juni yang lalu, sudah ada rapat koordinasi antara pemerintah,
produsen dan konsumen deterjen untuk menentukan standar minimal
polusi deterjen bagi Indonesia. Termasuk standar untuk deterjen
lunak. Namun standar belum keluar, tiba-tiba pemerintah DKI sudah
mengumumkan banting setir ke deterjen lunak itu. Katanya lagi:
"Sebagai industri, sebenarnya kami ingin minta waktu setahun untuk
transisi. Tapi kalau Gubernur baru nantinya jalan terus menjalankan
SK Ali Sadikin itu, yah, kami akan menyesuaikan diri."
Nyonya Bunanta, alumnus ITB, tak seluruhnya yakin akan efek
polusi dari sabun sintetis buatannya itu. "Memang, ABS tak dapat
larut dalam air, tapi tentang efek fosfatnya, para ahli sendiri
belum satu pendapat", begitu dia berargumentasi. Soal air
buangan hasil proses pembuatan deterjen keras itu, diakuinya
"masih terlalu tinggi pH-nya." Artinya: kadar basanya masih
tinggi, dan ini terasa gatal dan perih pada kulit. Karena itu
sebelum air limbahan pabrik itu dibuang ke slokan umum, air
itu dinetralisir dulu melalui proses kimiawi tertentu. "Kalau
tidak, pasti sudah ada protes dari penduduk sekitar pabrik,"
kata ahli teknik kimia itu.
Justru Berlimpah
Tapi masih ada satu kesulitan yang dihadapi pabrik untuk bisa
banting-setir ke deterjen lunak. Seperti kata ir Jenny justru
ABS itulah yang membuat deterjen itu berlimpah busanya. Dan
konsumen umumnya percaya akan daya cuci deterjen itu, kalau
busanya banyak. "Padahal busa itu sebenarnya hanya buat konsumsi
mata " kata Jenny mengakui. Sedang daya pembersihnya adalah
hasil kerjasama antara ABS dengan soda api (caustic soda) dan
garam fosfatnya."
Makanya, Jenny berpendapat, dalam pembuatan deterjen lunak
nantinya, harus dicari zat penolong untuk memperbanyak busanya
lagi. Sebab selera konsumen memang tak dapat diubah dengan
seketika.
Selain tipu busa itu, masih ada masalah lain lagi yang bakal
dijumpai dalam praktek. Produksi deterjen krim untuk rakyat
kecil di desa dan di kampung-kampung proyek Husni Thamrin, total
jauh lebih banyak dari produksi Dino + Rinso. Sebab bahan
bakunya mudah dibeli di toko-toko kimia, dan memang
diperdagangkan bebas. Tapi karena kebanyakan berupa industri
rumahan dengan modal kecil, tentu saja sulit, diharapkan
pengusaha kecil ini memiliki laboratorium lengkap untuk
mengawasi mutu barang dagangannya. Khususnya kadar zat-zat kimia
yang menimbulkan gangguan pada kulit manusia itu. Dan siapa yang
dapat mengontrol apakah ratusan pabrik deterjen krim itu sudah
beralih ke alkilat lunak? Dan siapa pula yang dapat menghalangi
mereka ramai-ramai mengalihkan basis produksinya ke luar Jakarta,
di mana pemerintah belum melarang produksi + pemasaran deterjen
keras?
Sementara itu, selama 5 tahun demam deterjen di Indonesia,
berapa ton alkilat keras dan fosfatnya memasuki perairan di kota
dan di desa? Kalau produksi deterjen setahun paling kurang 30
ribu ton, dapat dibayangkan sendiri polusi air yang sudah
dihasilkannya.
Juga air buangan dari industri deterjen yang belum ditetapkan
standar maksimal polutannya itu, bukan tak mungkin sudah banyak
orang yang kegatalan dengan kulit dan kuku retak. Pabrik Rinso
yang punya kapasitas 4 x Dino, pernah dikritik oleh Lembaga
Konsumen karena dengan seenaknya membuang air limbahannya ke Kali
Angke, Jakarta Kota. Toh sampai minggu lalu, pemandangan di
sekitar pabrik deterjen terbesar di Indonesia itu masih dicemari
oleh busa dan bau sabun sintetis itu. Padahal penduduk di situ
berjubel, dan tak sedikit yang masih memanfaatkan air sungai itu
untuk cuci, mandi, minumdan sikat gigi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini