Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bang Ali Melarang ABS

ABS atau alkilat keras bahan baku deterjen. Tidak dapat terurai secara biologis dalam air. Mengakibatkan eksplosi tanaman air, nyamuk malaria subur, kulit dan kuku pemakai pecah.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA minggu sebelum meletakkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin masih sempat meninggalkan satu kejutan bagi industri sabun cuci di Jakarta. Melalui sepucuk SK Pj. Gubernur, dilarangnya penggunaan "alkilat keras" sebagai bahan baku industri deterjen di sini. Sebagai gantinya, pabrik deterjen bubuk sebangsa Dino dan Rinso maupun yang berwujud krim seperti B-29 dan Wing diwajibkannya beralih ke bahan baku "alkilat lunak" dalam tempo 3 bulan. Sedang tiga bulan berikutnya, semua deterjen keras harus lenyap dari pasaran Jakarta. Kecuali yang diprodusir di luar Jakarta -- sebab Jakarta bukan kota tertutup untuk deterjen dari luar. Mengapa ada larangan itu? Penggunaan deterjen sebagai bahan pembersih ternyata mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup. Begitu pertimbangan SK Gubernur itu. Makanya Jakarta (dan belum seluruh Indonesia, lho) akhirnya mengikuti jejak AS yang sudah 12 tahun lampau melarang produksi deterjen keras. Apakah langkah berikutnya adalah penghapusan produksi dan peredaran deterjen lunak juga, masih wallahualam. Yang disebut "deterjen keras" itu adalah sabun cuci sintetis yang menggunakan asam alkil-bensin-sulfonat (ABS) sebagai bahan baku utama. Bahaya pencemaran alam -- khususnya polusi air buangan -- timbul, karena asam ABS ini tak dapat terurai secara biologis dalam air. Ini berbeda dengan sabun yang terbuat dari bahan nabati atau hewani, yang bisa terurai oleh aktifitas mikroba-mikroba air. Akibatnya, terjadi penumpukan deterjen dalam air buangan, dengan berbagai efek negatifnya. Misalnya eksplosi tanaman air (eutrophication) sebangsa eceng gondok. Atau, air kotor itu menjadi tempat pembibitan nyamuk Malaria dan nyamuk Encephalitis. Merugikan Ikan Bukan asam ABS itu saja yang menimbulkan bahaya polusi air itu. Tapi juga fosfat yang merupakan bahan tambahan dalam produksi deterjen, sebab menambah daya pembersih sabun sintetis itu. Sekali terbuang dalam air, fosfat itu terurai menjadi fosfor (P) yang merupakan salah satu zat hara utama bagi tanaman di samping nitrogen (N) dan kalium (K). Di Amerika Serikat, 50-70% fosfor yang mengalir dalam sungai dan danau di negara itu diduga berasal dari deterjen berfosfat. Akibatnya bisa mengurangi atau menghabiskan kadar zat asam dalam air itu yang diperlukan oleh ikan. Jepang yang juga sudah lama berperang melawan polusi industri, sudah merasakan pula akibat negatif dari penggunaan deterjen. Sampai tahun 1974, 780 ribu ton deterjen diproduksi di sana, yang terutama menggunakan bahan baku ABS tadi. Akibatnya, seperti yang dikemukakan Perhimpunan Konsumen Jepang awal 1974, hampir 50% tangan ibu rumah tangga yang mencuci dengan deteren menderita semacam eksema dan kuku mereka retak-retak. Bahkan satu penyakit kulit baru telah muncul di kota Kawasaki yang segera dinobatkan menjadi "penyakit Kawasaki." Penyakit kulit pada anak-anak itu timbul karena pakaian dalam yang dicuci dengan deterjen. Menghadapi ekses deterjen itu, para konsumen lantas mendirikan satu badan penentang deterjen yang berhasil mendesak pemerintah kota metropolitan Tokyo melarang penggunaan deterjen di sekolah, rumah sakit dan fasilitas kesejahteraan umum lainnya. Juga pencucian sayur dan buah-buahan dengan deterjen dilarang. Sekaligus Liaison Meeting for Detergents di Tokyo itu mencetuskan gerakan kembali ke sabun yang terbuat dari bahan alamiah yang ebih bersih dari polusi. Sebab penggunaan sabun nabati dan hewani juga berarti penghematan minyak bumi, yang salah satu hasil sampingannya adalah deterjen itu. Masih Gandrung Namun pabrik sabun sintetis yang sudah terlanjur berdiri, tentunya tidak mau gulung mesin begitu saja. Maka sejak tahun 1965, pabrik deterjen di AS itu beralih ke deterjen "lunak" yang dapat terurai dalam air (biodegradable). Bahan bakunya yang disebut "alkilat lunak" itu antara lain alkil-sulfat, ethoxylates serta sulfatnya, dan ABS linier yang dipisahkan dari minyak tanah (kerosene). Peralihan ke deterjen lunak di AS itu segera diikuti pula oleh Eropa Barat, Jepang, dan tak ketinggalan pula tetangga kita yang lebih peka-polisi: Singapura. Sementara itu, kebanyakan negara berkembang masih gandrung industri dan tidak keberatan terhadap polusinya. Jadilah mereka sasaran empuk tempat pelemparan deterjen keras yang sudah dilarang beredar di negara maju. Termasuk Indonesia, yang baru mulai berkenalan secara besar-besaran dengan deterjen keras ini lima tahun berselang. Dirintis oleh Dino dengan kapasitas sampai 3000 ton setahun, dan Rinso sekitar 10.000 ton setahun. Sukses kedua raksasa deterjen itu segera menimbulkan demam pabrik deterjen cream yang lebih sederhana pembuatannya, dan lebih murah harganya ketimbang deterjen bubuk. "Sebenarnya kami sudah mencium bau, bahwa pemerintah Indonesia pun akan beralih ke deterjen lunak," tutur ir Jenny A. Bunanta, Kepala Bagian Kontrol Kwalitas Dino pada TEMPO. Tanggal 22-23 Juni yang lalu, sudah ada rapat koordinasi antara pemerintah, produsen dan konsumen deterjen untuk menentukan standar minimal polusi deterjen bagi Indonesia. Termasuk standar untuk deterjen lunak. Namun standar belum keluar, tiba-tiba pemerintah DKI sudah mengumumkan banting setir ke deterjen lunak itu. Katanya lagi: "Sebagai industri, sebenarnya kami ingin minta waktu setahun untuk transisi. Tapi kalau Gubernur baru nantinya jalan terus menjalankan SK Ali Sadikin itu, yah, kami akan menyesuaikan diri." Nyonya Bunanta, alumnus ITB, tak seluruhnya yakin akan efek polusi dari sabun sintetis buatannya itu. "Memang, ABS tak dapat larut dalam air, tapi tentang efek fosfatnya, para ahli sendiri belum satu pendapat", begitu dia berargumentasi. Soal air buangan hasil proses pembuatan deterjen keras itu, diakuinya "masih terlalu tinggi pH-nya." Artinya: kadar basanya masih tinggi, dan ini terasa gatal dan perih pada kulit. Karena itu sebelum air limbahan pabrik itu dibuang ke slokan umum, air itu dinetralisir dulu melalui proses kimiawi tertentu. "Kalau tidak, pasti sudah ada protes dari penduduk sekitar pabrik," kata ahli teknik kimia itu. Justru Berlimpah Tapi masih ada satu kesulitan yang dihadapi pabrik untuk bisa banting-setir ke deterjen lunak. Seperti kata ir Jenny justru ABS itulah yang membuat deterjen itu berlimpah busanya. Dan konsumen umumnya percaya akan daya cuci deterjen itu, kalau busanya banyak. "Padahal busa itu sebenarnya hanya buat konsumsi mata " kata Jenny mengakui. Sedang daya pembersihnya adalah hasil kerjasama antara ABS dengan soda api (caustic soda) dan garam fosfatnya." Makanya, Jenny berpendapat, dalam pembuatan deterjen lunak nantinya, harus dicari zat penolong untuk memperbanyak busanya lagi. Sebab selera konsumen memang tak dapat diubah dengan seketika. Selain tipu busa itu, masih ada masalah lain lagi yang bakal dijumpai dalam praktek. Produksi deterjen krim untuk rakyat kecil di desa dan di kampung-kampung proyek Husni Thamrin, total jauh lebih banyak dari produksi Dino + Rinso. Sebab bahan bakunya mudah dibeli di toko-toko kimia, dan memang diperdagangkan bebas. Tapi karena kebanyakan berupa industri rumahan dengan modal kecil, tentu saja sulit, diharapkan pengusaha kecil ini memiliki laboratorium lengkap untuk mengawasi mutu barang dagangannya. Khususnya kadar zat-zat kimia yang menimbulkan gangguan pada kulit manusia itu. Dan siapa yang dapat mengontrol apakah ratusan pabrik deterjen krim itu sudah beralih ke alkilat lunak? Dan siapa pula yang dapat menghalangi mereka ramai-ramai mengalihkan basis produksinya ke luar Jakarta, di mana pemerintah belum melarang produksi + pemasaran deterjen keras? Sementara itu, selama 5 tahun demam deterjen di Indonesia, berapa ton alkilat keras dan fosfatnya memasuki perairan di kota dan di desa? Kalau produksi deterjen setahun paling kurang 30 ribu ton, dapat dibayangkan sendiri polusi air yang sudah dihasilkannya. Juga air buangan dari industri deterjen yang belum ditetapkan standar maksimal polutannya itu, bukan tak mungkin sudah banyak orang yang kegatalan dengan kulit dan kuku retak. Pabrik Rinso yang punya kapasitas 4 x Dino, pernah dikritik oleh Lembaga Konsumen karena dengan seenaknya membuang air limbahannya ke Kali Angke, Jakarta Kota. Toh sampai minggu lalu, pemandangan di sekitar pabrik deterjen terbesar di Indonesia itu masih dicemari oleh busa dan bau sabun sintetis itu. Padahal penduduk di situ berjubel, dan tak sedikit yang masih memanfaatkan air sungai itu untuk cuci, mandi, minumdan sikat gigi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus