Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2025 untuk mengambil alih kawasan hutan yang menjadi perkebunan sawit.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menjadi Ketua Pengarah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia khawatir aturan itu dipakai untuk menggusur permukiman, kebun, serta ladang masyarakat.
KECEMASAN Uli Arta Siagian akan meruncingnya konflik sosial di sekitar kawasan hutan muncul begitu Presiden Prabowo Subianto menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan berlaku per 21 Januari 2025. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional itu khawatir aturan tersebut dipakai untuk menggusur permukiman, kebun, serta ladang masyarakat di sekitar kawasan hutan demi mengalokasikannya kembali untuk kebutuhan lain, seperti pangan dan energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi, kata Uli, jika pada kawasan tersebut disematkan label program strategis nasional, proses penertiban secara militerisasi menjadi legal dengan perpres itu. “Pengalaman panjang negara ini, lebih mudah menertibkan, menggusur, dan merampas tanah rakyat daripada mengambil kembali hutan dan tanah yang dikuasai secara ilegal ataupun legal, tapi tidak legitimate oleh korporasi,” kata Uli, Senin, 27 Januari 2025.
Pengolahan tanah untuk tanaman singkong di area lumbung pangan nasional 'food estate' di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Maret 2021. Antara/Makna Zaezar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Militerisasi yang dimaksudkan Uli sehubungan dengan struktur Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui perpres ini. Ketua Pengarah Satgas Penertiban Kawasan Hutan adalah Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Anggotanya meliputi Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepala Kepolisian RI, Menteri Kehutanan, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Adapun Ketua Pelaksana Satgas adalah Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah. Para wakilnya adalah Kepala Staf Umum TNI, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, serta Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. “Keterlibatan tersebut bertentangan dengan tugas, fungsi, dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara,” tutur Uli.
"Kami juga mempertanyakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat apakah keterlibatan TNI dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 ini sudah mendapatkan persetujuan?” ucap Uli. “Pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang memerlukan persetujuan DPR."
Selain itu, kata Uli, keterlibatan TNI dalam Peraturan Presiden Nomor 5/2025 ini tidak bisa menggunakan dalih perbantuan, yang semestinya dilakukan ketika permasalahan yang dihadapi melampaui kapasitas otoritas sipil. "Pertanyaannya apakah kementerian yang membidangi, seperti Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup, serta aparat penegak hukum tidak mampu sehingga harus meminta bantuan TNI?" ujarnya.
Menurut Uli, pola seperti ini pernah terjadi ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo melibatkan komponen cadangan militer dalam pengembangan food estate di Kalimantan Tengah. Ia menyebutkan proyek food estate bukan bidang yang dikerjakan oleh komponen cadangan yang cenderung berbau militer. Walhasil, proyek food estate itu pun gagal total. "Jadi pola kegagalan seperti di Kalimantan Tengah coba diulang lagi," katanya.
Proyek food estate di Kalimantan Tengah yang disinggung Uli itu adalah proyek food estate singkong di empat desa di Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas. Laporan investigasi majalah ini yang terbit pada 9 Oktober 2021 dengan judul sampul “Main-main Lumbung Pangan” mendapati kebun singkong di Desa Tewai Baru yang telah berumur enam bulan tingginya selutut orang dewasa, batangnya kurus, dan berdaun kuning. Begitu batangnya dicabut, tak ada satu pun umbi yang tersangkut, akarnya kecil seperti rambut.
Padahal, sebelum menjadi kebun singkong, area itu merupakan hutan sekunder yang lebat. Masyarakat di sekitar hutan menanami terung dan cabai di sela-sela tegakan pohon bengkirai dan meranti. Pada November 2020, puluhan alat berat yang dikawal tentara masuk ke hutan yang berada 10 kilometer dari pusat desa, menumbangkan pohon dan apa saja yang menghalangi. Dalam sebulan, 600 hektare hutan rimbun jadi menganga.
Akibat pembukaan hutan, pada Desember 2020, ketika hujan turun, air Sungai Tambun dan Tambi yang melintasi Desa Tawai Baru dan Tempelas meluap. Kebun singkong itu adalah tempat menampung air dan hulu sungai yang bermuara di Sungai Kahayan, sungai terbesar kedua di Kalimantan Tengah setelah Sungai Barito. Masyarakat mengalami kebanjiran. Menurut studi IPB University, ketika 600 hektare hutan ditebang, sebanyak 251.172 ton karbon dioksida terlepas ke atmosfer.
•••
PERATURAN Presiden Nomor 5 Tahun 2025 bertujuan mengatasi persoalan tata kelola hutan yang selama ini dinilai belum optimal, termasuk aktivitas ilegal yang merugikan negara. Prabowo menekankan perlunya penegakan hukum yang lebih efektif terhadap pihak yang menggunakan kawasan hutan tanpa izin. Terdapat tiga langkah utama penertiban kawasan hutan menurut peraturan ini. Pertama, penagihan denda administratif. Kedua, penguasaan kembali kawasan hutan. Ketiga, pemulihan aset, termasuk proses hukum.
Penertiban kawasan hutan, menurut aturan ini, dilakukan terhadap setiap orang yang melakukan kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di luar pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan konservasi dan/atau hutan lindung.
Perambahan kayu secara ilegal dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Merangin, Jambi, 17 September 2024. Antara/Wahdi Septiawan
Menurut Uli Arta Siagian, peraturan presiden ini juga menyamakan aktivitas legal dalam kawasan hutan berbasis korporasi dengan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial (penetapan kawasan hutan secara sepihak), dan konflik agraria dengan perusahaan-perusahan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).
Hal ini, Uli menegaskan, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pada Pasal 11 ayat 4 disebutkan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Artinya, kata Uli, perpres tidak boleh menyentuh masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasannya belum selesai dan menjadi subyek untuk penataan kawasan. Perpres ini juga tak boleh menyasar masyarakat yang masih berkonflik dengan korporasi pemegang PBPH. Menurut dia, jika Presiden Prabowo berani, seharusnya aturan itu diarahkan untuk menindak korporasi yang selama ini telah menikmati keuntungan besar dengan menimbulkan kerugian lingkungan.
"Bukan beraninya kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan," tutur Uli.
Penertiban kawasan hutan yang juga dilakukan dengan pembayaran denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset dalam kawasan hutan, kata Uli, berbeda dengan sanksi yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Aturan itu memuat ketentuan mengenai penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha atau persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagai mekanisme penyelesaian.
"Namun semua tipologi persoalan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan yang diatur dalam peraturan presiden diselesaikan dengan penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara," kata Uli. “Hal ini menjadi baik jika memang diarahkan untuk menertibkan korporasi-korporasi yang selama ini melakukan aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan.”
Pertanyaan selanjutnya, kata Uli, adalah bagaimana dengan aspek pemulihan hutan yang telah rusak yang sama sekali tidak diatur dalam Perpres Nomor 5/2025. "Seharusnya penguasaan kembali ini tidak menghilangkan pertanggungjawaban korporasi untuk memulihkan kawasan hutan yang telah rusak."
Menurut Uli, pemerintah juga seharusnya melakukan tindakan pemulihan setelah menguasai kembali, bukan justru mengalokasikan kawasan hutan tersebut untuk aktivitas bisnis atau program lain. Hal selanjutnya, kata dia, menjadi sangat penting memastikan keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam proses penertiban kawasan hutan. "Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi penuh memberikan data dan informasi berbasis fakta lapangan, memberikan masukan, agar implementasi perpres ini tidak dilakukan secara ugal-ugalan di lapangan."
Kementerian Kehutanan menyebutkan aturan ini menjadi inisiatif Kementerian Pertahanan dan Kejaksaan Agung. “Perpres Nomor 5/2025 itu inisiatifnya bukan di kami, melainkan di Kementerian Pertahanan dan Kejaksaan,” kata pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Mahfudz, Senin, 27 Januari 2025.
Meski bukan inisiatif kementeriannya, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho mengatakan pihaknya tetap menjadi bagian satgas. “Tentu, konsolidasi Satgas Penertiban Kawasan Hutan segera dilakukan guna memberikan arahan strategis dalam pelaksanaan penertiban kawasan hutan,” tuturnya melalui pesan tertulis kepada Tempo, Senin, 27 Januari 2025.
Menurut Dwi, perpres ini merujuk pada amanat Undang-Undang Kehutanan, yakni “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karena itu, kata dia, keterlibatan banyak kementerian/lembaga dalam upaya penertiban kawasan hutan tidak lain merupakan representasi negara. “Tentu, keterlibatan antar-elemen kementerian/lembaga secara sinergis akan saling memperkuat upaya pelaksanaan penertiban kawasan,” ucapnya.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal TNI Hariyanto mengatakan, ihwal penugasan dalam Perpres Nomor 5/2025, TNI tentu akan selalu mematuhi koridor hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang TNI. Menurut dia, pengerahan pasukan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) bisa dilaksanakan. “Kami percaya bahwa proses harmonisasi regulasi antara perpres tersebut dan UU TNI telah dilakukan secara matang oleh pemerintah,” ujar Hariyanto melalui pesan tertulis, Ahad, 26 Januari 2025.
Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin saat sertijab Menteri Pertahanan RI masa bakti 2024-2029 di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 22 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra
Hariyanto mengatakan pelibatan TNI dalam upaya penertiban kawasan hutan merupakan bentuk dukungan terhadap upaya pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keamanan obyek vital nasional. Hal ini, kata dia, sejalan dengan tugas pokok TNI dalam OMSP, yang salah satunya adalah mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis. “Termasuk mengatasi berbagai ancaman non-militer, seperti perusakan lingkungan, perambahan hutan ilegal, dan kebakaran hutan yang berdampak pada keamanan nasional.”
Namun, kata Hariyanto, TNI akan memastikan bahwa setiap langkah pelibatan pasukannya tetap berada dalam koridor hukum serta mengutamakan sinergi dengan kementerian terkait, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah. Menurut dia, pendekatan yang dilakukan pun bersifat humanis, proporsional, dan profesional agar sesuai dengan semangat TNI untuk selalu melakukan yang terbaik memberikan perlindungan kepada rakyat dan lingkungannya.
“Kami berharap kerja sama lintas lembaga ini dapat memberikan dampak nyata dalam menjaga kelestarian hutan Indonesia,” katanya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Alex Indra Lukman mengatakan pihaknya belum melihat adanya pelanggaran regulasi dari penerbitan Perpres Nomor 5/2025 yang melibatkan TNI dalam penertiban kawasan hutan. Apalagi, kata dia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengatur 14 poin yang bisa melibatkan lembaga militer itu dalam operasi militer selain perang. “Empat belas poin itu memang tidak mengatur penertiban kawasan hutan. Selama itu tidak diatur, tidak ada yang dilanggar,” ucap Alex, Ahad, 26 Januari 2025.
Meski tidak menganggap adanya pelanggaran regulasi dalam pelibatan TNI dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan, Alex tetap akan mempertanyakan pembentukan satgas ini dalam rapat kerja atau rapat dengar pendapat (RDP) dengan Menteri Kehutanan. “Kami di Komisi IV dalam raker atau RDP berikutnya akan mendalami karena Kementerian Kehutanan sendiri punya satuan polisi hutan. Apakah mereka punya kendala sehingga melibatkan TNI dalamnya, itu yang akan kami dalami,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo