BERIKUT ini dongeng -- kalau mengutip kata-kata Kaskopkamtib
Sudomo -- tentang ekses-ekses Pemilu. Di desa Garahan, Kecamatan
Silo Kabupaten Jember, ada berita bersliweran dengan santer.
Ada sebatang pohon beringin yang tumbuh luar biasa cepatnya.
Mirip-mirip cerita Kacang Ajaib, begitu. Dalam tiga hari,
pohon lambang Golkar itu sanggup meninggikan batangnya sampai
satu setengah meter. Hitung saja, berapa tinggi sang beringin
kalau dia sudah mencapai umur seminggu, sebulan atau setahun!
Pokoknya bongsor alias subur.
Pokoknya, pohon itu begitu populer sehingga beringin Garahan
yang letaknya di antara Jember dan Banyuwangi, banyak dijadikan
omongan dan barang tontonan. Lucunya, ceritera beringin ajaib
ini lahir, begitu minggu tenang menjelang Pemilu baru lalu
dimulai. Karena itu Garahan, desa yang biasanya sepi dan tidak
diperhatikan, tiba-tiba ramai mendapat kunjungan orang.
Pekuburan Garahan terletak di tengah desa dan terbentang di
dekat rel kereta api dari dua kabupaten tersebut. Di kuburan
itu pula, ada makam kakek dan nenek Tegowati yang dikeramatkan
orang. Suami isteri Tegowati ini kabarnya adalah pendiri dan
cikal bakal penghuni Garahan. Merekalah yang membuka desa dan
menebas hutan, sementara hutan di Jawa Timur waktu itu, penuh
macan dan binatang buas lainnya. Tidak ada yang tahu persis,
kapan si cikal bakal tersebut meningal. Tapi seorang kakek tertua
dari Garahan yang masih hidup cuma bisa berkata bahwa kakek dan
nenek Tegowati meninggal di zaman Belanda. Paling tidak tahun
1940 ke sana!
Melihat bentuk makam (dengan batu-batu yang aus) dan pohon
kamboja dengan batang besar dan meliuk-liuk usia kuburan memang
telah renta. Sehingga banyak orang bernazar dan mengadakan
sedekahan di kuburan tersebut. Kalau hari Jum'at Pon, banyak
penduduk Garahan yang mengirim kembang setaman dan membakar
kemenyan. Memohon sesuatu di kala kehidupan sedang terjepit,
adalah harapan sekelumit yang menyegarkan penduduk di situ.
Dan lebih dari 30 tahun sudah, makam mbah Tegowati jadi tugu
kehormatan penduduk Garahan, sesuatu yang di hampir setiap
tempat di Indonesia bukan hal baru. Karena begitu banyaknya kuburan
keramat, batu keramat, pohon keramat, muncul di berbagai tempat.
Tapi kepopuleran mbah Tegowati luntur seketika, begitu ceritera
beringin bongsor (subur) tadi muncul.
Ajaib?
Orang lebih banyak nonton pohon beringin, yang secara ujudnya,
tidak banyak beda dengan pohon-pohon beringin di mana saja.
Berapa banyak orang yang datang berziarah dan melihat pohon
"ajaib" itu, sudah tak dapat dihitung lagi. Yang paling
beruntung adalah seorang pemuda yang mempunyai nama seorang
pemudi, Apsari. Ia secara tiba-tiba mengangkat diri jadi juru
kunci sang pohon. Kabarnya, dialah yang melihat beringin ini
pertama kali. Dia pula yang mengukur berapa tinggi pohon itu.
Hari Senin, tingginya 80 senti. Enam hari kemudian, jadi 125
senti. Empat hari lagi, 190 senti dan dua hari berikutnya 215
senti. Sebatang bambu berdiri tegak di samping pohon dijadikan
sebagai pengukur pohon.
Tinggi tersebut kabarnya tercapai ketika diukur di bulan April,
bulan sedang demam-demamnya Pemilu. Tapi ketika sebulan kemudian
diukur, beringin cuma setinggi 178 senti. Menciut? Apsari --
yang paling tidak selama seminggu bisa mengumpulkan beberapa
stoples duit receh hasil sedekah pengunjung cuma mengatakan
bahwa yang mengukur pohon itu tadinya seseorang, yang kini sakit
ingatan.
Tipu murahan? Tidak jelas. Yang pasti penduduk kota kecil yang
selalu haus berita-berita kejutan, turut terkecoh. Tidak ada
yang bisa memastikan pula, apakah pohon itu sudah ada sejak lama,
atau muncul begitu saja.
Daerah itu, ketika Pemilu tahun 1971 unggul untuk suara NU.
Golkar sendiri kalah waktu itu. Marjoko yang jadi kepala desa
menyangkal bahwa ini ada hubungannya dengan Pemilu. Cuma dia
berkata: "Tapi kalau Golkar nanti sampai menang, saya akan kaulan
memberi pagar makam mbah Tegowati." Pohon itu telah lama ada di
situ, tambah Letkol (Pol) Soegono meyakinkan. Dia adalah
komandan Resort Kepolisian 1033 Jember. Dan sangkalnya pula:
"Mana ada pohon ajaib."
Makam mbah Tegowati kini semakin jarang dikunjungi orang. Apsari
juga tidak lagi mendapat hokki. Stoples tempat uang recehnya
sering kosong. Beringin, tumbuh seperti biasa, sedikit demi
sedikit mengikuti alur alam. Kemudian Golkar memang menang di
daerah itu. Tapi tidak diketahui, apakah Marjoko telah membayar
kaulnya, karena kuburan mbah Tegowati semakin menyemak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini