BERPAKAIAN Suku Dayak Kalimantan, Eddy muncul di panggung Plaza
Syamsudin Mangan, Pekan Raya Jakarta, 4 Juli lalu. Ular sanca
panjang 3 m menggayut di lehernya lidahnya menjulur-julur ganas.
Dengan iringan tetabuhan tradisionil Sunda sederhana Eddy
menggerak-gerakkan kaki dan kedua tangan, sementara hewan itu
sibuk pula meliuk-liuk. Kemudian menyusul 3 pemuda lagi, dengan
leher masing-masing digayuti binatang-binatang itu.
Lantas Farida nongol diiringi 3 gadis cantik lainnya. Farida
berperan sebagai primadona, lainnya pengiring. Berpakaian wanita
Dayak, juga dengan ular-ular di leher, mereka menari-nari. Entah
bagaimana kok rasanya seperti tari perut Mesir.
Itu konon tarian Bani Aba (bahasa Dayak yang berarti 'persembahan').
Ini merupakan salah satu tari ular bikinan perkumpulan Kenya
Hesando (Keluarga Besar Penyayang Hewan Berbisa Indonesia). Tari
tersebut kasarnya melukiskan seorang pemuda anak kepala suku Dayak
di Kalimantan yang mencintai gadis rakyat biasa (cantik, tentu
saja). Tapi tak disetujui orang tuanya (biasa, gengsi). Akhirnya
si orang tua pemuda menindak sang gadis. Tarian tersebut cuma
secuil fragmen, yang memang menarik selama tak kurang dari 15 menit.
Bukan Ular Menari
Namun yang lebih membuat bertanya-tanya tentu saja bab ular-ular
itu. Ular ganas dan berbisa macam piton hijau atau coklat dari
Irian Jaya, ular-ular terawang, cincin emas, kok kelihatan
begitu akrab. Apa memang sudah ompong karena dicabut giginya,
atau moncongnya dibungkam dengan plester atau bagaimana. Atau sudah
kelu dan jinak karena ulah ilmu sang pawang?
"Ular itu semuanya ganas dan berbisa," tutur Tony Sudarno, 24
tahun, pimpinan sehari-hari. "Kami bermaksud menunjukkan bahwa
hewan yang bagaimana pun ganas dan berbisa, bila mendapat kasih
sayang akan bisa akrab." Dan Tony menunjuk singa, harimau dan
hewan ganas lain dalam pertunjukan sirkus misalnya.
Tapi apa yang dikenal sebagai tari ular, memang bukan pertunjukan
ular menari. Ular cuma sebagai kawan. Dan untuk memikat penonton
tentu saja kebanyakan penarinya wanita atau gadis yang mendingan.
"Ular tak bisa dididik agar bisa berkreasi tari," kata Tony. Buat
menjaga keamanan, Tony mengakui ada ular yang diplester moncongnya
waktu pertunjukan -- tapi tak banyak. Sebab salah-salah bila ada
penonton yang kena patuk ketika sang ular lepas dan mengamuk,
suasananya sungguh tidak lucu.
Bisa Berdialog
Konon ada 10 tingkatan keganasan bisa ular. Yang paling top
ialah bisa jenis ular kobra. Tingkat-tingkat itu tak ada
kaitannya dengan panjang pendek atau besar kecilnya sang ular.
Sebab ular sanca misalnya, meski panjangnya bisa lebih dari 3 m,
tingkat keganasannya paling rendah -- artinya tak berbahaya. Tapi
soal tenaga lilitannya memang lain perkara.
Perkara bisa ular sendiri memang merupakan soal utama bagi
perkumpulan macam Kenya Hesando (di Jakarta organisasi ini
paling besar dengan sekitar 150 anggota, serta berbadan hukum).
Sebab meski mereka bertujuan mengasihi hewan berbisa, toh mereka
tak sudi jadi korban. "Ada cara ilmiah dan non ilmiah," tutur
Danny, yang sejak 1968 berkecimpung dalam soal bisa hewan itu.
Cara non ilmiah ialah melakukan upacara rituil, berpuasa mutih
selama 3 hari. Sedang yang ilmiah dengan cara vaksinasi. Yang
pertama tentu saja atas dasar kepercayaan.
Juga tak ada hubungannya dengan kedudukan pawang ular. Bahkan
menurut Ibu Kusumaningrat, ibu Tony dan Sudarjono sendiri
(keluarga ini punya hobi jenis hewan ini) yang bertindak sebagai
penasihat Kenya Hesando, untuk jadi seorang pawang ular punya
syarat yang berat. Misalnya tak boleh membunuh ular dan harus
selalu menguburkan bangkai ular bila memergokinya di jalan.
Bedanya lagi seorang pawang selain kebal atau memiliki ilmu anti
bisa, juga mampu memanggil ular atau melakukan semacam "dialog."
Yang bukan pawang tidak bisa.
Tak Ikut Tur
Syahdan kegemaran bermain dengan ular di negeri ini tampaknya
menjadi agak populer tahun-tahun 1970-an. Jauh sesudah orang
India kesohor dengan permainan ular kobranya -- meski tak berarti
sebelumnya pawang ular tak dikenal di sini. Terutama sejak 1971,
di Semarang dibentuk Persatuan Penyayang Binatang Berbisa
Indonesia yang diketuai FX Sutono. Dan Sutono (kini Kepala
Bagian Margasatwa Kebon Binatang Semarang), seorang Katolik yang
kesohor sebagai pawang ular itu pula agaknya yang memperkenalkan
jenis hiburan menggunakan ular itu.
Perkumpulan penari ularnya Nogogini yang terdiri dari wanita
atau gadis-gadis yang dibentuknya tahun 1975, sudah populer
sampai ke Malaysia. Kini kabarnya Nogogini pecah sejak penarinya
yang terkenal E. Yayuk Titi Rahayu keluar dan membentuk grup
penari ular Queen Cobra Group. Grup Yayuk yang agaknya ngambek
karena tak diikutsertakan tur ke Malaysia itu, jadi saingan berat
Nogogini.
Kini perkumpulan semacam itu terdapat di Yogya, Semarang dan
Jakarta. Selain memang bertujuan mengasihi makhluk lemah yang
kerap dimusuhi padahal ada di antaranya yang bermanfaat buat
menyeimbangkan lingkungan (ada ular pemakan tikus dan serangga),
juga bisa buat hiburan yang mendatangkan duit. Menurut Sutono,
rombongannya bertarif sedikitnya Rp 150 ribu buat sekali
pertunjukan. Dan di Jakarta grup Antaboga dan Kenya Hesando
sering pula dapat panggilan main di Latin Quarter dan lain-lain
klab malam. Dan cerita tentang cewek-cewek "Amazone" kreasi Kenya
Hesando memang laku di jenis tempat hiburan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini