Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Penarinya, juga ularnya

Perkumpulan kenya hesando mempertunjukkan tari dengan menggunakan ular. ada sepuluh tingkat keganasan ular berbisa. tari ular populer tahun 1970-an. ada grup tari nogogini, queen cobra.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERPAKAIAN Suku Dayak Kalimantan, Eddy muncul di panggung Plaza Syamsudin Mangan, Pekan Raya Jakarta, 4 Juli lalu. Ular sanca panjang 3 m menggayut di lehernya lidahnya menjulur-julur ganas. Dengan iringan tetabuhan tradisionil Sunda sederhana Eddy menggerak-gerakkan kaki dan kedua tangan, sementara hewan itu sibuk pula meliuk-liuk. Kemudian menyusul 3 pemuda lagi, dengan leher masing-masing digayuti binatang-binatang itu. Lantas Farida nongol diiringi 3 gadis cantik lainnya. Farida berperan sebagai primadona, lainnya pengiring. Berpakaian wanita Dayak, juga dengan ular-ular di leher, mereka menari-nari. Entah bagaimana kok rasanya seperti tari perut Mesir. Itu konon tarian Bani Aba (bahasa Dayak yang berarti 'persembahan'). Ini merupakan salah satu tari ular bikinan perkumpulan Kenya Hesando (Keluarga Besar Penyayang Hewan Berbisa Indonesia). Tari tersebut kasarnya melukiskan seorang pemuda anak kepala suku Dayak di Kalimantan yang mencintai gadis rakyat biasa (cantik, tentu saja). Tapi tak disetujui orang tuanya (biasa, gengsi). Akhirnya si orang tua pemuda menindak sang gadis. Tarian tersebut cuma secuil fragmen, yang memang menarik selama tak kurang dari 15 menit. Bukan Ular Menari Namun yang lebih membuat bertanya-tanya tentu saja bab ular-ular itu. Ular ganas dan berbisa macam piton hijau atau coklat dari Irian Jaya, ular-ular terawang, cincin emas, kok kelihatan begitu akrab. Apa memang sudah ompong karena dicabut giginya, atau moncongnya dibungkam dengan plester atau bagaimana. Atau sudah kelu dan jinak karena ulah ilmu sang pawang? "Ular itu semuanya ganas dan berbisa," tutur Tony Sudarno, 24 tahun, pimpinan sehari-hari. "Kami bermaksud menunjukkan bahwa hewan yang bagaimana pun ganas dan berbisa, bila mendapat kasih sayang akan bisa akrab." Dan Tony menunjuk singa, harimau dan hewan ganas lain dalam pertunjukan sirkus misalnya. Tapi apa yang dikenal sebagai tari ular, memang bukan pertunjukan ular menari. Ular cuma sebagai kawan. Dan untuk memikat penonton tentu saja kebanyakan penarinya wanita atau gadis yang mendingan. "Ular tak bisa dididik agar bisa berkreasi tari," kata Tony. Buat menjaga keamanan, Tony mengakui ada ular yang diplester moncongnya waktu pertunjukan -- tapi tak banyak. Sebab salah-salah bila ada penonton yang kena patuk ketika sang ular lepas dan mengamuk, suasananya sungguh tidak lucu. Bisa Berdialog Konon ada 10 tingkatan keganasan bisa ular. Yang paling top ialah bisa jenis ular kobra. Tingkat-tingkat itu tak ada kaitannya dengan panjang pendek atau besar kecilnya sang ular. Sebab ular sanca misalnya, meski panjangnya bisa lebih dari 3 m, tingkat keganasannya paling rendah -- artinya tak berbahaya. Tapi soal tenaga lilitannya memang lain perkara. Perkara bisa ular sendiri memang merupakan soal utama bagi perkumpulan macam Kenya Hesando (di Jakarta organisasi ini paling besar dengan sekitar 150 anggota, serta berbadan hukum). Sebab meski mereka bertujuan mengasihi hewan berbisa, toh mereka tak sudi jadi korban. "Ada cara ilmiah dan non ilmiah," tutur Danny, yang sejak 1968 berkecimpung dalam soal bisa hewan itu. Cara non ilmiah ialah melakukan upacara rituil, berpuasa mutih selama 3 hari. Sedang yang ilmiah dengan cara vaksinasi. Yang pertama tentu saja atas dasar kepercayaan. Juga tak ada hubungannya dengan kedudukan pawang ular. Bahkan menurut Ibu Kusumaningrat, ibu Tony dan Sudarjono sendiri (keluarga ini punya hobi jenis hewan ini) yang bertindak sebagai penasihat Kenya Hesando, untuk jadi seorang pawang ular punya syarat yang berat. Misalnya tak boleh membunuh ular dan harus selalu menguburkan bangkai ular bila memergokinya di jalan. Bedanya lagi seorang pawang selain kebal atau memiliki ilmu anti bisa, juga mampu memanggil ular atau melakukan semacam "dialog." Yang bukan pawang tidak bisa. Tak Ikut Tur Syahdan kegemaran bermain dengan ular di negeri ini tampaknya menjadi agak populer tahun-tahun 1970-an. Jauh sesudah orang India kesohor dengan permainan ular kobranya -- meski tak berarti sebelumnya pawang ular tak dikenal di sini. Terutama sejak 1971, di Semarang dibentuk Persatuan Penyayang Binatang Berbisa Indonesia yang diketuai FX Sutono. Dan Sutono (kini Kepala Bagian Margasatwa Kebon Binatang Semarang), seorang Katolik yang kesohor sebagai pawang ular itu pula agaknya yang memperkenalkan jenis hiburan menggunakan ular itu. Perkumpulan penari ularnya Nogogini yang terdiri dari wanita atau gadis-gadis yang dibentuknya tahun 1975, sudah populer sampai ke Malaysia. Kini kabarnya Nogogini pecah sejak penarinya yang terkenal E. Yayuk Titi Rahayu keluar dan membentuk grup penari ular Queen Cobra Group. Grup Yayuk yang agaknya ngambek karena tak diikutsertakan tur ke Malaysia itu, jadi saingan berat Nogogini. Kini perkumpulan semacam itu terdapat di Yogya, Semarang dan Jakarta. Selain memang bertujuan mengasihi makhluk lemah yang kerap dimusuhi padahal ada di antaranya yang bermanfaat buat menyeimbangkan lingkungan (ada ular pemakan tikus dan serangga), juga bisa buat hiburan yang mendatangkan duit. Menurut Sutono, rombongannya bertarif sedikitnya Rp 150 ribu buat sekali pertunjukan. Dan di Jakarta grup Antaboga dan Kenya Hesando sering pula dapat panggilan main di Latin Quarter dan lain-lain klab malam. Dan cerita tentang cewek-cewek "Amazone" kreasi Kenya Hesando memang laku di jenis tempat hiburan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus