Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Banjir Rob Semarang, Pakar dari UGM Sebut Tanah di Utara Jawa Belum Solid

Pakar geomorfologi pesisir dan laut UGM menyebut banjir rob di pesisir utara Jawa, termasuk di Semarang, karena kondisi tanah belum solid.

27 Mei 2022 | 15.28 WIB

Seorang pekerja pelabuhan melihat kondisi banjir limpasan air laut ke daratan atau rob yang merendam kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa 24 Mei 2022. Sejumlah aktivitas pelabuhan maupun industri di kawasan tersebut masih lumpuh akibat peristiwa banjir rob sejak Senin (23/5) kemarin yang hingga pada Selasa (24/5) pukul 13:30 masih merendam beberapa titik kawasan pelabuhan dengan ketinggian bervariasi hingga mencapai satu meter. ANTARA FOTO/Aji Styawan
Perbesar
Seorang pekerja pelabuhan melihat kondisi banjir limpasan air laut ke daratan atau rob yang merendam kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa 24 Mei 2022. Sejumlah aktivitas pelabuhan maupun industri di kawasan tersebut masih lumpuh akibat peristiwa banjir rob sejak Senin (23/5) kemarin yang hingga pada Selasa (24/5) pukul 13:30 masih merendam beberapa titik kawasan pelabuhan dengan ketinggian bervariasi hingga mencapai satu meter. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Banjir rob besar melandai kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, sejak Senin, 23 Mei 2022. Berdasarkan informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah, peristiwa itu terjadi berawal saat tanggul penahan air laut di kawasan Lamacitra tak mampu menahan air yang cukup besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pakar Geomorfologi Pesisir dan Laut Universitas Gadjah Mada (UGM), Bachtiar W. Mutaqin, menilai sudah sejak lama kawasan Banten hingga Banyuwangi dikenal sebagai kawasan rawan terjadi rob. Ini karena adanya global warming berupa naiknya permukaan air laut dan material tanah di utara Jawa yang belum solid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Belum solid, ditambah banyaknya permukiman. Tidak hanya permukiman pribadi atau perorangan tetapi juga skala industri sehingga dimungkinkan penggunaan air tanah. Akibatnya banyak permasalahan, cukup kompleks mulai dari kenaikan muka laut, kemudian material tanahnya yang alluvial umurnya masih muda, juga terkait dengan penggunaan lahan," katanya seperti dilansir dari laman UGM, Selasa, 24 Mei 2022.

Menurut Bachtiar, banjir rob di Semarang sudah punya riwayat lama dan sangat sering terjadi. Namun, peristiwa kali ini terjadi bersamaan dengan puncak pasang, di mana posisi bumi dan bulan berdekatan. “Pasangnya cukup tinggi, tanggulnya jebol ya akhirnya kawasan di pesisir Semarang terendam," ujar dia.

Bachtiar menerangkan, material tanah di utara Jawa berasal dari endapan atau sedimentasi proses sungai. Sehingga material sedimen itu diukur dari skala geologi masih muda. Itulah yang menyebabkan tanah tersebut masih labil dan belum solid atau kompak.

Sementara, kata dia, di atas tanah itu banyak bangunan memperberat, ditambah penggunaan air tanah yang berakibat pada penurunan muka tanah. Dalam catatan land subsidence, penurunan muka tanah di Semarang sekitar 19 sentimeter per tahun. Untuk rob 40-60 sentimeter, dan pernah mencapai 1 meter pada 2013.

“Padahal stasiun pasang surut sudah ada, ada tanggul laut, tapi yang kemarin fenomena pasangnya memang cukup tinggi dibandingkan dengan biasanya. Mungkin karena masih dalam kondisi ekstem untuk cuacanya, bahkan ini diperkirakan sampai bulan Juni untuk puncak pasangnya karenanya memang perlu perhatian khusus seperti apa untuk upaya mitigasinya nanti," katanya.

Dosen Fakultas Geografi UGM ini menyampaikan, pemerintah sudah membuat beberapa kegiatan mitigasi banjir rob. Melakukan kolaborasi dengan Pemkab Pekalongan, misalnya, untuk membuat sumur pompa, pembangunan tanggul, dan lain-lain.

Untuk ke depan, Bachtiar berharap ada perhatian terkait tata ruang bila terjadi penurunan muka tanah. Penggunaan lahan perlu diatur, terkhusus untuk wilayah yang ada di pesisir supaya tak terlalu masif. Begitu pun industri skala besar dan penggunaan air tanah yang kapasitas pemakaiannya jauh lebih besar, ini perlu regulasi khusus.

“Kita berharap ada semacam moratorium atau peraturan yang melarang penggunaan air tanah yang di skala industri atau seperti apa itu perlu dilakukan juga," ungkapnya.

Bachtiar menjelaskan masyarakat yang tinggal di pesisir sejatinya sudah paham dengan risikonya. Tapi, keterbatasan ekonomi seringkali membuat mereka tak punya opsi dan pilihan lain.

Kondisi itu membuat masyarakat pesisir mau tak mau harus melakukan day by day adaptation. Artinya, bila hari ini tinggi rob mencapai 30 sentimeter, mereka harus meninggikan posisi barang-barang vital di rumah seperti tempat tidur, perangkat elektronik dan lain-lain supaya tak terendam.

Namun, bagi masyarakat yang ekonominya berkecukupan, punya pilihan untuk meninggikan rumahnya supaya aman dari banjir rob. “Ya ini, karena mereka tidak mempunyai sumber daya untuk memperbaiki. Jika sampai rumah terendam, maka mereka pun keluar dulu menunggu sampai airnya surut," pungkasnya.

KAKAK INDRA PURNAMA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus