Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas kertas, satu babak penugasan selesai pula bagi Basuki Hadimuljono, 53 tahun, Ketua Pelaksana Tim Nasional. Tugas ini dipikulnya sejak September 2006, dan melontarkan mantan Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, ini dari ruang kantor berpendingin udara di Jakarta ke danau-danau lumpur yang panas dan pengap di seputar Porong, Jawa Timur.
Berbulan-bulan berkantor di Surabaya membuat doktor lulusan Colorado State University itu lebih memahami "realita" lumpur Lapindo. "Banyak yang marah dan mengatakan Ketua Timnas kok pesimistis," ujarnya kepada Tempo. "Yang saya lakukan adalah menyadarkan publik bahwa ini masalah yang amat sulit sehingga jangan kecewa kalau gagal."
Ditemui pekan lalu di Surabaya, Basuki baru saja kembali dari danau lumpur di Desa Jatirejo, Sidoarjo. Bercelana jins dan kemeja kotak-kotak warna biru, dia mengendarai sendiri mobilnya, menembus genangan air di sejumlah ruas jalan. Dia mengakui masih banyak pekerjaan tersisa. " Di antaranya, pemanfaatan lumpur dan penanganan lingkungan." Pekerjaan ini praktis dia laksanakan dengan "cuma-cuma" karena Basuki memang tak digaji sebagai Ketua Timnas. Yang ada hanya biaya perjalanan dinas. "Itu pun tidak saya ambil," tuturnya.
Kepada wartawan Tempo, Maria Hasugian, serta kontributor Tempo di Jawa Timur, Sunudyantoro serta Rohman Taufik, Basuki memberikan sebuah wawancara khusus pada Rabu, 28 Februari lalu.
Berikut ini petikannya.
Sepanjang enam bulan bertugas di Porong, apa saja yang sudah Anda lakukan?
Kalau untuk semburan lumpur, penutupan sudah dihentikan. Kami lalu mencoba dengan bola-bola beton. Dampaknya baru bisa kita lihat kalau sudah masuk 100 untaian. Dampak sosial, saya kira, dari instruksi presiden sudah jelas bahwa Lapindo yang bertanggung jawab. Anggaran Rp 1,3 triliun (yang mereka siapkan) salah satunya untuk dampak sosial, yakni biaya pengungsian, sewa rumah, jatah hidup, upah buruh, beli tanaman, sewa lahan. Saya kira itu sudah proses yang bagus. Ganti ruginya harus dibayar awal Maret ini. Dari anggaran Rp 1,3 triliun, menurut data Lapindo, yang sudah terpakai Rp 900 miliar sejak 29 Mei 2006 (awal semburan lumpur).
Bagaimana dengan penanganan lumpur yang sudah ada?
Sebelum Timnas ada, sudah dibuat enam pond (kolam penampung) di Desa Besuki Kulon dan Besuki Wetan. Terus kami hentikan. Rencananya, kami ingin salurkan langsung ke Kedung Ombo. Rencana itu batal karena ada insiden patahnya pipa Pertamina. Lumpur jadi lebih liar. Tapi sekarang sudah bisa dikendalikan lagi.
Berapa probabilitas keberhasilan dari penanganan yang telah berjalan?
Berdasarkan kajian di laboratorium, diharapkan semburan bisa dikurangi 50 sampai 70 persen (saat ini semburan lumpur 125 ribu meter kubik per hari). Ini inovasi, bukan nekat-nekatan. Lumpur akan mengalir terus lagi ke selatan. Tapi, ini juga, insya Allah, bisa kami kendalikan. Sampai dengan Maret ini mudah-mudahan kanal sementara bisa kami buat. Kota Porong bisa kami amankan dan segera kami tanami dengan tanggul permanen.
Kira-kira kapan seluruh program penanganan lumpur selesai dilaksanakan?
Kami amat bergantung pada kanal permanen yang sedang dikerjakan PT Hutama Karya. Masalahnya, pembangunannya amat bergantung pada kondisi cuaca. Pada saat ini kan musim hujan. Jadi, kami baru bisa bangun pada bulan Juni. Kalau semuanya lancar, masyarakat akan aman.
Anda punya perkiraan waktu yang dibutuhkan?
Kalau semuanya lancar, waktunya cukup tiga-empat tahun. Sampai dengan Maret ini mudah-mudahan kanal, khususnya yang sementara, bisa kami buat. Kota Porong bisa kami amankan dan segera kami tanami dengan tanggul permanen. Ini yang kami usahakan.
Kalau molor?
Kita tidak bakal mampu menahan aliran lumpur ke selatan atau timur (Kali Porong menuju Selat Madura). Porong akan habis dalam waktu empat tahun karena tanggul-tanggul yang terbuat dari tanah tidak akan kuat lagi menahannya.
Skenario terburuk seperti apa yang Anda siapkan?
Perencanaan untuk situasi terburuk saya lakukan dengan asumsi bahwa semburan tidak bisa ditutup atau sulit dihentikan.
Mengapa asumsinya seperti itu?
Pola relief well (sumur penyumbat) boleh dikata tidak memiliki sejarah gagal saat dipakai di dalam sumur. Itu gampang, Bos. Tapi kan ini di luar sumur. Dan mencari lubang sumur yang 13 inci pada kedalaman tiga kilometer bukanlah perkara mudah.
Kami memang mendengar bahwa sejak awal Anda sudah pesimistis dengan solusi relief well....
Ya, saya dimarahi. Banyak yang bilang, kok Ketua Timnas justru pesimistis. Sebenarnya saya hanya ingin menyadarkan orang bahwa tingkat kesulitannya amat tinggi. Jadi, jangan gelo (kecewa) kalau gagal.
Mengapa Anda akhirnya tetap menggunakan solusi itu?
Ya, harus. Apa salahnya?
Banyak yang bilang kerja Timnas lamban. Apa komentar Anda?
Kami kan harus membuat spill way (saluran pelimpahan lumpur) dulu. Butuh tiga minggu dan harus ditunggu selama 24 jam setiap hari. Ketika itu bulan puasa, tapi saya tidur di mobil dan tidak tinggal di hotel (kediaman selama jadi Ketua Timnas) untuk menunggui pembuatannya.
Kami mendengar bahwa pengeluaran dana dari Lapindo tersendat. Benar demikian?
Mereka ini telat bayar. Sebenarnya inflow-nya (kas masuk ke Lapindo) sudah terskedul. Cuma, giliran pengeluaran, emergency (darurat) terus. Jadi, lebih cepat keluarnya (dana yang dimiliki Lapindo) akibat kasus ini. Itulah yang membuat pembayaran telat. Namun, saya yakin, karena sudah ada jaminan dari orang dari Bakrie (PT Bakrie & Brothers, induk perusahaan Lapindo) yang mengatakan, "Kami terlalu besar untuk ngumpet. Ke mana saja pasti ketahuan. Kalau telat sering, tapi pasti kami bayar."
Menurut Anda, bagaimana sebaiknya pola penyelesaian lumpur?
Kalau sosial, oke Lapindo (yang membiayai). Tapi infrastruktur, harus negara. Itu saya kira sudah selayaknya. Kalau infrastruktur itu kan langsung menyangkut kebutuhan publik. Jadi, menurut saya, masih nalar dan bisa dipertanggungjawabkan bahwa ini adalah tugas negara untuk melindungi warganya.
Bukankah dalam Keputusan Presiden sudah jelas disebut bahwa seluruh biaya baik untuk Tim Nasional maupun dampak kerusakan ditanggung Lapindo?
Keppres itu kan masih diributkan orang. Baru kali ini ada keppres yang dibiayai swasta. Bagi saya, terserah uangnya mau dari mana: Sultan Brunei atau hantu belau. Yang penting, kami bisa bekerja.
Bisa Anda jelaskan lebih detail mengapa harus negara yang menanggung?
Saya sudah sampaikan ke Tim Pengarah (di antaranya Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro), negara harus turut bertanggung jawab. Bukan pemerintah, lo. Pemerintah itu kan rezim saja. Dengan melihat besarnya kerusakan, nggak adil kalau ditimpakan kepada swasta semata-mata. Sektor swasta, investor, sudah melihat semua.
Apa yang Anda sampaikan kepada Tim Pengarah?
Saat ditunjuk menjadi Ketua Timnas, saya bilang kepada Menteri Energi tentang pola pikir saya. Jika sektor swasta berhasil, maka mendatangkan revenue (pendapatan) bagi pemerintah. Saat kena musibah seperti ini, pertanyaannya: apa tindakan pemerintah? (Jika tidak ada) investor nggak bakal masuk. Itu menurut saya.
Tugas Anda berakhir bulan ini. Menurut Anda, apa saja yang masih menjadi "pekerjaan rumah" Timnas?
Pemanfaatan lumpur dan penanganan lingkungan. Sebenarnya banyak yang bisa digunakan dengan lumpur itu, misalnya dijadikan bahan campuran pembuatan jalan tol. Kalau ini dipakai, kita tidak perlu menggugurkan gunung. Soal lingkungan, kami kan membuang lumpur ke Sungai Porong. Akibatnya, di muara muncul semacam "pulau-pulau". Nah, "pulau-pulau" ini belum ditangani.
Omong-omong, apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika ditunjuk jadi Ketua Tim Pelaksana?
Bayangan saya bahwa saya akan jadi samsak (pelampiasan). Betul. Makanya, saya kumpulkan anak-istri. Saya katakan saya mau jihad, karena saya tahu selama ini orang marah tapi nggak tahu siapa yang dimarahi. Dengan adanya Timnas, pasti tim ini yang dimarahi.
Apa reaksi keluarga Anda?
Mereka bilang, "Pokoknya Bapak kerja yang benar, kami doakan." Saya sadar betul itu. Makanya, saya itu di sini begini.
Apa maksud Anda "begini"?
Tabrak aja. Karena kekuatan saya hanya satu: bersih dan ikhlas. Jadi, kalau saya dihujat orang, saya bilang alhamdulillah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo