Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Batam setelah 20 tahun tercemar

Batam dipenuhi pabrik, namun pengolah limahnya tidak ada. ratusan ribu ton limbah dibuang saja ke laut. tingkat pencemaran air dan udara cukup tinggi, dan penduduklah yang terkena.

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN industri Batam, yang dalam waktu dekat akan memiliki bandar udara internasional - hingga bisa melayani jumbo jet - ternyata di sisi lain menyimpan semacam keterting-galan teknologi yang bisa berakibat fatal. Singkatnya, sejak berdiri 20 tahun yang lalu, dari semua pabrik di sana, hanya satu yang memiliki pengolah limbah. Padahal, limbahnya bisa mencapai ratusan ribu ton per tahun. Jika ditambah dengan limbah industri kecil, jumlah itu mungkin mencapai setengah juta ton setahun. Tanpa pengolahan lebih dulu, limbah itu dibuang ke parit- parit dan akhirnya masuk ke laut. Adapun limbah padat umumnya dibakar atau ditimbun dalam tanah. Ketua Kadin cabang Batam, Mayjen (Purn.) Soedarsono Darmosoewito, membenarkan bahwa Batam sudah tercemar oleh limbah yang melampaui batas aman menurut standar internasional. Dengan menjamurnya industri, kata Soedarsono, kepulan asap dan semerbak zat kimia makin menjadi-jadi di Batam. "Pembangunan di Batam amat pesat, tapi kualitas lingkungan terus merosot," ujarnya tandas. Untuk mengetahui tingkat pencemaran di Batam, PT Cita Lingkungan Lestari (CLL), konsultan penyusunan Amdal (Analisis mengenai Dampak Lingkungan), beberapa waktu lalu melakukan penelitian di sana. Proyek ini dipimpin Dr. Tun Teja dari IPB Bogor. Dari contoh air yang diambil di kawasan industri Batuampar, CLL menemukan kandungan logam berat krom (Cr) 1,880 ml/liter atau 117 kali lebih tinggi dari standar yang diperbolehkan. Lalu dari laut dekat kawasan industri Batuampar, kandungan nikelnya (Ni) mencapai rata-rata 31,50 mg/liter atau 3,5 kali lebih tinggi dari standar. Begitupun kandungan logam kadmium (Cd), seng (Zn), tembaga (Cu), dan timbal (Pb) sudah melampaui batas aman. Menurut CLL, 45 pabrik di kawasan industri Batuampar telah mencemari laut cukup berat. Ini bisa dilihat dari COD (chemical oxygen demand) - kebutuhan oksigen kimiawi - yang rata-rata 2,5 kali lebih tinggi dari ambang batas (80 mg/liter). Malah BOD (biological oxygen demand), yakni oksigen yang dipakai untuk mengoksidasi zat-zat bilogis yang dikandung air, tercatat hingga 931 ml/liter. Adapun ambang batas ditetapkan 50 mg/liter. Kesimpulannya, pencemaran di perairan Batuampar sudah sangat mencemaskan. Perkiraan Asisten Manajer Operasional CLL, Bascharul Asana, pencemaran itu meluas dalam radius satu kilomenter dari pantai Batuampar menuju ke arah Selat Singapura. "Di sana sudah sulit ditemukan kehidupan laut," kata Bascharul. Seperti yang bisa diduga, tak satu pun pabrik di kawasan industri Batuampar yang dilengkapi alat pengolah limbah. Sekalipun begitu, pemiliknya tak pernah ditegur. Padahal, menurut UU No. 44 Tahun 1982, pihak pencemar bisa didenda Rp 100 juta atau hukuman 10 tahun. Apakah penduduk Batam yang berjumlah sekitar 110.000 jiwa itu tak terganggu oleh pencemaran? Sekretaris Tim Pengelolaan Lingkungan Hidup Otorita Batam, Dedi N. Purnama, tak menyangkal adanya keluhan itu. Namun, entah bagaimana ia memastikan, dari begitu banyak pabrik di Batam, hanya 5% yang menjadi sumber pencemaran. "Secara keseluruhan lingkungan di Batam masih baik," kata Dedi mantap. Ia agaknya tidak memperhitungkan kenyataan bahwa di Batuampar, misalnya, ada pabrik yang berdiri di tengah permukiman penduduk. Tak heran bila dari penelitian CLL ditemukan hampir 3.000 orang terkena infeksi saluran napas atas dan 925 orang terkena penyakit kulit (termasuk jaringan bawah kulit). Lalu, 2.300 orang terkena diare dan 8.00 orang lainnya menderita gangguan saluran pernapasan. Angka ini diperoleh CLL dari rumah sakit dan poliklinik. Sementara penduduk terganggu pernapasannya, air Sungai Tering - mengalir sepanjang sisi timur Batuampar - kini berwarna bak pelangi: merah, jingga, biru kekuning-kuningan. Penyebabnya, ko-non, buangan sisa minyak dari berbagai pabrik. Menurut penduduk, limbah buangan dari Batuampar telah menyebabkan air sumur berubah warna, bau, dan rasanya. Tak bisa disangkal, kondisi itu mencerminkan parahnya pencemaran di Batam, karena tak adanya pengolah limbah cair. Mungkin karena itu, selain membuang limbah ke laut, ada pula pabrik yang mengangkut limbahnya ke luar Pulau Batam. "Limbah itu dibawa bersama barang yang diekspor ke Singapura," kata seorang pegawai Batamindo. Otorita Batam, sebagai penguasa tertinggi di pulau itu, tampaknya tidak begitu keras terhadap investor. Meskipun industri sudah masuk ke sana sejak 1972, Otorita baru mengeluarkan ketentuan Amdal tahun 1990. "Bukan kami takut ditinggal investor, tapi berilah mereka waktu untuk membuat alat pengolah limbah," Dedi menjelaskan. Otorita dan Pemda Batam, menurut Dedi, cukup sering mengingatkan soal bahaya limbah ini. Terhitung sejak tahun 1995, setiap pabrik di Batam sudah harus memiliki alat pengolah limbah. Memang, lebih baik terlambat daripada tidak. Tapi Haji Sulaeman, pemilik Hotel Bukit Nagoya, masih menggerutu juga. "Mestinya dari dulu-dulu mengingatkan," katanya.Bambang Aji dan Affan Bey Hutasuhut (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum