HAJI Misbah, 50 tahun, terpaksa nekat main kucing-kucingan. Diam-diam dia menanam akar wangi di atas 10 ha lahannya, terserak di beberapa tempat di luar Desa Randukurung, Kecamatan Samarngan, Garut, Jawa Barat. Padahal, dia tahu, Pemda Garut anti betul dengan tanaman semusim itu, yang oleh orang Sunda disebut user. Pemda Garut memang melihat tanaman akar wangi itu lebih banyak membawa bala ketimbang manfaat. "Penanaman user mengundang erosi besar," ujar Hilman Faridz, Kepala Bagian Perekonomian Pemda Garut. Maka, sejak 1978 Pemda Garut dan Ja-Bar melarang penanaman akar wangi di seluruh wilayahnya. Namun, bagi Misbah dan sejumlah petani lainnya, akar wangi tetap sebagai sahabat. Mereka menanam dan terus menanam user di lahannya, yang berada di lereng-lereng Papandayan, Guntur, dan Kamojang -- deretan gunung yang menjadi tangkapan air daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk. "Di sini cuma user yang tumbuh subur, hasilnya bagus, dan mudah dijual," kata Haji Misbah, petani yang merangkap pemilik usaha penyulingan minyak user itu. Agaknya, "kebandelan" Haji Misbah dkk. membuat Pemda Garut dan Ja-Bar angkat tangan. Lewat SK Gubernur, Pemda Jawa Barat mengizinkan kembali petani membudidayakan akar wangi. Pemda Garut pun sedang membuat ancang-ancang untuk mengizinkan kembali penanaman user. "SK-nya akan keluar akhir Juli ini, kini tinggal menunggu persetujuan redaksionalnya saja," ujar Hilman Faridz. Kompromi tersebut kabarnya tercapai lantaran kegandrungan atas wanginya komoditi ekspor nonmigas makin menjadi-jadi. Permintaan atas minyak akar wangi, kendati masih berskala kecil, memang menunjukkan kecenderungan yang menguat. Belakangan, ekspor minyak akar wangi Indonesia mencapai 250 ton (80% dari Garut), dan itu telah mengisi 40% pasar dunia. Garut memang telah lama menjadi pemasok user. Tanaman yang mirip alang-alang itu hanya tumbuh baik di udara sejuk dataran tinggi, paling tidak di atas 700 meter, pada tanah berpasir dan kaya akan debu vulkanik. Tak syak lagi, user pun tumbuh di lereng-lereng gunung. Celakanya, user hanya suka ditanam secara monokultur -- tidak suka hidup berdampingan dengan tanaman peneduh. Apa boleh buat, di saat rumput akar wangi itu masih muda, lahan setempat seperti setengah telanjang, tak terlindungi oleh tajuk ataupun dedaunan. Guyuran hujan langsung menerjang kulit tanah, mendongkel, dan menghanyutkannya. Terjadilah erosi. Cara pemanenannya pun mengundang kerawanan. Untuk memperoleh akar tanaman itu, petani harus menggalinya sepanjang kedalaman akar, sekitar 70 cm. Seusai panen, baru tanah galian diurukkan lagi, dan bibit baru ditanam. Celakanya, panen raya itu jatuhnya pada musim hujan. Tanah bongkaran itu pun mudah dihanyutkan air limpasan hujan. Sebelum membuat pelarangan lewat SK Nomor 125 tahun 1978 itu, menurut Hilman, Pemda Garut telah membuat kajian yang mendalam. Selain merangsang erosi, budi daya akar wangi itu juga menyebabkan kesuburan tanah menurun drastis. Anjuran terasering, pemberian kompos, atau pupuk kandang, seperti tak didengar. Maka, jadilah daerah pertanaman akar wangi itu sebagai pemasok lumpur bagi Sungai Cimanuk. Setiap hektare kebun user, dalam taksiran Dr. Oktap Ramelan, ahli agronomi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, bisa menghanyutkan 40 ton lumpur per seratus hari. Jadi, lebih buruk dari kacang tanah yang ditanam di tanah lereng, yang cuma mengerosikan 20 ton tanah. Maka, "Keluarlah SK pelarangan penanaman user itu," kata Hilman Faridz. SK Pelarangan itu disusul dengan aksi penebasan dan pembakaran kebun-kebun user. Produksi dan usaha penyulingan akar wangi sempat menyusut. Sebelum dilarang, "dulu di sini ada 30 tempat penyulingan, sekarang hanya tinggal 11 buah," kata Misbah. Namun, gencarnya permintaan tak membuat semuanya ambruk. Areal penanaman akar wangi pun secara sembunyi-sembunyi masih tetap bertahan sampai 3.000 ha di seluruh wilayah Garut. Tanaman user, menurut Misbah, memberikan hasil sekitar 15 ton untuk setiap ha. Memang ada saat panen raya, di awal musim penghujan, tapi panen harian pun tak pernah lewat. Secara rata-rata, harga akar user itu Rp 10 ribu/kuintal, dan umumnya dibeli oleh pemilik tempat penyulingan. Dalam proses penyulingan, selama 14 jam, 1,5 ton akar user menghasilkan 6 kg minyak user yang kaya akan minyak atsiri. Hasil sulingan itu dilego ke pedagang di Garut dengan harga Rp 41.000 sampai Rp 42.000 per kg. Tudingan erosi dan proses pemiskinan tanah ditolak oleh Misbah. "Tak ada erosi di sini. Kalau ada berarti akan terjadi tanah longsor, dan tanah longsor tak pernah terjadi di desa ini," kata Misbah, yang tampaknya tak paham soal erosi itu, dengan polosnya. Soal pemiskinan tanah? "Tak ada itu. Dari dulu tanah di sini tetap subur," tambahnya. Bahwa user itu ditanam di tanah-tanah lereng, petani itu memang punya perhitungan tersendiri. Tanah datar yang beririgasi digunakan menanam padi, yang bisa dua kali setahun. Sedangkan tanah yang berlereng dan sulit air dimanfaatkan untuk akar wangi, yang memang tahan kekeringan, walau hanya sekali panen setahun. Kalaupun kini Pemda Garut mencabut pelarangan itu, tak berarti erosi itu tak terjadi. "Kami menghadapi dilema. Kalau terus dilarang, mereka menanam secara sembunyi-sembunyi, hingga akibatnya makin sulit dikontrol," kata Hilman. Tapi kalau diizinkan begitu saja, erosi pun akan kian menjadi-jadi. Langkah yang digariskan, antara lain membatasi kebun user maksimum 2.000 ha, dan melarang penanaman pada lereng yang terjal. Sejalan dengan itu, "Kami juga akan membina petani agar memperhatikan soal erosi, sambil mengupayakan peningkatan produktivitas lahan," ujar Hilman. Putut Tri Husodo dan Dwiyanto Rudy S. (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini