HARI jadi ke-103 Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Ja-Tim, Senin pekan lalu, diperingati secara khas. Selain melepas 15 macam varietas tebu baru, P3GI mengumumkan juga keberhasilannya mempraktekkan teknik baru dalam pembibitan tebu. Teknik baru itu disebut mikropropagasi. Dengan cara ini, bibit varietas baru bisa lebih cepat dilipatgandakan sehingga lebih lekas sampai ke tangan petani. Lebih dari itu, "Bibit dari mikropropragasi dijamin bebas penyakit," ujar Ir. Eka Sugiyarta, staf peneliti P3GI. Pengadaan bibit selama ini memang menjadi titik rawan dalam mata rantai budidaya tebu. Permintaan bagal (bibit tebu yang diperoleh lewat stek) varietas baru tak bisa dilayani secara cepat. Penggandaannya memang makan waktu lama. Mula-mula bagal tebu varietas baru itu harus ditanam sampai umur 6 bulan, lalu dipotong-potong menjadi 8-12 bagal. Dengan cara itu, petani bisa menikmati bibit baru itu setelah 4-5 tahun. Padahal selama masa penggandaan di lapangan tadi, bibit-bibit itu sering tak bisa lepas dari serangan penyakit laten, seperti RSD (Ratoon Stunting Disease) yang membuat tebu tumbuh lamban. Penyakit itu menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Alhasil, bibit yang sampai ke petani tak terjamin kesehatannya. Teknik mikropropagasi bisa meniadakan kemungkinan buruk itu. Lagi pula pembiakaannya jauh lebih cepat. Dengan mikropropagasi, satu bibit bisa digandakan menjadi 40-50 ribu cma dalam tempo 6 bulan. Prestasinya di lapangan pun terbukti tak mengecewakan. Hasil uji coba P3GI di daerah yang tingkat serangan penyakit RSD-nya tinggi menunjukkan, pertanaman dengan bibit eks kultur jaringan menghasilkan panen tebu 25% lebih tinggi dan gula 19% lebih besar dibandingkan dengan areal yang ditanami tebu dengan bibit bagal. Pada daerah yang bebas dari serangan RSD pun bibit dari kultur jaringan tetap menunjukkan keunggulannya. Hasil tebu serta gulanya 12% dan 5% lebih tinggi. Mikropropagasi itu bersandar pada teknologi kultur jaringan -- sebuah rekayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur kondisinya. Kultur jaringan sendiri bukanlah hal yang baru dalam pentas bioteknologi. Namun, keberhasilan penerapannya pada pengadaan bibit tebu, bolehlah disebut sebagai terobosan baru. Teknologi kultur jaringan diadopsi P3GI Pasuruan sejak 1975. Pelbagai macam eksperimen telah dilakukan, termasuk uji coba komposisi media untuk membiakkan jaringan dan pemilihan eksplan -- jaringan tanaman yang paling cocok untuk perlakuan kultur jaringan. Di antara eksplan yang telah dicoba, "Pucuk tebulah yang terbaik," ujar Eka Sugiyarta. Untuk mengubah sayatan daun muda itu menjadi bibit yang siap ditanam di tanah, diperlukan dua tahap perendaman pada media kultur jaringan, yang makan tempo sekitar 4-5 bulan. Lantas, disusul dengan aklimatisasi dalam pot selama 1,5 bulan. Dari setiap pucuk tebu, menurut Eka, diperoleh 10 sayatan kecil. Setiap sayatan itu dibiakkan dalam tabung berisi media MS (Murashige & Skooog) yang telah dimodifikasi komposisinya dan disebut MS I. Di situ, sayatan pucuk tebu tadi dibenam selama 6-8 pekan, hingga tumbuh menjadi bongkahan tak beraturan berukuran cukup besar, yang disebut kalus. Setelah cukup besar, kalus itu diambil dan dipotong menjadi sekitar 200 irisan kecil, lantas dibiakkan kembali dalam media lain lagi selama 3 bulan -- yang disebut MS II. Setiap irisan itu menempati satu botol. Di situ, irisan kalus tadi tumbuh dan berkembang menjadi sekitar 40 tunas muda yang lengkap -- memiliki akar, batang, dan daun. "Tapi yang siap dipindahkan ke pot hanya sekitar 20-25 semaian," kata Eka, 32 tahun, sarjana pertanian lulusan Universitas Gadjah Mada, 1981, itu. Dengan begitu, menurut kalkulasi Eka, satu potong pucuk tebu sanggup menghasilkan 40.000-50.000 tunas. Lepas dari botol berisi MS II itu, bibit-bibit muda yang masih lemah itu dipindahkan ke pot berisi tanah dan pupuk. Selama 10 hari, bibit-bibit itu tak dikenakan sinar matahari langsung, melainkan disimpan di bawah keteduhan. Setelah 1,5 bulan dalam pot, semaian itu sudah tumbuh sampai 30 cm tingginya, dan siap dipindahkan ke lapangan. Rahasia pembiakan itu memang bertumpu pada komposisi media MS I dan MS II. Kedua larutan itu mirip betul komposisinya -- masing-masing mengandung 20 jenis nutrisi yang sama, jumlah dan jenisnya. Di situ, antara lain, ada garam-garam Mg SO4, CaC12, KH2PO4, ZnSO4, sukrosa, agar-agar, air kelapa muda, dan vitamin seperti Inositol, Thiamine (B1), dan Piridoksine (B6). Dari nutrisi ini, kebutuhan energi dan matenal untuk pertumbuhan jaringan terjamin. Namun, dalam soal hormon, MS I dan MS Il sungguh berbeda. Pada MS I, hanya terhadap hormon 2.4 D (dari kerabat hormon Auksin), yang berperan merangsang pembelahan sel, dan punya efek nyata dalam memacu pertumbuhan. Namun, dalam pembelahannya, sel-sel itu tumbuh serba sama -- tak mengalami perubahan fungsi. Alhasil, dari pembelahan itu hanya diperoleh masa sel tanpa diferensiasi, yang kemudian disebut kalus. Pada MS II, hormon pertumbuhan itu diimbangi dengan hormon perangsang perkembangan. Sel-sel membelah diri seraya berdeferensiasi, atau mengambil "spesialisasi", sehingga muncul bakal akar, bakal batang, dan bakal daun. Sehingga tumbuh menjadi tunas dengan organ-organ yang lengkap. Perangsang deferensiasi pada MS II ini adalah hormon kinetin dan IAA. Untuk membuat racikan MS I dan MS II itu, kata Eka, perlu biaya sekitar Rp 1 juta -- separo dari harga media MS standar. Setiap racikan bisa dipakai untuk mengolah satu pucuk tebu, dan menghasilkan 40.000-50.000 tunas. Dari segi bisnis, "Bibit kultur jaringan ini tidak mahal," kata Eka. Putut Tri Husodo dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini