Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Iklan dagang hukum dan hukum dagang

Law firm kartini muljadi & associates mengiklankan jasanya di harian dan majalah. ada yang menantang sebagai pelanggaran kode etik. t.mulya lubis setuju iklan tersebut sebagai terobosan dalam era deregulasi.

21 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOTARIS terkemuka Nyonya Kartini Muljadi, 60 tahun, yang rupanya sudah beralih profesi menjadi pengacara, membuat terobosan baru. Pekan-pekan lalu, Kartini melakukan hal "yang dianggap haram" oleh kalangan advokat. Hakim Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 1958 itu memasang iklan kantor pengacaranya yang baru di majalah TEMPO edisi 7 Juli dan 14 Juli 1990, serta harian Kompas, 13 Juli 1990. Isi iklan itu, persisnya, mengumumkan dibukanya "Law Firm Kartini Muljadi & Associates" sejak 2 Juli 1990. Alamat kantor haru itu sama dengan kantor lamanya. Terletak di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, tak jauh dari kantor Departemen Kehakiman. Bahkan, papan nama Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kartini juga masih terpasang di depan kantor itu. Selain nama Kartini, di iklan itu juga tertulis nama empat orang rekannya, serta tiga orang penasihatnya. Dan, sebanyak delapan jasa hukum, spesialisasi kantor pengacara itu, juga ditawarkan. Mulai dari pasar modal, kontrak bisnis, sampai urusan paten dan merek. Keruan saja, iklan setengah halaman itu mengejutkan banyak pihak. Betapa tidak. Selama ini tak pernah ada advokat yang "berani" mengiklankan usaha dan jasanya. Sebabnya, sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 kode etik advokat Indonesia, "mengiklankan diri" tegas-tegas dilarang. Bahkan di kalangan praktisi hukum, hingga kini masih berkembang anggapan bahwa memasang iklan identik dengan memperdagangkan keadilan. Soalnya, profesi advokat sebagai pembela keadilan, sejak zaman Romawi, dianggap mulia. Maka, tak heran jika Ketua Dewan Kehormatan organisasi advokat (Ikadin), Martiman Prodjoamidjojo, mengaku kaget begitu membaca iklan itu. "Kartini itu pernah sama-sama saya menjadi hakim pada tahun 1960-an. Masa sih dia tak tahu kalau memasang iklan begitu tak boleh," kata Martiman. Terlebih lagi, sambung Martiman, dalam iklan itu juga disebutkan jasa hukumnya. "Ini namanya sudah dagang hukum. Bukan hukum dagang lagi," ujarnya sembari tertawa. Menurut Martiman, jurus Kartini bisa saja diperkarakan sebagai pelanggaran etik. Hanya saja, katanya, untuk memproses pelanggaran itu harus ada pengaduan dulu dari masyarakat. Setelah itu barulah Ikadin memprosesnya ke Departemen Kehakiman. Reaksi Ikadin sendiri, yang dicanangkan sebagai wadah tunggal advokat, belum terdengar. Mungkin, lantaran organisasi yang sedang dilanda kemelut berebut calon ketua umum itu kini sedang sibuk mengurusi persiapan Munas I pada 24-27 Juli nanti. Persoalannya sekarang, apa dasar dan alasan kiat Kartini itu. Sayangnya, Kartini sendiri enggan dihubungi untuk menjelaskan duduk persoalannya. Penasihat senior di kantor pengacara Kartini, Prof. Ting Swan Tiong, 78 tahun, menilai kiat iklan begitu boleh-boleh saja. Menurut Prof. Ting, usaha Kartini itu (law firm) tidak termasuk advokat, tapi konsultan hukum. Artinya, konsultan hukum tidak seperti advokat, yang membela perkara dan beracara di pengadilan. Sebab itu, konsultan hukum menginduk ke Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Bukan ke Ikadin, yang memberlakukan ketentuan kode etik advokat. "Karena kantor Kartini itu konsultan hukum bisnis, boleh saja memasang iklan," kata Prof. Ting, dosen semasa Kartini kuliah di FH-UI tahun 1950-an itu. Dalih konvensional itu tentu saja dibantah Martiman. "Apa mereka bisa menjamin bahwa jasa yang ditawarkan kepada kliennya itu tidak akan dibawa sebagai perkara ke pengadilan?" kata Martiman. Apalagi, tambahnya, dalam RUU advokat kelak, law firm ataupun advokat akan dijadikan satu. Nah, "Apa lagi bedanya?" kata Martiman dengan tandas. Namun, ada pendapat lain dari T. Mulya Lubis. "Penafsiran Prof. Ting tentang advokat terlalu letterlijk," ucap pengacara itu. Padahal, katanya, pada hakikatnya konsultan hukum yang mewakili kliennya juga berhadapan dengan konsultan hukum lain, yang juga mewakili kliennya. Jadi, sama saja seperti advokat yang berperkara di pengadilan. Sebaliknya, Mulya setuju dengan terobosan iklan Kartini "Larangann advokat atau konsultan hukum memasang iklan itu hipokrit," tambahnya. Sebab, dalam prakteknya, iklan pengacara sudah lama terjadi dalam berbagai format yang canggih. Entah iklan terselubung berupa konperensi pers atau wawancara, pengumuman vonis pengadilan, surat pembaca, maupun iklan di halaman kuning buku telepon. Sementara itu, katanya, dalam era deregulasi dan globalisasi ekonomi sekarang ini, profesi pengacara mau tak mau sudah menjurus ke business like. Mereka mesti cepat mengikuti perkembangan bisnis. Tak heran jika di Jakarta banyak law firm yang memasang tarif sampai ratusan dolar. Di Amerika, sambung Mulya, iklan begitu sudah dianggap bagian dari praktek bisnis yang lumrah. Nah, dengan melihat kenyataan itu, sudah saatnya kode etik advokat, yang kaku dan ketinggalan zaman itu, direvisi. Lagi pula, "Dengan memasang iklan, saya kira kejujuran profesi bukannya tak bisa dipertahankan," kata Mulya, yang kini sedang mengikuti program doktor untuk bidang hak-hak asasi di University of California, Berkeley, AS. Happy S., Sri Pudyastuti R. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus