BAGAIKAN Hanoman, Suwono Blong, 55, menggaruk-garuk brewoknya yang memutih sambil mengumpat, "Broker itu bahasa Londo, Jawanya ya bajingan!" Blong, yang mendapat hadiah Kalpataru 1983, sebagai pengabdi lingkungan karena berhasil membina gelandangan, WTS, dan bekas bromocorah di kampungnya, marah besar. Napasnya tersengal dan darah tingginya kumat. Ia merasa dupu beberapa orang yang menamakan dirinya tenaga sukarela dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yang dengan dalih Yayasan Majapahit - proyek Blong yang dihuni 1.230 bekas gali, gelandangan, dan WTS mendapatkan dana dari luar negeri. Penyelewengan dana ini telah diadukannya kepada sejumlah pejabat. Mulai dari Laksusda Mojokerto, Menteri Sosial Nani Soedarsono, sampai ke Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Memang, sejak Blong meraih Kalpataru, Dukuh Balongcangkring dan Cakarayam II, Mojokerto, Jawa Timur, banyak didatangi orang. Lebih-lebih Blong mempunyai sejarah hidup unik, sebagai bekas bromocorah. Dana dari luar negeri pun berdatangan. "Karena saya buta liku-likunya cari dana dari luar negeri," ujar Blong sambil membukabuka lembaran pembukuan yayasannya, "apalagi serba bahasa Inggris", maka urusan itu ia serahkan kepada sekelompok anak muda yang konon giat bergerak dalam bidang lingkungan dan humanitas. Kelompok pecinta lingkungan dan humanitas ini kemudian membuat usulan proyek ke AFFHC (Australian Freedom from Hunger Campaign) di Canberra, Australia, ke HIVOS (Humanistisch Instituut voor Ontwkkelings Sammenwerking) di Den Haag, Belanda, dan juga mencoba cari dana ke AS, serta beberapa yayasan kemanusiaan lainnya di manca negara. Rupanya dana tak sulit didapat asal usulan proyek bisa dibuat secara meyakinkan. Yayasan Majapahit mengajukan Rencana Induk Pengembangan (RIP) untuk jangka 10 tahun, yang dibuat Yoseph Oenarto Dipl. Ing., yang kabarnya jadi kepala HIVOS Indonesia, dan Gatot Stariadi, anak Blong sendiri, yang memimpin proyek RIP. Kedua orang inilah yang dituduh Blong telah "menjual" yayasannya dengan mencari dana tanpa ia tahu. Walhasil, dana puluhan juta rupiah pun berdatanan dari HIVOS dan AFFHC. Tapi rencananya untuk membuat 50 rumah "orang miskin" baru jadi 10 buah. Itu pun RIP telah tekor. Kas yayasan sempat membantu Blong setelah Tuah itu karena, "Gampang," kata Yoseph, "utang Rp 6 juta dari yayasan potong saja pada dana berikut." Kalimat Yoseph ini agaknya yang membuat berang Blong. "Rupanya, 1.230 jiwa warga yayasan kalian jual. Kalian calo!" Kepopuleran Blong tampaknya menjadi sasaran empuk bagi sejumlah LSM - yang bukan saja bergerak di JawaTimur, tapi juga ada hubungannya dengan LSM di Yogyakarta dan Jakarta. Ny. Ruminah, 42, salah seorang germo dari 30 rumah bordil yang memasang papan nama "kelompok wanita harapan", juga menuding orang-orang RIP yang katanya keenakan diberi makan (3 X nasi bungkus) oleh para WTS. WTS dari kompleks Yayasan Majapahit yang sering memakai seragam PKK kalau ditinjau pejabat itu banyak yang khawatir, kalau Blong meninggal, mereka akan kehilangan pelindung. Akan halnya Yoseph Oenarto, ia menuduh Blong ahli adu domba. Ia menyesal rencananya berantakan, tapi tak mau mengadukan Blong pada yang berwajib karena Blong memblokir uang dana yang ada dalam bank. "Blong sudah memiliki reputasi nasional," kata komandan Kodim 0815 Mojokerto Letkol Chairoel Arni. "Hingga, perlu pengamanan," tambahnya. Reputasi nasional ini rupanya tak cuma menyusahkan penerima Kalpataru semacam Blong, tapi juga menyusahkan Adnan Sutan Manik, 53, yang menerima Kalpataru 1984 sebagai perintis lingkungan karena berhasil mengembangkan kebun jeruknya. Ia kini jadi tokoh di desanya, Kamang Hilir, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Akibatnya, ia lebih banyak duduk di balai pertemuan untuk rapat dan menerima tamu. Sutan Manik rupanya tak ada waktu mengurus kebun jeruknya yang 4 ha itu. Hadiah Rp 2,5 juta itu sebagian diusahakan untuk jamur merang, yang mengalami kesulitan pemasaran. Ia juga tak ada waktu lagi mengembangkan kebun markisahnya. Hal serupa dialami si pembuat kincir angin Zamrisyaf, 26. Pembikin pembangkit tenaga listrik Desa Sitalang, Kabupaten Agam, ini mendapat Kalpataru 1983. Kini ia memang sudah jadi pegawai PLN Pakitrin. Sumatera Barat. Tetapi hadiah Rp 2,5 juta hingga kini masih berwujud seonggok pondasi beton. Ia akan membuat kincir angin yang lebih besar dengan kapasitas 15.000 watt. Tentu saja, uang sebanyak itu tak cukup, tapi permintaan kreditnya ke BRI ditolak. Meski begitu, masih banyak desa terpencil lain yang minta kepadanya untuk diajari membuat kincir angin. Mungkin ini bisa menutupi kekecewaannya. Yang pasti tak kecewa, Waras Soebroto pengabdi lingkungan Kalpataru 1984 yang dihargai karena usahanya menyelamatkan penyu di pantai Banyuwangi. Uang Rp 2,5 juta dibelikannya rumah dan lahan pertanian. Pegawai honorer resor PPA Purwo Timur, Banyuwangi, itu kini jadi pegawai tetap. Karena itu, ia makin glat mengawasi hutan lindung dengan cara yang ditempuhnya dulu: jalan kaki. T.K. Laporan Saiff Bakham dan Ibrahim Husni (Surabaya) dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini