Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Keruk iii

Kerukunan iii adalah seruan, agar ppp rukun kembali dengan dr. naro, supaya persiapan pemilu berjalan lancar. (kl)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUK atau Kerukunan I adalah ketika kalangan Nasionalis merasa kejepit waktu mula Orde Baru - sedikitnya kikuk-sehingga berseru-seru, sebaiknya naslon rukun kembali, stop saling jambak dan piting. Betapapun bagus seruan itu, namanya saja ajakan rukun, tapi karena kesibukan luar biasa, tidaklah sampai jelas terdengar atau jadi pertimbangan. Rukun memang perlu, tapi ada barang lain yang lebih perlu. Misalnya: selimut itu perlu, hanya saja rasanya ranjang lebih perlu. Keruk I, ringkas kata, menguap bagai embun. Keruk II adalah ketika baik Kiai As'ad Syamsul Arifin cs maupun Dr. Idham Chalid cs sama sepakat akhiri pertikaian, karena kelamaan bertikai rasanya tidak lucu toh mundurnya Dr. Idham Chalid dari jabatan ketua sudah cukup jelas, berkat pernyataan sendiri di atas segel bermeterai cukup disertai pertimbangan jauh. Maka, sesudah itu orang pun berbondong-bondong penuhi jalan besar pergi ke Situbondo yang sepanjang tahun ditiup angin laut, memilih pimpinan NU baru yang diharap layak menyongsong abad ke-21. Akan halnya Idham Chalid sendiri, ia peroleh tempat layak terhormat sesuai dengan kondisi kerukunan pun terbukti, semua pihak menarik napas panjang disebabkan hati yang lega. Keruk III adalah seruan agar orang PPP bisa sama-sama duduk di balai-balai kembali, seperti pemandangan kenduri di kampungkampung, dengan Dr. Naro tetap rapi bersila di ujungnya, setidaknya ibarat lambang ketokohan datuk-datuk zaman dahulu kala, berikut posisi kepemimpinan partai di daerah dikembalikan pada keadaan sehat tanpa jomplang, semua silang selisih dihentikan hingga sekian, supaya persiapan pemilu nanti bisa sebagaimana mestinya. Kalau toh PPP jadi kecil, hendaklah kecil nan indah, seperti bola bumi kita dalam lingkungan angkasa raya. Waktu tulisan ini dibuat, belumlah jelas benar bagaimana ujung seruan keruk ini, walaupun ramai jadi simakan mereka yang berkepentingan - karena keputusan apa pun yang terambil akan berakibat jauh. Dan berhubung dunia ini berwarna-warni, ada yang menganggap tak jadi apa Dr. Naro pergi dari duduknya - barangkali sudah waktunya suratan ltu tapi ada juga yang menganggap tak ada halangan tetap di tempat asalkan begini atau begitu. Nun di seberang sana, ada pula semacam seruan Keruk, walau tak usah persis: tatkala pada tahun 1960 pemimpin redaksi majalah Life, Henry R. Luce, suatu malam terloncat kaget melihat Amerika Serikat sudah jadi bangsa tak menentu, seliweran tak jelas arah, bicara damai tak tahu macam damai yang dimaksud, bicara kemerdekaan tak jelas macam kemerdekaan yang jadi idaman, bicara kecukupan tak jelas macam kecukupan yang dikejar, bicara kebesaran diri apa betul Amerika Serikat memang sungguh besar. Tahun 1776 Thomas Jefferson sudah menulis Deklarasi Kemerdekaan. Tanpa itu tak bakalan ada bangsa Amerika yang sanggup menghimpun tekad terang-benderang, mampu longgarkan jepitan, bisa atasi sulit dan pedih macam apa pun. Tapi sekarang, kok jadi ruwet acak-acakan? Tak kurang dari 10 pemuka Amerika tergugah dan bikin artikel. Jika mau beres, pokok masalah gampang saja, kata Gerald Johnson. Amerika Serikat tak lain satu negeri berstandar tinggi dengan kehidupan rendah. Konsumsi menaik dengan kultural menurun, celaka betul. Negeri vakum imajinasi dan miskin jangkauan. Cakrawala nasional menjadi cupet, seakan yang tampak ujung batang hidung sendlri semata. Tampaknya sudah jadi bangsa status quo betulan, maunya tenang serta tenteram, tak boleh perahu oleng walau oleh riak apalagi gelombang. Betul memang orang tempo dulu semacam Tom Paine bilang "Negeriku adalah jagat raya dan bangsaku seantero manusia" - tapi mana ada lagi sekarang keuniversilan visi macam begitu? Malang benar, kata bekas wapres Adlai Stevenson. Persis saat bangsa-bangsa lain bangkit dengan tantangannya, kok Amerika justru kehilangan tanggap sosial dan surut jadi tawanan kenikmatan pribadi. Kita ini walhasil bagaikan tersesat di hutan tanpa mengerti ke mana mau pergi, tambah Archibald MacLeish - biar tampaknya kita kaya-raya, dapur dan gudang orang Amerika lebih penuh dibanding milik Louis XIV di seantero Versailles. Sedangkan Billy Graham punya cerita, ia punya sahabat pukul-pukul golf seakan sehat walafiat, tapi seminggu kemudian sudah berpulang ke alam baka disebabkan bangsa ini sebetulnya mengidap kanker moral dan spiritual. Itu semua benar, kata Kolumnis Walter Lippmann, tapi yang paling benar dari yang benar: kita sudah turun tingkat jadi bangsa berpikiran kecil-kecilan, tak punya kemauan nasional gegap gempita, tak punya inovator macam Roosevelt atau Wilson yang mampu mendorong kita menggeliat bangun. Bangsa model begitu itu, apalagi namanya kalau bukan dalam proses jadi sontoloyo, tanpa pandangan mondial, meringkuk-ringkuk saja hingga tamat riwayat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus