VIETNAM sedang terancam. Bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh keadaan alam yang berubah kritis sebagai akibat perang berkepanjangan. "Tanpa bantuan asing, sukar dibayangkan kesulitan ini bisa di tanggulangi," ujar Dr. John MacKinnon, bersama dua rekan Vietnamnya, Dr. Vo Quy dan Dr. Le Thac Can. MacKinnon adalah konsultan sebuah lembaga internasional konservasi dan sumber daya alam, yang baru merampungkan penelitiannya tentang Vietnam. Dari markas besarnya di Gland, sekitar 32 km di timur laut Jenewa, Swiss, lembaga itu menyiarkan laporannya, pekan lalu. Dokumen 97 halaman itu mengungkapkan, selama perang melawan pasukan AS saja, Vietnam diguyur oleh 19 juta galon herbisida, termasuk apa yang kemudian dikenal sebagai "Agen Oranye", "Agen Putih", dan "Agen Biru". Herbisida ini, yang dicurahkan ke sawah, ladang, dan hutan, mengandung dioksin yang sampai sekarang berada dalam derajat racun aktif. Tidak heran bila di negeri itu angka penyakit dan kanker yang berhubungan dengan keracunan terus membengkak dari tahun ke tahun. Sementara itu, sepuluh tahun setelah perang terakhir usai langkah untuk memperbaiki kedaan sepenuhnya tidak menggembirakan. "Reboasasi tidak berjalan, kesuburan tanah tidak bertambah baik, bahkan jenis ikan di sungai pun semakin berkurang," demikian kesimpulan penelitian tersebut. Studi ini mencoba melacak akibat konflik "permanen" yang terjadi di Vietnam sejak 1945 hingga 1975. Selama perang panjang itu, Vietnam kehilangan sekitar 23 juta m3 hutan komersial, dan sekitar 150 ribu hektar areal perkebunan karet. Terdapat sekitar 25 juta lubang bom di negeri ini, dengan akibat pemunggahan sekitar satu milyar m3 tanah, yang merusakkan daur arus air dan mempengaruhi kesehatan para pemukim disekitarnya. Pada 1943, sekitar 44% dari wilayah Vietnam yang seluas 311.620 km2 itu ditutupi hutan. Kini, angka itu tidak sampai 23%. "Sepertiga dari seluruh luas negeri itu sekarang merupakan kawasan mubazir," ujar MacKinnon, yang mengikuti riset tiga bulan di Vietnam. Bila keadaan ini dibiarkan, pada tahun 2000 Vietnam diperkirakan akan "telanjang", dengan kerusakan berat pada daur suplai bahan makanan dan energi. "Skala kehancuran seperti ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah perang," demikian hasil riset tersebut. Untuk membongkar sarang-sarang gerilyawan, misalnya, pasukan AS menggunakan puluhan buldozer raksasa membalik tanah pertanian, hutan, bahkan kampung dan pekuburan. Hutan lebat dibakar dengan bom napalm. Bahkan tanggul dan sistem produktif pertanian sebagian besar binasa oleh mesin perang. Sekitar empat juta acre tanah tercemar oleh siraman herbisida. Dengan produksi pertanian yang tidak menggembirakan, pengetatan program kependudukan juga tidak berjalan baik. Dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% setahun, negeri itu kini dihuni 60 juta jiwa, dua kali jumlah penduduk pada 40 tahun lampau, dan satu di antara yang terpadat di dunia, terutama untuk sebuah negeri pertanian. "Problem pangan akan menjadi masalah gawat Vietnam," demikian kesimpulan studi itu lebih jauh. Dikhawatirkan, tidak lama lagi negeri ini sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, sementara produksi yang bisa dijual untuk ditukarkan dengan bahan pangan juga tidak tersedia. Sementara itu, "Kota-kota akan dibanjiri urbanisasi dan mengalami pencemaran berat, konflik masyarakat akan bertambah tajam, dan keamanan alamiah dengan sendirinya semakin kendur." Dari segi keseimbangan alam, perang juga membawa akibat panjang untuk Vietnam. Pasukan AS, menurut laporan riset tersebut, tidak saja menumpas para gerilyawan. "Mereka juga menembaki gajah dan lembu, karena khawatir binatang itu digunakan sebagai alat transpor." Sering pula, dengan sejenis asam yang belum dikenal, mereka menyirami bukit-bukit kapur, sehingga daerah itu, bersama hewan penghuninya, rusak sama sekali. Studi ini mulai tampil dalam bentuk gagasan, dua tahun lalu. Rupanya, pemerintah Vietnam sendiri merasa tertarik, dan menyumbangkan sejumlah tenaga dan fasilitas. Sebagai langkah pertama menanggapi laporan penelitian, sebuah strategi konservasi nasional akan diumumkan, musim panas tahun ini. Di dalamnya akan termasuk program reboasasi masif, keluarga berencana, dan peningkatan kesadaran rakyat akan keadaan lingkungan yang parah. Dana awal program ini diperkirakan sekitar US$ 750 ribu. Tetapi, biaya lanjutannya akan mencapai jutaan dolar. Untunglah, sekarang masih terdapat 21% tanah Vietnam yang layak digarap untuk usaha pertanian. Namun, "Areal pertanian aktif yang tersedia tidak akan sepenuhnya sanggup melayani kebutuhan, dan impor bahan pangan dalam jumlah besar harus segera dipikirkan," demikian laporan penelitian tersebut. Apalagi, secara alamiah Vietnam sudah dirugikan oleh kondisi tanah yang kurang subur, dan air yang terlalu banyak. Tingkat keasaman tanah negeri ini termasuk tinggi, dan suplai airnya tidak teratur. Di sebagian besar delta sungai, kerap timbul banjir dan topan. "Kini, di selatan terutama, tanah masih beracun, komunikasi hancur, industri ambruk," kata MacKinnon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini