PENDIDIKAN poli, teknik di Indonesia menjelang masuk masa penyapihan dan disiapkan mandiri. Karena salah satu sumber dananya, yakni bantuan Bank Dunia, kabarnya segera dihentikan. Ini berarti Departemen P dan K harus menyiapkan alokasi dana yang tak sedikit, untuk menjadikan program pendidikan yang berbiaya relatif mahal ini bisa langgeng. Pada Sarasehan I Forum Pengembangan Pendidikan Politeknik di Gedung PPI Universitas Brawijaya, Malang, Sabtu dua pekan silam, kelangsungan hidup politeknik termasuk yang paling dipersoalkan. Menurut Direktur Politeknik ITB Tony Suwandita, Bank Dunia tengah melakukan evaluasi terhadap seluruh bantuannya yang sudah diberikan untuk 17 politeknik di sini. Evaluasi itu dimulai September lalu dan berakhir Desember nanti. Ke-17 politeknik ini berstatus proyek, sehingga biaya operasional dan perawatannya masih dibantu Bank Dunia. Jika status proyek itu dihentikan, "ini akan menimbulkan kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup lembaga yang telah didirikan dengan biaya begitu mahal," kata Tony. Riwayat bantuan Bank Dunia untuk politeknik dimulai pada 1978-1985 (fase I) sejumlah US$ 49 juta, untuk membangun politeknik di Medan, Palembang Jakarta, Bandung, Semarang, dan Malang. Fase II, dana bantuan US$ 107,4 juta dengan bunga 10%, dimulai 1983 dan akan berakhir Desember tahun ini. Fase ini untuk membangun politeknik di Universitas Syiah Kuala (persisnya di Lhokseumawe), Universitas Andalas (lokasi di Payakumbuh) Universitas Tassanudin, dan Institut Teknologi Surabaya -- kesemuanya untuk jenjang D3. Bantuan fase II itu juga untuk tujuh politeknik berjenjang D2 di Universitas Tanjungpura, Lambung Mangkurat, Mulawarman, Sam Ratulangi, Pattimura, Nusa Cendana, dan Udayana. Selain itu adalah perluasan enam politeknik yang sudah ada, dan pengembangan Politeknik Education Development Center (PEDC) -- sebagai pusat pengembangan sekaligus kontrol kualitas politeknik keseluruhannya. Politeknik lama yang perluasannya kemudian disokong dana Bank Dunia adalah Politeknik Mekanik Swiss di Bandung -- politeknik pertama di Indonesia yang untuk mendirikannya (1976) mendapatkan bantuan dari Swiss US$ 2,8 juta. Politeknik yang dikelola oleh tenaga-tenaga dari ITB plus dari Swiss ini merupakan proyek percontohan yang sukses. Menurut Asisten Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sumber Daya Manusia Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc., sekarang bantuan dari Swiss sudah selesai. Karena belum bisa mandiri, dan untuk tetap bisa menghasilkan tenaga andal, mau tak mau ikut pula memanfaatkan dana Bank Dunia. Lantas bagaimana kalau dana Bank Dunia, yang selama ini mengisi 70% biaya operasional itu, dihentikan? "Sebagai pengganti, pemerintah yang membiayainya, yakni dari anggaran Direktorat Pendidikan Tinggi," jawab Ir. Oetomo Djajanegara, Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen P dan K. Jika betul bantuan dihentikan, tak berarti Bank Dunia tak lagi mengulurkan tangan. Tapi, kata Oetomo, "Karena masa kontraknya memangberakhir pada Desember ini." Namun, menurut H.A.R. Tilaar, tidak betul Bank Dunia akan menghentikan bantuannya. "Itu keliru. Yang benar adalah lembaga itu melakukan evaluasi pada setiap proyek yang akan selesai, dan itu sesuai dengan prosedur," katanya. Bagaimana duduk perkara sebenarnya, perwakilan Bank Dunia di Jakarta belum bisa dimintai konfirmasi. Dalam situasi begini, langkah yang lebih realistis adalah memikirkan bagaimana memecahkan sumber dana alternatif. Kata Tony Suwandita, "Kami masih belajar untuk mencari sumber dana yang dikembangkan dari usaha sendiri." Ada ide menjual hasil produksi mahasiswa berupa peralatan mesin dan menerima karyawan dari perusahaan-perusahaan yang hendak meningkatkan kemampuan melalui latihan di politeknik. Namun, ide itu berhadapan dengan sejumlah kendala. Misalnya, seperti terungkap dalam sarasehan di Malang itu, adalah status kelembagaan politeknik yang belum dibakukan dan peraturan pemerintah yang belum membenarkan politeknik mengelola penggunaan uang dari hasit usahanya. Padahal, lembaga seperti pendidikan politeknik ini memerlukan dana yang tak kecil. Ia membutuhkan banyak peralatan praktek, dan itu sangat mahal. Apalagi konsep pendidikan politeknik tergolong istimewa. Yakni untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang keterampilannya lebih dari lulusan Sekolah Teknik Menengah dan pengetahuan teorinya tak kalah jauh dibanding insinyur. Selain diperlukan peralatan praktek yang memadai, juga perlu tenaga pengajar yang terlatih. Ke-17 politeknik yang sudah ada memerlukan biaya operasional tak kurang dari Rp 6 milyar. Para mahasiswa hanya membayar SPP Rp 120 ribu (jurusan teknik) dan Rp 90 ribu (jurusan tata niaga) untuk tiap semester. Jumlah seluruh mahasiswa 17.000 orang. "Tinggal kalikan saja, berapa pemerintah mesti mengeluarkan bantuan," kata Tony Suwandita. Sementara itu, pemerintah tampaknya terus membangun politeknik baru dengan dana APBN, antara lain di Timor Timur. Mohamad Cholid, Wahyu Muryadi (Surabaya), Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Riza Sofyat dan Sigit Haryoto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini