Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar duka itu datang ketika Dukuh Gunungraja masih gelap. Saat suara azan subuh belum lama turun merayapi relung-relung kampung di kaki Pegunungan Dieng dari Masjid As-Sa’adah.
Sebagaimana pagi sebelumnya, pagi itu Masroni, lelaki berusia 70 tahun, berjalan perlahan menuntun istrinya menuju masjid yang terletak di tengah dukuh. Tak tampak sejumput pun kecemasan di wajahnya meski dua jam sebelum itu, di tengah hujan lebat yang menyiram kampung sejak sore, terdengar suara gemeretak. Bahkan sebagian tetangganya telah riuh bergegas ke luar rumah sambil berteriak-teriak, ”Ada gempa! Ada gempa!”
Menit demi menit berlalu. Salat wajib dua rakaat itu pun agaknya telah rampung. Tiba-tiba bumi kembali bergetar. Kali ini gemuruh suaranya lebih keras. Suwarti, cucu Masroni, segera berlari menuju masjid. Dia memanggil-manggil sang kakek dari luar pagar masjid. ”Gempa! Cepat keluar!” seru Suwarti meminta mereka menjauh dari bukit. Tapi entah mengapa, Masroni dan jemaah salah subuh yang lain tidak juga beranjak dan seperti memilih untuk tetap tinggal di dalam masjid.
Hanya dalam hitungan menit setelah itu, sekitar pukul 5 pagi, Rabu pekan lalu, Bukit Pawinihan yang menjulang 150 meter itu ambruk. Berton-ton gelombang lumpur meluncur, menerjang 102 rumah di kampung itu. ”Suaranya mengerikan, seperti raungan mesin mobil di jalan tanjakan,” kata Iskak yang menyaksikan kampungnya digelontor lumpur raksasa itu.
Sekitar 140 orang diperkirakan terbenam tanah lempung itu. Dukuh Gunungraja yang terletak di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sebagian telah terkubur. Nyaris tiada yang tersisa. ”Hanya satu menit, seluruh kampung sudah menjadi lautan lumpur,” Iskak menambahkan.
Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno yang meninjau daerah bencana menyatakan korban terbanyak adalah jemaah yang sedang melaksanakan salat di masjid. ”Kecil kemungkinan masih hidup karena ketinggian tanah mencapai lima meter,” ujarnya. Itulah subuh terakhir Masroni, istrinya, serta puluhan jemaah subuh lainnya.
Di malam yang berbeda, KH Muzammil Hasbah baru saja menutup kitab kuningnya. Pengajian malam itu di masjid Pondok Pesantren Al-Hasan, Kecamatan Panti, Jember, baru saja berakhir. Santri-santri yang bersarung dan berbaju koko sibuk membenahi kitab masing-masing. Tiba-tiba datang suara gemuruh. Air bah datang bergulung-gulung. Muzammil hengkang bersama orang-orang yang panik. Ia sempat meneriaki santri agar mengungsi ke arah barat. ”Air! Air!”
Di atas lahan yang lebih tinggi ini, 400 santrinya selamat dari banjir bandang yang menerjang enam kecamatan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. ”Gemuruh air yang datang dari hulu seakan-akan siap menghabiskan seluruh bangunan di Desa Kemiri,” kata Muzammil.
Banjir bandang itu menyisakan mayat dan nestapa bagi yang tersisa. Mohammad Farid adalah salah satu dari yang tersisa itu. Istri dan tujuh anggota keluarganya terseret air yang datang menerjang. Bapak dua anak ini berkisah dengan duka yang dalam. Pada malam kejadian, Ahad pekan lalu, sekitar pukul 20.30 malam, Farid hendak kembali ke rumahnya di Dusun Delima, Desa Kemiri, Kecamatan Panti. Dia pulang untuk menyampaikan kabar kesembuhan dua anaknya yang terkena demam berdarah.
Saat tiba di ujung dusun, jembatan sepanjang 15 meter di depannya sudah hilang diterjang air bah. Namun, di seberang, dia masih melihat istrinya, ibu mertua, paman, bibi, dan kakak iparnya. Bersama puluhan tetangga, mereka berkumpul di halaman rumah yang hanya berjarak 20 meter dari sungai. Dia berteriak-teriak, tapi suaranya ditelan deru hujan deras dan air sungai yang meluap.
Farid berusaha menyeberang sungai, namun dicegah warga yang ada di dekatnya. ”Saya menyaksikan banjir bandang itu menyeret istri dan keluarga saya,” tutur Farid. Suaranya terdengar bergetar dan tak habis-habis air matanya berjatuhan.
Selain keluarga Farid, air bah yang begitu keruh, yang datang Ahad malam dua pekan lalu, itu menewaskan 76 penduduk dan menghanyutkan 120 rumah. Sampai akhir pekan lalu, 6.761 orang masih mengungsi di posko atau tempat penampungan darurat yang dibangun Pemerintah Kabupaten Jember.
Adakah musim bencana telah tiba dan bencana di Jember serta Banjarnegara sebagai titik awalnya? Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memperkirakan longsor dan banjir masih mengancam banyak wilayah di Pulau Jawa. Pulau terpadat penduduknya ini akan disiram hujan dengan intensitas yang tinggi hingga akhir Februari nanti.
Badan Meteorologi dan Geofisika mencatat kehadiran awan cumulonimbus (Cb) di pantai utara dan selatan Jawa. Awan ini bentuknya seperti gumpalan-gumpalan kapas raksasa. Bila si Cb itu datang, maka awan bergulung-gulung ini akan menghasilkan hujan yang curahnya lebih tinggi dari biasanya (lihat Awan Penebar Duka). Kondisi ini akan terus terjadi sampai akhir Februari.
”Sekarang hujan belum mencapai puncaknya,” kata Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban yang kini mengaku waswas dengan tingginya curah hujan.
Saat ini saja, selain Jember dan Banjarnegara, banjir telah menggenangi kota-kota seperti Kendal, Brebes, Nganjuk, Kediri, dan Bali. Di Nganjuk, misalnya, banjir telah menelan dua korban jiwa.
Selain karena melimpahnya curah hujan, kerusakan hutan disebut-sebut menjadi penyebab utama terjadinya bencana. Tragedi di Jember, misalnya, Wakil Bupati Jember Hadi Supeno menuding rusaknya hutan di Bukit Pawinihan di atas Dukuh Gunungraja sebagai biang keladi banjir. ”Bukit yang runtuh itu memang gundul,” ujarnya.
Banjir bandang di Jember, menurut Muzammil, adalah banjir terburuk selama 50 tahun terakhir. ”Itu terjadi karena banyaknya penebangan liar di hutan Pegunungan Argopuro,” kata Muzammil. Dia mencatat, sejak akhir 1990-an, pembalakan liar adalah hal biasa di sana. Warga menyebut pembalakan liar sebagai pramuka, singkatan dari ”praoto (truk) muat kayu”.
Kecurigaan Muzammil ini sama dengan apa yang dikatakan Ketua DPRD Kabupaten Jember H.M. Madini Faruq. Menurut dia, dinas dan instansi terkait terlalu mudah mengeluarkan izin penebangan hutan. Sinyalemen itu klop dengan data penyusutan luas hutan lindung di Kabupaten Jember. Pada 2001, luasnya 45.471 hektare, namun tiga tahun kemudian hanya 28.360 hektare.
Hutan yang tersisa kini dikelola oleh aneka instansi, yakni Perum Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah II Jawa Timur, Perusahaan Daerah Perkebunan, Kodam Brawijaya, dan masyarakat.
Kondisi hutan-hutan itu juga mulai bikin cemas. Menurut Menteri Kehutanan Ka’ban, kerusakan seperti itu hampir terjadi di semua gunung di Jawa. Banyak hutan di lereng-lereng yang kini beralih menjadi kebun dan ladang (lihat Petaka di Balik Kebun Kopi). ”Bila ada curah hujan yang tinggi, seperti di Jember hujan selama tiga hari, tanah tak akan mampu menampung air, dan akhirnya banjir,” katanya.
Berkenaan dengan bencana di berbagai daerah ini, BMG sebenarnya sudah mengirimkan peringatan ke daerah-daerah. ”Tiap tahun, menjelang musim hujan, BMG menginformasikan (daerah rawan bencana),” kata Sri Woro B. Harijono, Kepala BMG, kepada wartawan, Jumat lalu. Namun, agaknya banyak pejabat yang tenang-tenang saja.
Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gajah Mada Sunarto mengatakan, sebenarnya alam telah memberikan alarm sebelum datangnya bencana. Untuk bencana longsor, misalnya, menurut Sunarto, ada dua gejala yang bisa dilihat. Yang pertama, kata dia, terlihat pada kontur tanah yang retak yang berada di lereng-lereng bukit. Lazimnya, sebelum longsor, bukit akan menampakkan retakan berbentuk tapal kuda atau membentuk huruf ”U”. Bila itu terjadi, siap-siap saja mengungsi.
Selain retakan, tumbuhan juga bisa dijadikan tanda bahaya untuk mendeteksi longsor. Pepohonan yang ada di daerah rawan longsor umumnya melengkung dan tidak lurus ke atas.
”Alam sebenarnya telah memberitahukan kepada manusia bahwa daerah tersebut terancam longsor. Hanya sayangnya, tanda-tanda alam itu sudah tidak lagi diperhatikan.”
Untung Widyanto, Mahbub Djunaidy, Ari Aji H.S., Syaiful Amin, Sunudyantoro
Awan Penebar Duka
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, kehadiran awan cumulonimbus di langit Jawa Tengah dan Jawa Timur menghasilkan hujan lebih tinggi dari biasanya. Awan yang bentuknya bergumpal-gumpal seperti bantal raksasa ini telah mengembuskan kematian di Jember dan Banjarnegara. Di Jember 76 orang tewas tersapu air bah, dan di Banjarnegara lebih dari 100 orang terkubur lumpur.
Bagaimana bencana itu terjadi? Inilah kronologi dan penyebabnya:
- Pada waktu normal, Banjarnegara adalah daerah dengan curah hujan tinggi (3.500 sampai 6.000 milimeter per tahun).
- Awan cumulonimbus memproduksi hujan di atas normal. Di Banjarnegara curah hujan normalnya 500-600 milimeter per bulan, tapi kini 738 milimeter per bulan.
- Kondisi tanah Desa Kemiri di Jember dan Sijeruk di Banjarnegara sama: tanah lempung yang menempel di bebatuan. Tanah ini mudah retak dan longsor.
- Ditambah lagi, hilangnya pohon-pohon berakar kuat dan penahan air seperti sengon atau pinus. Hutan itu beralih jadi kebun kopi atau pisang.
- Hujan melimpah, seperti di Jember sampai tiga hari berturut-turut, membuat kadar air di tanah jenuh. Bukit pun ambrol.
- Curah hujan 600 milimeter berarti setiap satu meter persegi tanah diguyur 600 liter air.
- Pada kemiringan 40 derajat, tanaman kopi atau pisang harusnya tak boleh ditanam di lereng bukit.
- Luas hutan di Kabupaten Jember: 2001: 77.081 hektare 2004: 66.376 hektare (susut 21,6 %)
- Bayangkan besarnya energi lumpur yang menghantam rumah-rumah di sana: 24 ton lumpur setiap satu hektare bukit yang longsor.
Petaka Awan Cumulonimbus
Awan yang mendatangkan hujan deras, cumulonimbus, telah muncul di atas Jawa. ”Awan ini terbentuk karena ada pertemuan banyak awan dari Laut Jawa dan India,” kata Kepala Sub-Bidang Ramalan dan Jasa Badan Meteorologi dan Geofisika, Ahmad Zakir. Selain itu, di Teluk Carpentaria, Australia Utara, sedang berlangsung badai. Hal ini juga menjadi salah satu faktor meningkatnya curah hujan.
Ciri-ciri
- Bila udara panas tak stabil dan kelembapan tinggi, awan akan tumbuh menjadi awan raksasa.
- Terbentuk akibat gerak udara secara vertikal karena pemanasan, pola angin, dan topografi wilayah pegunungan dan kepulauan.
- Masa hidup awan dari lahir hingga mati berkisar dua hingga tiga jam.
- Ada pada ketinggian 3.000 hingga 4.000 meter.
- Tebal. Puncak awan bisa mencapai ketinggian 23.000 meter.
Efek
- Angin bisa turun mendadak. Empasan angin berlangsung hanya dua hingga lima menit. Fenomena ini berbahaya bagi penerbangan.
- Menimbulkan angin puting beliung dengan kecepatan 30 kilometer per jam dengan area perusakan 5 hingga 10 kilometer.
- Menghasilkan guntur.
- Menimbulkan hujan es dan hujan sangat lebat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo