Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tahun 2024 menjadi momen penting bagi Indonesia dengan berlangsungnya Pemilu dan Pilkada serentak. Namun peristiwa politik itu belum membawa perubahan signifikan bagi masyarakat adat. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), situasinya justru semakin memburuk dengan bertambahnya perampasan wilayah adat hingga mencapai 2,8 juta hektare, serta eskalasi kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMAN mencatat setidaknya 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat yang terjadi di 140 komunitas pada tahun 2024, dengan total luas wilayah terdampak mencapai 2,8 juta hektare. Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menyebutkan beberapa kasus mencolok terjadi di wilayah adat Sihaporas, Poco Leok, dan Kepulauan Togean. "Kekerasan yang sistematis ini mencerminkan praktik penyangkalan negara terhadap eksistensi Masyarakat Adat," kata Rukka, dalam acara rilis Catatan Akhir Tahun AMAN, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga akhir tahun 2024, kata Rukka, masyarakat adat terus menghadapi tantangan berupa minimnya pengakuan hukum dan regulasi yang melindungi hak-hak mereka. Beberapa kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE), serta proyek pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN), menggambarkan lemahnya komitmen negara dalam memenuhi mandat konstitusional untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Rukka menyatakan, transisi kekuasaan di tingkat nasional melalui pemilihan umum seharusnya menjadi momentum perubahan. "Kami menuntut pemerintah baru untuk tidak menjadikan investasi dan bisnis sebagai prioritas utama, melainkan mengutamakan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Tanpa langkah konkret, masa depan masyarakat adat akan terus terancam," kata dia.
Menurut Rukka, realitas kebijakan yang tidak berpihak terhadap masyarakat adat juga tercermin dari perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Meski masuk kembali dalam Prolegnas 2025 setelah sekian lama diabaikan, proses legislasinya yang lamban justru menunjukkan lemahnya kehendak politik negara dalam soal ini. Di sisi lain, juga kebijakan-kebijakan seperti Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang tanah ulayat yang justru berpotensi mempercepat hilangnya wilayah adat.
Kondisi ini, menurut Rukka, semakin diperburuk oleh kebijakan ekonomi yang lebih memprioritaskan investasi dan proyek strategis nasional daripada hak asasi manusia. "Proyek pemindahan IKN, misalnya, menjadi ancaman langsung bagi lebih dari 20.000 warga adat di Kalimantan Timur," kata dia.
Deputi 2 Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi, mengatakan, minimnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat telah menyebabkan eskalasi konflik di lapangan. Kebijakan seperti Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 menunjukkan bagaimana negara terus mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat. "Kami mendesak agar pemerintah segera mencabut kebijakan diskriminatif ini dan memberikan perlindungan hukum yang nyata terhadap wilayah adat," kata dia dalam acara yang sama.
Transisi kekuasaan saat ini, kata Cahyadi, harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk merombak paradigma pembangunan yang selama ini mengabaikan hak-hak masyarakat adat. "AMAN mendesak agar pemerintah tidak hanya berfokus pada ekonomi dan investasi, tetapi juga memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat demi tercapainya keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan."
Pilihan Editor: 10 Orang Terluka Karena Banjir Bandang di Tapanuli Selatan