Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh semakin tertekan. Luas kawasan konservasi ini menyusut tak hanya lewat pelepasan lahan secara legal, tapi juga lewat deforestasi yang ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diketahui, Suaka Margasatwa Rawa Singkil ditetapkan seluas 102.500 hektare menurut SK Menteri Kehutanan Nomor 166 Tahun 1998. Namun, lewat beberapa kali perubahan hingga yang terakhir yakni SK Nomor 6616 Tahun 2021, luasannya ditetapkan menjadi 82.188 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terkini, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memantau deforestasi terjadi semakin masif di area suaka margasatwa rawa gambut terbesar di Aceh ini. Sejak awal 2019 sampai Juni tahun ini, kehilangan tutupan hutan sudah seluas 2.030 hektare atau setara lebih dari tujuh kali luas kompleks GBK di Senayan, Jakarta.
"Bisa kita bayangkan, suaka margasatwa yang menjadi kawasan paling sakral untuk konservasi dan seharusnya dijaga malah terus menyusut setiap tahunnya," kata Rubama dari HAKa, saat bersama rombongannya berkunjung ke kantor Tempo Jakarta, Kamis, 25 Juli 2024.
Peta Suaka Margasatwa Rawa Singkil. HAKa
HAkA bersama LBH Banda Aceh dan sejumlah organisasi lainnya berkeliling di Jakarta mengadukan apa yang menjadi keresahan mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Menurut mereka, dalam radius lima kilometer dari kawasan suaka margasatwa itu memang terdapat 63 desa. Namun HAKa dkk tidak yakin deforestasi untuk lahan sawit dengan pembangunan kanal yang rapi dan pengerahan alat berat di lokasi itu dilakukan hanya oleh masyarakat biasa.
"Kami melihat aktivitas alat berat yang secara terang-terangan beroperasi di kawasan SM Rawa Singkil tapi aktivitas ini tampak seperti didiamkan saja," ucap Rubama menambahkan.
Adapun upaya pelaporan selama ini dinilai tak mampu menghentikan perambahan kawasan konservasi yang berada di tiga wilayah kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Subulussalam ini. Disebutkan pernah ada pemasangan papan larangan oleh tim penegakan hukum lingkungan di lokasi tapi hanya untuk dicabut kembali.
"Kami sudah sering mengirim surat ke instansi daerah dan pusat, mengadakan pertemuan, tapi hasilnya tidak ada," kata Rubama sambil menambahkan, "Bahkan kalau diibaratkan maksimal advokasi itu sebanyak 50 kali, maka kami telah melakukannya sebanyak 60-70 kali."
Deforestasi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. HAKa
Rubama mengakui kalau secara luasan, deforestasi Suaka Margasatwa Rawa Singkil sangat kecil dibanding yang terjadi di provinsi atau pulau lain. Namun lokasinya yang berada di area suaka margasatwa yang dianggap sebagai status konservasi tertinggi, juga ketiadaan upaya serius di lapangan untuk mencegahnya, memaksa HAKa menggandeng yang lain memberanikan diri mengadu ke Jakarta.
Lalu, suaka margasatwa itu adalah rumah orang utan dengan kepadatan populasi mencapai 5 individu per kilometer persegi. Teridentifikasi pula 122 jenis burung yang hidup di sana yang 32 di antaranya berkategori dilindungi dan 20 jenis lainnya masuk Red List IUCN dan appendiks CITES. "Ada juga 123 jenis mamalia di sana, termasuk harimau sumatera," ucap Rubama.
Tempo telah meminta tanggapan Kementerian Llingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas keresahan di Suaka Maragasatwa Rawa Singkil. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Satyawan Pudyatmoko meminta untuk dikirimkan pertanyaan tertulis untuk merespons. Namun hingga berita ini ditulis, Tempo masih menunggu surat balasannya.