SUMUR mereka kering. Lantas orang awam di dukuh Balun Sawahan
cepat menuding pabrik es Bintang Terang sebagai penyedot utama.
Memang pabrik itu menggunakan bahan baku air, yang disedot dari
sumur sedalam 13 meter. Dipakainya pompa listrik 48 PK yang
berkapasitas 40 ton air sehari di tengah pemukiman penduduk
dukuh itu di kelurahan Balun, kecamatan Cepu, Kabupaten Blora,
Ja-Teng.
Proyek PMDN ini yang diusahakan oleh PT Bintang Terang tidak
membahagiakan masyarakat setempat, tapi malah meresahkan. Sebab
sehari setelah pabrik itu mulai bekerja (6 Desember lalu), 4
sumur milik penduduk terdekat menjadi kering. Gejala ini dari
hari ke hari makin meluas. Dan sampai pekan lalu tercatat 30
sumur dalam jangkauan 300 meter dari pabrik itu menjadi kering.
Sudah tentu penduduk menyampaikan keluhan kepada ketua RT
masing-masing. Keluhan ini kemudian didengar lurah Balun,
Saripin. Tanpa menunggu lama-lama, dia mengumpulkan para pemilik
sumur kering tadi bersama ketua RT mereka untuk memecahkan
persoalannya. "Jelas itu bukan suatu demonstrasi," tandas
seorang pejabat di kantor kecamatan Cepu kepada Syahril Chili
dari TEMPO.
Karena di Cepu itu -- selain Bintang Terang -- terdapat sebuah
lagi pabrik es, lahirlah isu bahwa penduduk itu ditunggangi
pihak ketiga. "Saya dapat pastikan bahwa rakyat sama sekali
tidak ditunggangi pihak ketiga," ujar Kasmidjan, 61 tahun. "Ini
semata-mata keresahan karena lingkungan saja," tambah pensiunan
Polri itu yang menjabat ketua RT-12.
Menurut Kasmidjan, penduduk hanya mengharapkan agar sumber air
mereka yang hilang itu dikembalikan. Ini tentu masalah berat.
Tapi, Kasmidjan menjelaskan, "rakyat juga tidak ingin pabrik es
itu ditutup."
Tapi benarkah pabrik itu mengganggu sumber air penduduk? Ada
pula pendapat bahwa kekeringan itu disebabkan gundulnya tanah di
wilayah itu dan pemecahannya adalah penghijauan. Tapi penduduk
tetap yakin bahwa pompa pabrik itu jadi penyebab. "Buktinya,
kalau pabrik istirahat satu atau dua hari saja, sumur saya
berisi lagi," tutur Tohir, 64 thun. Sebelum ada pabrik, walau
di musim kemarau panjangpun, sumur-sumur di Balun Sawahan --
umumnya dengan kedalaman sampai 10 meter -- tidak pernah kering.
Ir. Aminuddin, 38 tahun, Kepala Seksi Diklat Eksplorasi PPTMGB
(Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi) Lemigas,
Cepu, didampingi Suratman, 34 tahun, juga geolog Lemigas ikut
menjelaskan. Tidak betul keringnya sumur penduduk setempat
akibat penggundulan tanah, menurut kedua geolog itu, sebab
penggundulan hanya berpengaruh kepada sungai artetis. Sedang
menurut penelitian Lemigas, sumber air di situ berasal dari
sungai purba.
Sungai purba, seperti dijelaskan Aminuddin, adalah timbunan
endapan pasir yang terjadi dalam kelokan sebuah sungai, di mana
airnya lambat. Kelokan itu terbentuk selama berabad-abad dari
sungai yang tadinya lurus. Balun Sawahan terletak pada endapan
pasir semacam itu.
Dalam peta Lemigas, Balun Sawahan termasuk daerah kuning, yang
berarti tidak begitu kaya akan air. "Kalau di situ dihikin sumur
dengan diameter besar, apalagi disedot dengan pompa listrik
berkapasitas gede, jelas daerah sekitarnya akan kalah," kata
Aminuddin. Tapi Suratman menambahkan bahwa tidak perlu khawatir
bahwa seluruh kelurahan akan terkena. "Ada batas tertentu yang
dapat dipengaruhi sedotan itu," katanya, "dan batas itu
dipengaruhi pula oleh musim."
Belum Ada Tanggapan
Apabila pabrik itu dihentikan beberapa minggu saja, "air pada
sumur penduduk akan naik lagi," sambung Aminuddin pula. Direktur
pabrik itu, Hendro S., tidak mau menyetop pompanya. Tapi sejak
pekan lalu pabrik itu mensuplai penduduk dengan air melalui pipa
dengan 4 kran.
Penduduk ternyata masih tidak puas. Bayangkan, untuk 90 KK
(sekitar 450 jiwa) air itu dijatah. Pagi hari jam 06.00 sampai
dengan 08.00 dan sore hari jam 16.00 sampai dengan 18.00. Sedang
airnya mengalir terlalu kecil. Satu jam sebelum kran dibuka
penduduk sudah antri, dan belum tentu semua kebagian dalam
jangka waktu 2 jam air itu mengalir. "Harus sabar memang," ujar
Tohir, seorang kakek.
Kasmidjan mengatakan di daerah minus ini memikirkan mencari
makan saja sudah cukup sulit. "Sekarang tambah beban memikirkan
air," keluh ketua RT-12 itu.
Agaknya pihak berwajib juga mengkhawatirkan rebun air ini akan
menimbulkan cek-cok antara penduduk. Dua petugas kepolisian dari
Cepu mengharapkan pada Kasmidjan agar mengekang rakyatnya.
"Perlu diingat," kata petugas, "pabrik itu biaya PMDN, punya
izin usaha, dan punya HO."
Ternyata bukan soal air saja. Penduduk juga terganggu oleh suara
bising dari mesin pabrik itu. "Anak tidak bisa belajar, dan
malam bahkan tidak bisa tidur," ujar Affandi, yang rumahnya
terdekat.
Affandi, tukang kayu, sudah mengusulkan agar pabrik itu membuat
peredam suara atau corongnya diturunkan. "Meskipun kami sudah
mengajukan keberatan kepada pak Camat, Wedana dan Ketua RT,
sampai sekarang belum ada tanggapan," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini