Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dengan Pabrik Es, Air Habis

Masalah sumur-sumur yang kering di dukuh balun, sawahan, cepu akibat kesedot pompa listrik dari pabrik es yang didirikan didaerah tersebut. (ling)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUMUR mereka kering. Lantas orang awam di dukuh Balun Sawahan cepat menuding pabrik es Bintang Terang sebagai penyedot utama. Memang pabrik itu menggunakan bahan baku air, yang disedot dari sumur sedalam 13 meter. Dipakainya pompa listrik 48 PK yang berkapasitas 40 ton air sehari di tengah pemukiman penduduk dukuh itu di kelurahan Balun, kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Ja-Teng. Proyek PMDN ini yang diusahakan oleh PT Bintang Terang tidak membahagiakan masyarakat setempat, tapi malah meresahkan. Sebab sehari setelah pabrik itu mulai bekerja (6 Desember lalu), 4 sumur milik penduduk terdekat menjadi kering. Gejala ini dari hari ke hari makin meluas. Dan sampai pekan lalu tercatat 30 sumur dalam jangkauan 300 meter dari pabrik itu menjadi kering. Sudah tentu penduduk menyampaikan keluhan kepada ketua RT masing-masing. Keluhan ini kemudian didengar lurah Balun, Saripin. Tanpa menunggu lama-lama, dia mengumpulkan para pemilik sumur kering tadi bersama ketua RT mereka untuk memecahkan persoalannya. "Jelas itu bukan suatu demonstrasi," tandas seorang pejabat di kantor kecamatan Cepu kepada Syahril Chili dari TEMPO. Karena di Cepu itu -- selain Bintang Terang -- terdapat sebuah lagi pabrik es, lahirlah isu bahwa penduduk itu ditunggangi pihak ketiga. "Saya dapat pastikan bahwa rakyat sama sekali tidak ditunggangi pihak ketiga," ujar Kasmidjan, 61 tahun. "Ini semata-mata keresahan karena lingkungan saja," tambah pensiunan Polri itu yang menjabat ketua RT-12. Menurut Kasmidjan, penduduk hanya mengharapkan agar sumber air mereka yang hilang itu dikembalikan. Ini tentu masalah berat. Tapi, Kasmidjan menjelaskan, "rakyat juga tidak ingin pabrik es itu ditutup." Tapi benarkah pabrik itu mengganggu sumber air penduduk? Ada pula pendapat bahwa kekeringan itu disebabkan gundulnya tanah di wilayah itu dan pemecahannya adalah penghijauan. Tapi penduduk tetap yakin bahwa pompa pabrik itu jadi penyebab. "Buktinya, kalau pabrik istirahat satu atau dua hari saja, sumur saya berisi lagi," tutur Tohir, 64 thun. Sebelum ada pabrik, walau di musim kemarau panjangpun, sumur-sumur di Balun Sawahan -- umumnya dengan kedalaman sampai 10 meter -- tidak pernah kering. Ir. Aminuddin, 38 tahun, Kepala Seksi Diklat Eksplorasi PPTMGB (Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi) Lemigas, Cepu, didampingi Suratman, 34 tahun, juga geolog Lemigas ikut menjelaskan. Tidak betul keringnya sumur penduduk setempat akibat penggundulan tanah, menurut kedua geolog itu, sebab penggundulan hanya berpengaruh kepada sungai artetis. Sedang menurut penelitian Lemigas, sumber air di situ berasal dari sungai purba. Sungai purba, seperti dijelaskan Aminuddin, adalah timbunan endapan pasir yang terjadi dalam kelokan sebuah sungai, di mana airnya lambat. Kelokan itu terbentuk selama berabad-abad dari sungai yang tadinya lurus. Balun Sawahan terletak pada endapan pasir semacam itu. Dalam peta Lemigas, Balun Sawahan termasuk daerah kuning, yang berarti tidak begitu kaya akan air. "Kalau di situ dihikin sumur dengan diameter besar, apalagi disedot dengan pompa listrik berkapasitas gede, jelas daerah sekitarnya akan kalah," kata Aminuddin. Tapi Suratman menambahkan bahwa tidak perlu khawatir bahwa seluruh kelurahan akan terkena. "Ada batas tertentu yang dapat dipengaruhi sedotan itu," katanya, "dan batas itu dipengaruhi pula oleh musim." Belum Ada Tanggapan Apabila pabrik itu dihentikan beberapa minggu saja, "air pada sumur penduduk akan naik lagi," sambung Aminuddin pula. Direktur pabrik itu, Hendro S., tidak mau menyetop pompanya. Tapi sejak pekan lalu pabrik itu mensuplai penduduk dengan air melalui pipa dengan 4 kran. Penduduk ternyata masih tidak puas. Bayangkan, untuk 90 KK (sekitar 450 jiwa) air itu dijatah. Pagi hari jam 06.00 sampai dengan 08.00 dan sore hari jam 16.00 sampai dengan 18.00. Sedang airnya mengalir terlalu kecil. Satu jam sebelum kran dibuka penduduk sudah antri, dan belum tentu semua kebagian dalam jangka waktu 2 jam air itu mengalir. "Harus sabar memang," ujar Tohir, seorang kakek. Kasmidjan mengatakan di daerah minus ini memikirkan mencari makan saja sudah cukup sulit. "Sekarang tambah beban memikirkan air," keluh ketua RT-12 itu. Agaknya pihak berwajib juga mengkhawatirkan rebun air ini akan menimbulkan cek-cok antara penduduk. Dua petugas kepolisian dari Cepu mengharapkan pada Kasmidjan agar mengekang rakyatnya. "Perlu diingat," kata petugas, "pabrik itu biaya PMDN, punya izin usaha, dan punya HO." Ternyata bukan soal air saja. Penduduk juga terganggu oleh suara bising dari mesin pabrik itu. "Anak tidak bisa belajar, dan malam bahkan tidak bisa tidur," ujar Affandi, yang rumahnya terdekat. Affandi, tukang kayu, sudah mengusulkan agar pabrik itu membuat peredam suara atau corongnya diturunkan. "Meskipun kami sudah mengajukan keberatan kepada pak Camat, Wedana dan Ketua RT, sampai sekarang belum ada tanggapan," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus