PUSAT Produksi Film Negara (PPFN) dalam waktu dekat ini akan
mengedarkan film Lembah Maut Sinila. Film itu melukiskan
keganasan gas beracun yang awal 1979 lalu merenggut 149 jiwa di
lereng Sinila dataran tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa
Tengah.
Tapi di Sinila sendiri sekarang orang tak lagi takut mati lemas
terhirup gas beracun yang dikhawatirkan muncul setiap saat.
Beberapa desa yang dulu dikosongkan dan penghuninya
ditransmigrasikan ke Baturaja (Sumatera Selatan), kini mulai
ramai kembali sejak penduduk yang telah dipindahkan itu kembali
ke kampung kelahiran mereka. Desa Simbar dan Serang misalnya,
kini dihuni 90 KK (500 jiwa).
Mereka mendobrak tanggul larangan dan menggulung kawat berduri
yang menjadi batas daerah berbahaya. Ladang yang pernah
menyemburkan gas beracun kini mereka olah lagi.
Browi, seorang staf Kecamatan latur, sudah berkali-kali
memperingatkan penduduk bahwa gas beracun sewaktu-waktu dapat
muncul kembali. Tapi penduduk malah mengejek Browi. Akibatnya
banyak petugas di sana merasa tidak lagi berwibawa. Penduduk
sendiri yakin, dalam beberapa tahun mendatang mereka tak perlu
khawatir bakal menghadapi bahaya seperti tahun lalu.
Menurut catatan, gas beracun itu muncul di tahun 1928, 1939,
1959 dan 1979. Rata-rata 10 tahun sekali. Jadi, begitu keyakinan
mereka, kalaupun baginya akan datang paling cepat 10 tahun
lagi. Dan karena tanah di desa asal mereka memang subur,
terutama buat menaman tembakau, cukup alasan bagi para
transmigran untuk kembali pulang.
Biasa di daerah sejuk, para transmigran juga merasa tidak betah
tinggal di daerah Baturaja yang berhawa panas. Apalagi sejak di
sana banyak di antara mereka yang mengidap penyakit kulit dan
malaria. "Jangankan mencari obat, berbelanja ke Baturaja saja
menghabiskan Rp 800 untuk kendaraan," tutur Mukisan, 25 tahun,
asal Desa Kepucukan.
Pjs Bupati -- Banjarnegara Soewadji tak punya resep buat
menahan mereka. "Dan itu kan hak mereka," tambah Gubernur Jawa
Tengah Soepardjo Roestam, "pemerintah memang tak bisa
memaksakan orang tinggal di tempat yang menurut mereka tidak
cocok buat hidup."
Soepardjo juga mengaku pengiriman mereka ke Baturaja dulu
terburu-buru. Penerimaan mereka di sana ternyata juga kurang
baik. Lebih dari itu ada godaan lain yang menggelitik. Seperti
diungkapkan Gubernur: "Mereka takut kalau tanah mereka di Sinila
digarap orang lain." Tapi menurut Soepardjo mereka akan
ditransmigrasikan kembali. Kini sedang dicari daerah yang cocok.
Di Sumatera Utara juga ada kasus yang hampir sama. Transmigran
lokal di Desa Sitonong Bangun, Tapanuli Tengah, hanya sehari
tinggal di pemukiman baru itu. Selebihnya mereka kembali ke Desa
Sitonong, 43 km dari Sitonong Bangun, untuk kembali menyadap
karet.
Sejak 1« tahun lalu tinggal di pemukiman Sitonong Bangun, 100 KK
itu tak mampu bertani. Sehingga karena mereka bukan petani maka
areal sawah yang disediakan (tapi belum siap), sampai kini masih
terbengkelai. Batang-batang pohon besar masih bergelimpangan di
sawah (TEMPO, 28 Oktober 1979).
Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan malah menyalahkan Pemda
Tapanuli Tengah yang mau menerima proyek pemukiman pemerintah
pusat hanya dengan biaya Rp 69 juta itu. "Mana saya mau
meresmikan proyek brengsek begitu," kata Tambunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini