NASIB bumi di masa depan akan ditentukan dalam dua belas hari mendatang di Rio de Janeiro. Untuk memperingati 20 tahun gerakan lingkungan hidup, mulai 3 sampai 14 Juni depan, di ibu kota Brasil itu akan diselenggarakan Konperensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa, atau lebih dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit). Sebanyak 105 kepala negara dan kepala pemerintahan akan berkumpul untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan agar bumi bisa terus mendukung kehidupan anakcucu kita kelak. Di sana, para peserta pertemuan akan menandatangani deklarasi Rio, agenda abad ke21, prinsip pengelolaan hutan, konvensi perubahan iklim, dan konvensi keanekaragaman hayati. Langkahlangkah pengamanan memang perlu segera diambil. Tempat tinggal manusia ini kini sudah rusak berat. Suhu bumi meningkat 3 derajat Celsius pada akhir dasawarsa ini, yang menyebabkan terjadinya perubahan cuaca dan iklim. Banyak daratan akan terbenam karena es dari kutub yang mencair, dan cadangan air tawar pun akan berkurang. Berlubangnya lapisan ozon di atmosfer juga merupakan ancaman untuk kesehatan. Selain itu, masih ada bencana hujan asam, polusi, menyempitnya hutan, dan menciutnya keanekaragaman hayati. Salah satu penyebab terjadinya bencana yang menguras sumber daya alam itu adalah pola konsumsi negara maju. "Sekarang ini pola hidup mereka adalah 3 C (car, colour television, dan air condition). Pola yang diikuti banyak negara ini amat menekan sumber alam," kata Menteri Negara KLH Emil Salim. Sebab lain adalah kemiskinan di negara berkembang yang juga akhirnya hanya bisa menguras alam. Sebab itu, negara berkembang menghendaki agar pola konsumsi negara maju diubah. Selain itu, hilangkan kemiskinan. Caranya, pembangunan tak boleh berhenti. Tapi, supaya tetap baik, lingkungan harus dimasukkan dalam pembangunan. Untuk itu, proteksi pasar harus dibuang, arus investasi dialihkan ke negara berkembang, adanya alih teknologi, dan peningkatan bantuan untuk membiayai pembangunan yang tak merusak. Namun, usul negara berkembang itu tampaknya hanya anganangan. Sejak persiapan konperensi dua tahun lalu, sikap negara maju terhadap negara berkembang sudah jelas. Presiden George Bush, misalnya, pagipagi sudah menyatakan tidak akan hadir dalam KTT bila masih ada pembicaraan mengenai pengurangan COd22 yang menimbulkan efek peningkatan suhu bumi. Jelas saja, Bush berkepentingan karena kemajuan teknologi Amerika Serikat menyumbang COd22 bumi sampai 22%. Tapi, sebagai pemilik dana dan teknologi canggih, mereka merasa di atas angin untuk mendiktekan suara mereka. Usul dalam Konvensi Perubahan Iklim agar jadwal pengurangan COd22 dilakukan tahun 2000, misalnya, kini tak ada lagi batas waktunya. Uang dan teknologi memang modal besar negara maju untuk menyetir negara berkembang. Satusatunya cara untuk menjaga lingkungan supaya tidak makin rusak tak lain dengan dua modal tersebut. Untuk membiayai seluruh program agenda abad ke21 (pelestarian lingkungan hidup), misalnya, dibutuhkan dana US$ 125 milyar. Semula negara maju menginginkan dana itu diambil dari Global Environment Facility, yang dibentuk Bank Dunia, UNDP (United Nations Development Programs), dan UNEP (United Nations Environment Programs). Tapi, karena fasilitas itu didominasi negara maju, negara berkembang mengusulkan pengumpulan dana tersendiri. Sekarang ini sudah ada dana US$ 55 milyar dari Amerika. Sisanya diharapkan dari negara maju yang kini mempunyai cadangan anggaran militer (akibat meredanya ketegangan TimurwBarat) sebesar US$ 1,3 trilyun. Perdebatan berapa banyak tiap negara harus menyumbang ini tampaknya akan ramai dalam KTT tersebut. Dengan alasan lesunya ekonomi, negara maju kelihatan enggan mengulurkan tangan. Baru Jepang yang menyatakan akan membuat pajak lingkungan untuk disumbangkan. Permasalahan uang ini membuat pertemuan KTT Bumi boleh dikatakan pertempuran antara negara kaya dan negara miskin. "Tak hanya itu. Tapi juga pertempuran kepentingan negara masingmasing," ujar Menteri Emil Salim, yang memimpin delegasi Indonesia. Namun, di antara negara berkembang sendiri sudah terjadi perpecahan suara. Meksiko, misalnya, karena terikat dalam perjanjian perdagangan dengan Amerika, mengikuti suara negeri itu. Malaysia sejak awal mengatakan tidak akan menandatangani konvensi perubahan iklim yang dinilainya tidak adil. Pakar lingkungan Indonesia Otto Sumarwoto bahkan mengatakan konperensi ini hanya panggung sandiwara saja. "Realistis saja, mereka yang punya uang," kata Emil Salim. Tapi ia punya kartu truf untuk melobi para pemimpin pemerintahan. "Kita ini ada di pesawat yang sama yang sedang meluncur ke bawah. Kalau tak ada tindakan, ya matilah kita bersama," ujarnya. Emil tetap optimistis, beberapa negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Prancis mau membuka pintu dalam pemikiran yang kelak akan menggalang persaudaraan dunia. Entah berapa banyak pemimpin negara berkembang yang masih optimistis seperti Emil Salim. Kalau ia hanya berjalan sendiri, barangkali pendapat Otto Sumarwoto benar adanya. Siasia upaya manusia menyelamatkan buminya lewat pertemuan yang berbiaya lebih dari US$ 100 juta ini. KTT Bumi beserta puluhan konperensi lingkungan yang akan dihadiri 50.000 anggota LSM, pengusaha, wali kota, suku asli, artis, dan wartawan itu akan sia-sia. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini