Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - World Resources Institute (WRI) Indonesia melihat ada suatu paradoks atau pertentangan antara pernyataan dan langkah Pemerintah Indonesia dalam Conference of the Parties 29 (COP29) di Azerbaijan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Managing Director WRI Indonesia Arif Wijaya melihat pemerintah mendorong perdagangan karbon kepada dunia, tapi sisi lainnya ada proyek food estate di Merauke, Papua, yang justru membuka lahan hutan. “Itu sebenarnya di mata internasional juga menjadi kurang baik,” kata Arif dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa, 26 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia juga melihat berbagai analisis dari organisasi lain, yang mengungkapkan proyek ketahanan pangan tersebut justru menghilangkan hutan. Proyek itu juga berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sebelumnya dalam pembukaan COP29, Ketua Delegasi Indonesia, Hashim Sujono Djojohadikusumo, menyampaikan sudah ada sedikitnya 557 juta ton kredit karbon terverifikasi di Indonesia yang sudah laik jual. Kemudian dia menyebut Indonesia juga siap dengan penampungan karbon, serta menawarkan ke berbagai pihak untuk berinvestasi.
Proyek food estate sebelumnya berada di Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang dimulai oleh Joko Widodo ketika menjabat presiden. Namun proyek itu gagal dan justru area lahan gambut seluas 283,6 hektare diubah menjadi sawah. Lalu lahan seluas 274 hektare sawah itu telah berubah jadi perkebunan kelapa sawit di Desa Tajepan.
Lalu Presiden Prabowo Subianto ketika masih menjabat Menteri Pertahanan mengatakan food estate adalah keharusan. Dia justru mempertanyakan tokoh-tokoh yang mempersoalkan proyek tersebut. “Kalau ada tokoh-tokoh nasional yang mempertanyakan food estate, menurut saya, hanya dua kemungkinan; dia tidak paham atau dia tak mau paham. Dua-duanya tidak baik," katanya pada 31 Januari 2024.
Merespons persoalan ini, Arif Wijaya mengatakan WRI Indonesia akan mencoba menganalisis bagaimana target food estate bisa tercapai, namun melalui penanaman di lahan yang sudah bukan hutan. “Utamanya kami mengarahkan pada lahan-lahan yang terdegradasi,” tuturnya.
WRI Indonesia masih menganalisis mengenai kemungkinan pemanfaatan bukan hutan untuk food estate. Namun, yang paling penting saat ini adalah bagaimana pemerintah memegang komitmen internasional untuk mengatasi perubahan iklim yang mengutamakan aspek keberlanjutan lingkungan.
MAJALAH TEMPO