Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kejaksaan sudah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi minyak Pertamina.
Riza Chalid ikut dibidik setelah jaksa menetapkan putra pengusaha minyak itu sebagai tersangka.
Pemain baru ditengarai siap menggantikan pemain lama di bisnis minyak.
SATU hal yang pasti dari dugaan korupsi Pertamina yang tengah disidik Kejaksaan Agung adalah masih kuatnya jejaring Mohammad Riza Chalid dalam bisnis pengadaan minyak di perusahaan negara. Berkali-kali tersandung dalam pelbagai kejanggalan kasus impor minyak Pertamina, dia selalu lolos dari jerat hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Riza Chalid kembali menjadi sorotan setelah Kejaksaan menetapkan Muhammad Kerry Adrianto Riza, putra Riza, sebagai salah satu tersangka. Kejaksaan juga sudah menetapkan delapan tersangka lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka dituduh sebagai aktor di balik korupsi bahan bakar Pertamina pada 2018-2023. Untuk tahun 2023 saja nilai kerugiannya konon mencapai Rp 193,7 triliun. Angka yang sungguh fantastis dan membuat banyak orang bertanya: dari mana hitungan kerugian negara itu berasal?
Kerry adalah Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa. Lewat perusahaannya, ia diduga menerima keuntungan secara tidak sah dari proses pengiriman minyak untuk memenuhi kebutuhan Pertamina.
Kejaksaan menengarai terdapat penggelembungan biaya pengiriman sebesar 13-15 persen. Bengkaknya biaya mengerek harga pembelian minyak. Artinya, Pertamina merogoh kocek lebih dalam.
Rancangan Sampul Tempo "Dia Lagi Mereka Lagi"
Dalam kasus kali ini, jaksa diduga turut membidik Riza Chalid. Di industri minyak dan gas bumi, ia dikenal sebagai “pemain lama”. Julukannya “the gasoline godfather”. Pergaulannya luas, baik di dalam maupun luar negeri. Bisnisnya terentang dari hulu hingga hilir.
Tak mengherankan bila Riza disebut-sebut sebagai pemasok utama impor minyak Pertamina. Ibarat kata: siapa pun Direktur Utama Pertamina, pemasok minyaknya tetap Riza.
Nama Riza sudah muncul dalam investigasi Tempo pada Maret 2008. Ketika itu kami menemukan patgulipat pembelian 600 ribu barel minyak Zatapi yang dilakukan oleh Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak usaha Pertamina di Singapura. Perusahaan Riza, Gold Manor, yang beralamat di British Virgin Islands, memenangi tender pengadaan minyak mentah tersebut.
Kami menemukan sederet prosedur tender dilanggar. Selain sertifikat asal-usul (certificate of origin) dan kandungannya (crude oil assay) tidak jelas, pembelian minyak itu kemahalan. Akibatnya, negara rugi Rp 65 miliar hanya untuk sekali transaksi.
Tujuh bulan setelah liputan investigasi Tempo terbit, polisi menetapkan empat tersangka. Tapi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI belakangan menghentikan kasus itu dengan dalih tidak ada kerugian negara.
Pada November 2015, wajah Riza Chalid muncul sebagai ilustrasi sampul majalah Tempo. Ketika itu kami menurunkan laporan tentang modus permainan kotor minyak dan gas di sekitar Petral. Riza lagi-lagi berada di balik pusaran permainan tersebut. Salah satu modusnya: pegawai Petral membocorkan informasi impor, termasuk harga perkiraan sendiri, kepada pihak luar.
Global Energy Resources, yang terafiliasi dengan Riza, satu dari dua perusahaan yang menerima bocoran tersebut. Selama bertransaksi dengan Pertamina Energy Services, anak usaha Petral, Global mengeruk pendapatan Rp 195,21 triliun.
Modus permainan itu terangkum dalam hasil audit forensik KordaMentha, lembaga asal Australia yang menyelisik transaksi Petral pada 2012-2014. Tempo memperoleh salinan hasil audit tersebut. Nama trader beserta perusahaan yang dulu tersangkut kasus Zatapi muncul dalam laporan audit KordaMentha.
Rancangan sampul "Dia Lagi Mereka Lagi"
Toh, dengan segala bukti itu, kasus Petral ini tidak pernah masuk penyelidikan aparat hukum. Kedekatan Riza dengan sejumlah politikus dari pelbagai partai politik, juga pejabat intelijen, auditor negara, dan aparat hukum, membuatnya tak tersentuh. Ia bahkan tak pernah sekali pun dipanggil sebagai saksi.
Tapi rezim kini berganti. Kejaksaan sudah menggeledah rumah Riza. Bukan tak mungkin Riza tersingkir oleh “pemain baru” yang menjadi bagian dari kekuasaan, atau setidaknya membagi lapaknya buat pemain baru tersebut.
Apalagi belakangan terdengar kabar pengusutan skandal di Pertamina hanya untuk menyingkirkan pemain lama melalui kasus hukum. Penelusuran Tempo menguatkan indikasi tersebut.
Dari temuan itu, ilustrator Tempo Kendra Paramita menyodorkan empat sketsa. Yang pertama, Presiden Prabowo Subianto memegang kunci inggris sambil memandang logo Pertamina yang kocar-kacir. Sketsa kedua, Prabowo mengecat ulang warna logo Pertamina yang sudah kusam.
Sketsa ketiga, dua pria berdiri di pinggir stasiun pengisian bahan bakar Pertamina. Satu pria berlagak wasit yang menunjukkan papan nama pergantian pemain. Nama Chalid tertulis di papan itu. Pria satu lagi adalah saudagar minyak yang siap menggantikan Riza. Sketsa keempat, tetesan bensin oplosan yang melumuri peta Indonesia.
Tapi saya dan Pemimpin Redaksi Setri Yasra meminta ada wajah Riza Chalid dalam ilustrasi tersebut. Kendra lalu menyodorkan dua sketsa baru. Ilustrasi pertama melukiskan Riza sedang memegang gagang atau nozel pompa bensin.
Sketsa kedua, Riza dalam posisi angkat tangan ditodong gagang pompa bensin dari belakang. Redaksi sepakat memilih gambar ini. Alasannya, selain segar dan komikal, ilustrasi tersebut pas dengan kondisi Riza yang tengah diincar Kejaksaan.
Seorang trader minyak sekali waktu pernah bercerita, bisnis minyak pada dasarnya dikuasai segelintir orang, yang pemainnya itu-itu saja. Riza Chalid salah satunya.
Kasus ini sejatinya menjadi ujian untuk menilai seberapa serius pemerintahan Prabowo Subianto memberantas korupsi minyak beserta mafianya. Bila tujuannya hanya untuk mendongkel pemain lama melalui kasus hukum, dan pemain baru yang dekat dengan kekuasaan sudah bersiap untuk menggantikannya, jangan harap ada perbaikan tata kelola impor minyak.
Maka, praktik lancung akan terus terjadi dalam bisnis impor minyak dan negeri ini makin jatuh ke dalam lubang tanpa dasar. Mimpi pemerintah menjadikan Pertamina perusahaan kelas dunia, yang ditekadkan sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sebatas jargon belaka. Selamat membaca. ●