Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gencarnya program penghiliran atau yang sering disebut hilirisasi sempat mendorong berbagai proyek smelter nikel di dalam negeri. Hingga akhir Januari 2024, Indonesia sudah memiliki 54 smelter nikel yang beroperasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 49 fasilitas pengolahan nikel itu memakai teknologi pirometalurgi tanur putar elektrik alias rotary kiln electric furnace (RKEF). Sedangkan lima smelter lainnya memakai hidrometalurgi high pressure acid leaching (HPAL).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Produk akhir RKEF adalah nickel pig iron (NPI), besi mentah dengan kandungan nikel di bawah 15 persen yang harus diolah lebih lanjut untuk menjadi komponen elektronik. Belakangan HPAL dianggap lebih unggul dan sesuai kebutuhan lantaran bisa memproduksi mixed hydroxide precipitate (MHP) untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau EV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana perbandingan dampak lingkungan kedua teknologi smelter tersebut?
Manajer Riset Trend Asia, Zakki Amali, mengatakan sistem RKEF akan menghilangkan air dan karbondioksida (CO2) pada bijih nikel (ore). Hasil olahan itu kemudian dimasukkan ke dalam tungku listrik atau electric furnace dengan panas tinggi.
“Dampak RKEF adalah emisi gas rumah kaca dan debu, serta slag (limbah) nikel yang belum terolah semua,” katanya kepada Tempo, Senin, 19 Februari 2024.
Berbeda dengan RKEF, smelter HPAL melarutkan biji nikel dengan suhu dan tekanan tinggi memakai larutan asam sulfat. Selama ini RKEF dinilai lebih cocok untuk pengolahan nikel dengan kadar tinggi, sedangkan HPAL cocok untuk nikel berkadar rendah.
Merujuk data International Energy Agency (IEA), kata Zakki, nickel pig iron (NPI) yang diproses dari RKEF menghasilkan emisi hampir tiga kali lipat lebih banyak dibanding nikel olahan HPAL. Metode RKEF juga menimbulkan polusi udara dan limbah cair yang harus diantisipasi oleh pemerintah. Biaya energinya juga tinggi karena membutuhkan bahan bakar batubara dan kokas atau reduktor.
Meski begitu, tidak berarti HPAL lebih menguntungkan. Metode pelarutan nikel bersuhu tinggi, tutur Zakki, tetap berkontribusi peningkatan gas rumah kaca. Skema ini juga membutuhkan biaya investasi dan operasional yang besar. “HPAL menghasilkan limbah dari asam sulfat,”
Berikutnya: Nikel jenis apa yang diolah RKEF dan HPAL?
Bijih nikel atau ore yang lazim ditemukan di Indonesia adalah laterite. Ore ini banyak dikeruk dari wilayah Indonesia bagian Timur, seperti Sulawesi Tenggara, Kepulauan Halmahera di Maluku Utara, serta Pulau Gag di Papua. Laterite nickel ore itu terbagi lagi ke dalam dua kategori, yakni limonite dengan kandungan nikel 0,8-1,5 persen, serta saprolite dengan kadar nikel 1,8-3 persen.
Limonite yang diproses melalui HPAL lebih menunjang kebutuhan baterai mobil listrik. Selain MHP yang kadar nikelnya menembus 34-55 persen, HAPL juga menghasilkan Mixed Sulphide Precipitate (MSP) dengan kandungan nikel 55 persen. Ada juga produk nickel hydroxide yang dapat memproduksi nickel sulfate dengan kadar 22 persen.
Hingga November 2023, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Potensi cadangan nikel di Indonesia, gabungan saprolite dan limonite, mencapai 17 miliar ton.
Hilirisasi nikel ditargetkan bisa mendongrak ekosistem mobil listrik, terutama untuk pemenuhan baterai. International Energy Agency (IEA), melalui laporan berjudul Global Supply Chains of EV Batteries, menyebutkan permintaan baterai EV dunia menembus 3.500 Gigawatt jam (GWh) pada 2030. Untuk memenuhi asumsi tersebut, diperlukan eksplorasi dari 60 tambang nikel secara global dengan asumsi rata-rata produksi 38 ribu ton per tahun hingga 2030.