Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Krisis Pahlawan

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia Redaktur Senior Tempo

Setiap zaman membutuhkan pahlawan. Tapi, apakah kriteria seorang pahlawan sama dari waktu ke waktu? Seseorang yang pernah berjuang di masa silam, lalu mati tatkala ia begelimang dengan kekayaan yang tidak halal, dan jasadnya dikubur di taman makam pahlawan dengan iringan tembakan salvo, apakah dia sejatinya seorang pahlawan?

Pahlawan di era ini barangkali bukan lagi sekadar tentara yang mati dalam menjalankan tugas, apalagi yang mati ketika menyerang satuan keamanan lainnya yang bukan musuh negara. Pahlawan di zaman ini jelas juga bukan pensiunan tentara yang sempat menjabat direktur utama BUMN lalu menilap uang rakyat di sana dan mati setelah berobat lama di luar negeri. Seorang pejabat yang meskipun ia jujur mengatakan harta kekayaannya diperoleh dari hadiah perkawinan anaknya, tampaknya juga jauh dari kriteria pahlawan zaman ini, karena di situ ada unsur menyalahgunakan jabatan.

Konon ada cerita, di sebuah kota kabupaten para pejabatnya bingung karena tidak ada seorang pahlawan pun di kota itu, dan karenanya tak mungkin ada taman makam pahlawan. Lalu dicari-carilah tentara yang bisa dijadikan pahlawan dan kemudian dibangun makam pahlawan. Maka sejak itu menjadi sahlah perayaan Hari Pahlawan setiap 10 November, karena ada nisan yang bisa ditaburi bunga, dan ada taman yang bisa dikunjungi sebagai rangkaian ritual Hari Pahlawan.

Jadi, dulu itu, kriteria seorang pahlawan utamanya adalah mereka yang sudah mati tetapi punya tanda jasa dalam perjuangan bangsa. Yang kedua dan seterusnya bisa dicari-cari kemudian dan nilai pahlawan pun mulai merosot ketika ia hanya dijadikan "pelengkap upacara".

Pahlawan semestinya menyandang beban berat sebagai seorang panutan, yang bisa memberikan teladan semasa hidupnya, yang berjuang tanpa pamrih, yang tidak semata-mata mengejar tanda jasa. Karena itu, para guru memopulerkan lagu Pahlawan tanpa Tanda Jasa untuk "mengejek" dirinya sekaligus untuk memberitahukan kepada khalayak bagaimana nasib guru yang selamanya telantar ini. Para guru berani menyebut dirinya pahlawan karena mereka merasa telah berjuang di negeri ini. Pejuang-pejuang yang mencerdaskan anak bangsa.

Tentu banyak pejuang seperti itu, baik yang berkelompok maupun yang berjuang sendiri-sendiri. Mereka tak terdengar dalam ingar-bingar pemberitaan di televisi dan radio, dan tak tercatat sebagai berita di majalah dan koran, karena perjuangan mereka ada di daerah-daerah terpencil yang jauh dari jangkauan liputan media massa. Mereka tak dikenal, mereka adalah pahlawan tak bernama.

Padahal zaman ini kita membutuhkan banyak pahlawan dari kategori itu, mereka yang berjuang dalam lingkungannya sendiri, mereka yang menyelamatkan komunitas sekitarnya, entah itu akibat kerusakan alam atau kerusakan moral. Seorang pahlawan masa kini tidak harus tentara, tetapi bisa seorang kiai yang dengan tekunnya mengobati puluhan anak-anak muda yang terkena narkoba. Dia bisa seorang petani yang tak pernah baca koran, tetapi berhasil menyelamatkan ratusan teman-temannya sesama petani, ketika ia memotivasi lingkungannya untuk membuat terowongan air. Banyak sekali pengandaian yang bisa dilakukan. Dan tentu saja bukan lagi sekadar pengandaian kalau kita mau dengan ringan tangan melangkah ke "luar kota" untuk mencatat dan menemui pahlawan-pahlawan tanpa tokoh ini.

Masalahnya adalah kita berkutat dengan urusan di "dalam kota" saja, di gedung-gedung pemerintahan dan gedung jangkung para konglomerat berada. Padahal di situ saat ini krisis pahlawan, kalau kita masih menganggap seorang pahlawan adalah panutan dan punya jasa kepada bangsa. Di gedung-gedung pemerintahan dipertontonkan dengan kasat mata bagaimana uang dengan mudahnya dikorupsi atau digunakan sebagai senjata untuk permainan politik. Di gedung parlemen pun sudah sulit mendapatkan seorang pahlawan dari beratus-ratus wakil rakyat, karena mereka sudah berjarak lebar dengan rakyat yang diwakilinya dan kinerjanya sangat buruk. Di gedung-gedung tinggi, para konglomerat masih tak punya rasa malu sedikit pun untuk berfoya-foya, padahal utangnya miliaran rupiah. Seorang petani di Bojonegoro menjual sapinya untuk melunasi utang pajak bumi dan bangunan, sementara padinya puso oleh kemarau panjang. Orang-orang di desa dikejar pajak, dan konglomerat di kota bersekongkol dengan petugas pajak, padahal sama-sama berutang. Hukum lumpuh dan penegak hukum pun tersangkut perkara hukum dan kini menyiasati celah-celah hukum untuk menghindari hukuman. Yang bisa mereka akali sebenarnya hanya hukum formal, tetapi tidak hukuman moral yang dijatuhkan masyarakat. Masalahnya—karena mereka sejatinya sama sekali tak punya benih-benih sebagai pahlawan—rasa malu sudah tak pula dimiliki.

Tapi kita tetap berharap muncul pahlawan dari sisi-sisi ini. Mungkin satu saja sudahlah cukup, misalnya dari anggota parlemen, dari kejaksaan, dari seorang hakim, dan dari berbagai kalangan. Siapakah yang berani menyandang gelar ini, yang harus tabah jika dikucilkan, yang harus sabar ketika dicemooh, dan harus tetap tegar ketika diteror?

Pasti banyak ada pahlawan yang tidak terdengar dan tercatat di daerah-daerah, namun kita merindukan ada pahlawan yang juga seorang tokoh. Kalaupun ia tidak bisa menyelamatkan negeri yang lagi krisis ini, minimal kita punya harapan bahwa ternyata ada tokoh yang bisa memberikan teladan dan panutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus