Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masih Mungkinkah Pahlawan Lahir?

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Taufik Abdullah Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

MUNGKIN orang telah lupa di suatu masa dahulu revolusi pernah menjadi tema utama wacana sosial-politik kita. Karena tema utama ini berlanjut dalam suatu kurun masa tertentu, maka, mungkin bisa juga dikatakan episode revolusi telah terlupakan. Ketika sekarang publik politik terlibat, langsung ataupun tidak, dalam wacana sosial-politik yang disebut reformasi, sejarah wacana sosial-politik yang pernah dilewati itu telah mengabur dari ingatan kolektif.

Siapa kini yang merasa perlu mengingat betapa dominannya dahulu wacana pembangunan? Beragam gejolak sosial-politik yang menghantui komunitas bangsa setelah kejatuhan Orde Baru telah menyebabkan wacana itu mengalami krisis kredibilitas, betapapun pembangunan adalah kemestian yang tidak terhindarkan. Jika demikian wacana pembangunan, apa lagi yang bisa dikatakan dengan dominasi wacana sebelumnya—sebelum Orde Baru berkuasa? Siapakah lagi yang masih teringat pada pergumulan ide dalam wacana revolusi?

Proklamasi kemerdekaan diumumkan menyebabkan musuh datang mengancam, tapi wacana revolusi serta-merta menjadi sumber motivasi dalam pola perilaku dan inspirasi dari penciptaan karya, bahkan juga tema sentral yang diperdebatkan. Semakin dirasakan membahayakan, semakin mengental perdebatan itu. Apakah makna dan tujuan revolusi? Memang benar kemerdekaan bangsa adalah tujuan utama revolusi, tapi apakah itu tujuan tunggal revolusi? Strategi apakah yang harus dijalankan agar tujuan akhir revolusi bisa tercapai? Perpecahan sosial-politik pun terjadi padahal waktu itu kemerdekaan sedang diperjuangkan. Tapi mestikah perdebatan dan bahkan perpecahan itu disesalkan sebagai kecelakaan sejarah? Setiap perjuangan semestinyalah punya makna, dan pengorbanan seharusnya didampingi oleh kesadaran untuk apa semuanya dijalankan. Maka begitulah, dalam suasana revolusi yang telah punya makna dan tujuan itu, betapa mudah rasanya memberikan penilaian terhadap sistem perilaku. Mana yang bisa disebut sebagai tindakan kepahlawanan dan mana pula sikap yang tidak peduli, bahkan khianat atau pengecut.

Revolusi kemerdekaan sebagai pengalaman sejarah empiris berakhir ketika kedaulatan negara telah mendapatkan pengakuan internasional. Tapi dominasi "revolusi" dalam wacana sosial-politik masih berlanjut. Apakah tujuan revolusi telah tercapai dengan kemerdekaan politik? Hal apa lagi yang segera harus dikerjakan? Demokrasi adalah sebuah kemestian, rehabilitasi ekonomi tidak bisa dihindarkan, dan masalah bekas pejuang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, tapi apakah semuanya harus diselesaikan dalam suasana revolusi atau konsolidasi? Sementara itu, keutuhan negara belum sepenuhnya terwujud. Irian Barat masih di tangan kekuasaan kolonial dan beberapa kelompok sosial masih berbuat seakan-akan pemerintah yang sah belum berdiri. Perang Dingin yang semakin memanas menyebabkan perasaan terancam oleh kekuatan neokolonial tak pula terhindarkan. Tapi apakah logika dan rasionalitas revolusi, yang cenderung mengingkari rasionalitas yang normal, harus selamanya menguasai kehidupan bangsa? Ataukah harus segera "dibendung", sebagaimana kata Bung Hatta?

Revolusi tak bisa dibiarkan berlama-lama, kata Hatta, karena revolusi pada dasarnya bersifat—mengutip ucapan Nietzsche yang terkenal—Umwertung aller Werte, penjungkirbalikan segala nilai. Langkah yang harus diayunkan ialah menuju konsolidasi secara "revolusioner". Bung Karno tidak pernah bisa membebaskan dirinya dari bayangan pemikiran Bung Hatta yang ingin "membendung revolusi", meskipun Bung Hatta telah berada di pinggiran. Maka wacana politik pun sepenuhnya berada di bawah hegemoni Pemimpin Besar Revolusi. Ketika para jenderal TNI-AD yang tewas di tangan pasukan Cakrabirawa pada tengah malam 30 September 1965 dimakamkan, mereka pun serta-merta disebut sebagai "Pahlawan Revolusi". Kematian mereka dianggap sebagai pengorbanan yang autentik bagi cita-cita revolusi. Tapi sejak saat itu pula kredibilitas dari wacana revolusi mengalami pasang-surut yang drastis. Dan bersamanya sejarah yang romantik, yang selalu menghasilkan pahlawan, mengalami krisis pula.

"Baik, terus terang saja, aku termasuk orang yang gandrung revolusi," kata Bung Karno entah berapa kali, "Secara spiritual aku terikat oleh kerinduan akan romantiknya…. Aku terlarut di dalamnya." Maka ingatan historis tentang revolusi Indonesia telah tercampur aduk dengan gambaran romantik dari Revolusi Prancis. Aneh, mungkin, tapi bukankah Pemimpin Besar Revolusi lebih suka meromantisisasi suasana revolusi di negara antah berantah, yang sesungguhnya Prancis? Berapa kalikah ia berseru seperti Danton tentang revolusi yang harus dilalui dengan "de l'audace, encore de l'audace, et toujours de l'audace" (berani, sekali lagi berani, dan selamanya berani)? Bung Karno tidak tertarik pada sejarah sebagai rekonstruksi dari peristiwa di masa lalu, meskipun ia tidak hendak "meninggalkan sejarah". Ia terpukau pada "sejarah" sebagai pancaran nilai luhur dan universal. Jadi, meskipun sejarah revolusi nasional Indonesia bisa memberikan gambaran beraneka warna, bagi Bung Karno, revolusi adalah suatu keutuhan yang romantik. Rekonstruksi dari sejarah revolusi Indonesia bisa memberikan keragaman. Ada yang berjuang dan berkorban, tapi ada juga yang berpangku tangan, bahkan ada yang berontak melawan negara yang masih muda ini, dan entah apa lagi. Tapi, di dalam "api sejarah" yang ditangkap Bung Karno, revolusi adalah perwujudan patriotisme, heroisme, pengorbanan, serta kerelaan untuk menjadi "cuma tulang-tulang berserakan" yang hanya bicara "dalam hening di malam sepi." "Apinya sejarah" tidak berkisah tentang peristiwa ini dan itu, tapi memberikan pesan mulia yang abadi.

Dengan landasan pemikiran yang begini, Bung Karno boleh dikatakan sebagai peletak dasar terpenting dari tradisi kepahlawanan dalam sistem politik dan pemikiran sejarah di tanah air kita. Bukankah ia yang selalu mengatakan "hanyalah bangsa yang menghargai pahlawannya yang bisa menjadi bangsa yang besar?" Tapi apakah landasan "kepahlawanan" itu?

Pahlawan tidak hidup dalam realitas empiris—tidak di dalam sejarah dan bukan pula dalam sosiologi. Sejarah empiris hanya mengenal aktor yang berbuat dalam konteks waktu dan tempat tertentu dan sosiologi hanya sibuk dengan struktur dan corak dinamika komunitas dan masyarakat. Keduanya melihat realitas dalam perspektif yang prosais, sedangkan pahlawan adalah ciptaan dari realitas yang puitis. Ketika perbuatan dan perilaku seseorang dirasakan sebagai pantulan yang autentik dari nilai ideal yang dominan, kelahiran seorang pahlawan telah bermula. Ia yang telah memberikan kepuasan kultural itu pun menjadi pahlawan dan pada waktunya mungkin menjadi bagian dari mitos peneguh komunitasnya. Dilahirkan dalam suasana puitis yang romantik, pahlawan adalah personifikasi dari nilai masyarakat yang dominan. Karena itulah ia bisa punya fungsi dalam realitas empiris yang prosais. Ia bisa menjadi bagian dari kesadaran aktor sejarah dan struktur masyarakat.

Wacana revolusi ditinggalkan setelah tragedi traumatis menempa bangsa. Kita pun berangan-angan dan mencoba menjadi bagian dalam proses pembangunan. Demokrasi tidak lagi "terpimpin", tapi "pancasila". Landasan ideologis tidak lagi "kepribadian bangsa", tapi "jati diri bangsa". Landasan nilai kepahlawanan pun berganti. Di saat kekuasaan sentralistis telah semakin tegar dan wacana pembangunan mempengaruhi sistem dan perilaku politik, kepahlawanan berubah jadi sesuatu yang fungsional. Ada pahlawan yang menjadi "utusan" daerah yang harus ditempatkan sejajar dengan "utusan" daerah lain dalam sebuah album nasional. Setelah diseleksi oleh "panitia pusat", pengakuan kepahlawanan pun diberikan oleh presiden. Pahlawan bukan lagi model tapi alat simbolis integrasi bangsa. Sang "utusan" telah menjadi penghuni pantheon nasional. Pada tingkat yang lebih rendah, "kepahlawanan" hanyalah penghargaan terhadap prestasi. Pertukaran penghargaan di antara sesama lembaga pemerintahan dan penghargaan yang diberikan oleh pemegang kekuasaan kepada warga jamak terlihat. Romantisisme kepahlawanan menjadi upacara ritual belaka.

Seandainya sistem nilai didukung oleh kekuasaan, apakah kepahlawanan hanya terletak pada penilaian akan kesesuaian sistem nilai dengan pola perilaku? Mungkin saja. Tapi, yang jelas, ketika negara tidak lagi menjadi pemegang hegemoni wacana dan penentu kesahihan ideologi, ukuran kepahlawanan pun mencair dan terpulang kepada komunitas-komunitas yang barangkali telah sama-sama membuat jarak. Kini, setelah lengser keprabon terjadi dan konon "era reformasi" dimulai, apakah yang kita temukan selain kegalauan dalam pemikiran, penisbahan nilai-nilai, dan konflik sosial multidimensional? Jangankan kemantapan nilai, malah kekecewaan semakin meluas dan kemelaratan seakan-akan telah menutup masa depan yang lebih baik. Dalam situasi seperti ini, kabur batas anarkisme dengan perilaku vigilante, yang berbuat kejahatan "demi kebaikan". Betapa pula payahnya membedakan penegak hukum dengan pelanggarnya. Dalam suasana kenisbian nilai yang kini sedang kita alami, kelahiran pahlawan adalah suatu keanehan. Maka janganlah ditangisi kalau pahlawan yang masih bisa kita punyai hanyalah mereka yang telah berada dalam ingatan kolektif bangsa.

Barangkali pahlawan hanya bisa lahir dalam sebuah dunia nilai tertentu. "Kepahlawanan" seseorang kerap mengalami pasang-surut ketika nilai dasar masyarakat telah mengalami perubahan fundamental? Tapi kepahlawanan murni punya unsur keabadian universal yang tidak ternafikan, sebagaimana juga akan adanya landasan nilai universal umat manusia yang tak terbantahkan. Bung Karno tidak mengada-ada ketika menggandengkan revolusi yang menetap dengan penghargaan pada pahlawan. Pengorbanan tanpa pamrih mendapatkan bentuknya yang paling utuh dalam suasana tanpa kepastian dalam revolusi. Orang bisa berbicara tentang pahlawan sebagai "pembuat masa baru " atau penjawab yang kreatif terhadap tantangan zaman dan orang lain bisa pula membuat kategori kepahlawanan. Tapi akhirnya kesediaan berbuat, berjuang, dan berkorban bagi kemanusiaan dan nilai-nilai luhur yang universal adalah ukuran yang fundamental bagi kepahlawanan, apa pun mungkin peranan sejarah yang dimainkan.

Meskipun kini dalam kegalauan nilai dan di saat perilaku seakan-akan tidak lagi dilihat pada intrinsic value-nya tapi dari kemungkinan ulterior motive (niat terselubung) yang berada di belakangnya, kita tak perlu berputus asa karena kelangkaan kelahiran pahlawan. Pada Hari Pahlawan 10 November ini kita masih bisa mengenang bahwa di sana, di balik sana, ada yang "mati muda" yang berbicara "dalam hening malam" sambil bertanya untuk apa semua ini. "Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan ataukah tidak untuk apa-apa" (Chairil Anwar).

Semoga, dalam kegalauan nilai dan kemelut sosial-politik yang melanda bangsa, nilai kemanusiaan universal kita masih bisa melahirkan perilaku kepahlawanan untuk mengatasi semuanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus