Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari boneka kain itu sepotong cerita mengalir. Pendengarnya anak-anak SD Negeri 27 Pontianak. Pendongengnya Husnul Khatimah, mahasiswa Universitas Indonesia yang juga duta lingkungan Kalimantan Barat. Tokoh cerita: Kundil, Si Boneka Kain.
Dalam dongeng itu Kundil berucap, sebagian murid dan orang tua mereka masih membuang sampah ke sungai. ”Kenapa memang kalau membuang sampah ke sungai, Kundil?” tanya seorang bocah. Pertanyaan ini sudah dinanti Husnul. Ia pun segera menyisipkan pesan-pesan penyelamatan lingkungan ke dalam dongeng. Kundil menjawab, jika terus membuang sampah ke sungai, sampah akan menggunung dan menyumbat sungai. Penyakit datang, banjir pun tak terhindarkan.
Dongeng sederhana ini telah mengantarkan mahasiswa jurusan kriminologi itu ke sebuah forum internasional Bayer Young Environmental Envoy pada akhir November lalu. Sebanyak 49 duta muda lingkungan dari 17 negara bertemu di markas Bayer di Leverkusen, Jerman. Indonesia mengirimkan empat duta: Husnul, Ratu Tisha Destria, Yerry Aditama, dan Muhammad Syafrudin.
Husnul tak hanya sekali mendongeng. Ia menuturkan kisah Kundil dan Petualangan ke Negeri Kayu, Kundil vs Dewa Asap, atau Kundil Mewarnai Negeri Mimpi ke anak-anak TK Trimanda Pontianak, ke pendengar radio Pro I RRI Pontianak, dan kini siap berkeliling ke beberapa daerah. ”Ia menyentuh generasi yang paling penting: anak-anak. Sebuah proyek yang inspiratif,” ujar Ulrich Bornewasser dari Communications Bayer Industry Services.
Proyek atau penelitian sederhana tapi memiliki dampak jangka panjang terhadap perbaikan kualitas lingkungan itulah yang menjadi fokus kompetisi yang telah berlangsung sepuluh tahun ini. Seok-Kyung Jang, mahasiswi Universitas Nasional Choongnam, Korea Selatan, misalnya, membujuk mahasiswa agar mau menggunakan bus universitas sebagai alat transportasi mereka. Mula-mula mahasiswa tetap menggunakan mobil. Jumlahnya malah kian banyak. ”Ini berarti universitas akan banyak memotong pohon untuk menyediakan lahan parkir mobil mahasiswa,” ucap Jang dengan bahasa Inggris terbata-bata.
Jang dan kawan-kawan pun membentuk asosiasi pengguna bus sekolah. Dari hanya dua bus pada dua tahun lalu, mereka secara perlahan mengusahakan penambahan jumlah bus. Sebelum datang ke Jerman, Jang dan kawan-kawan telah berhasil menambah bus milik Universitas Choongnam menjadi 18. Sekarang, kata President of Schoolbus Monitoring Association itu, hanya sedikit mahasiswa yang menggunakan mobil pribadi.
Proyek mahasiswi 21 tahun ini dinilai memberikan contoh nyata betapa mahasiswa bisa memprakarsai sebuah gerakan kecil untuk menyelamatkan lingkungan. Gerakan memilih bus sekolah itu, umpamanya, telah membantu mengurangi emisi gas buang alat transportasi mahasiswa Choongnam, mengurangi polusi udara, dan mencegah penebangan pohon di kampus. ”Saya percaya pada efek kupu-kupu, satu ikhtiar kecil di sini akan berdampak besar di belahan dunia di seberang sana,” ucapnya.
Duta dari Brasil punya ikhtiar yang tak kalah kreatif. Camila Kammerer, mahasiswi Universitas Sao Paolo, mengamati minyak goreng bekas dari restoran cepat saji yang dibuang begitu saja. Ia menjadi limbah yang meracuni (air) tanah. Kammerer pun terketuk. Ia segera membikin poster dan selebaran yang mengajak mahasiswa di kampusnya mengumpulkan minyak bekas dari mana pun: restoran, supermarket, sekolah, dan rumah.
Sembari mengumpulkan minyak goreng bekas, ia mengajukan proposal kerja sama ke Universitas Sao Paolo yang memiliki laboratorium biodiesel. Universitas diminta mengembangkan eksperimen mengubah minyak bekas menjadi bahan bakar minyak. Kerja sama itu kini telah membuahkan hasil. ”Sebagian kendaraan kampus dan mahasiswa kini menggunakan bahan bakar yang kami kumpulkan dari restoran,” ucap Kammerer tertawa.
Mirip dengan apa yang dilakukan Kammerer, di Thailand, Supatchaya Techachoochert mengumpulkan semua limbah plastik di sekolahnya, Sri Audhaya. Siswi 17 tahun itu bersama teman-temannya meminjam gudang sekolah pada dua tahun lalu dan menjadikannya ”bank”. Mereka memasang papan nama Junk Bank di gudang itu. Sejak itu pelbagai limbah plastik, gelas, dan kertas ”ditabung” ke bank sampah tersebut. Supatchaya kemudian menjual limbah plastik tersebut ke pengumpul yang lebih besar. Hasilnya, mereka bisa memperoleh 400 baht (sekitar Rp 120 ribu) per pekan. ”Lumayan. Uang itu bisa dipakai untuk membeli alat kebersihan sekolah,” ujarnya.
Nurhidayati Abdul Aziz dari Malaysia membuat proyek lain. Mahasiswi Universitas Islam Internasional Malaysia ini mendesain sebuah kafe yang ia beri nama Environment Cafe. Dalam rancangannya, kafe di kampusnya itu tak boleh menyuguhkan makanan atau minuman dalam kemasan plastik atau stirofom. Semua yang berbahan plastik harus menyingkir. Mereka juga lebih memilih menggunakan bahan hasil daur ulang.
Wu Ruoxi dari Universitas Tongji, Cina, membuat penelitian tentang gaya hidup mahasiswa di dalam kampus. Ia mengamati perilaku mahasiswa Tongji yang ternyata doyan mandi di kamar mandi kampus. Mereka menghabiskan air mandi yang disebut Ruoxi ”keterlaluan”. Satu bak mandi habis oleh hanya dua mahasiswa! Ruoxi pun merancang sistem pengolahan buangan air mandi sehingga bisa bersih dan dimanfaatkan kembali. ”Yang terbaik memang menyadarkan mahasiswa agar tak buang-buang air,” katanya.
Muhammad Syafrudin dan Yerry Aditama memilih menggelar penelitian di luar kampus. Yerry mengamati pemeliharaan ekosistem batu karang bawah laut di Pulau Serangan di Selatan Bali, yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk wisata alternatif Bali. Sedangkan Syafrudin mendatangi para pemukim rumah kumuh di bantaran Kali Cikapundung, Bandung. Alumni Mahasiswa Institut Teknologi Bandung itu membuat sistem pengolahan air bersih untuk skala rumah tangga dari Sungai Cikapundung yang kotor.
Ratu Tisha Destria, mahasiswa Jurusan Matematika ITB, mengevaluasi sistem pengelolaan sampah di kampusnya. Setiap hari selama hampir dua bulan ia nongkrong di tempat pembuangan sampah, mengukur volume sampah, melihat efektivitas pekerjaan empat tenaga pengangkut sampah, dan menyaksikan sistem kerja pembakar sampah ITB. Dengan pendekatan matematika yang ia pelajari, Tisha pun berhasil menghitung tenaga optimal pengangkut, serta menemukan titik lemah pembuangan dan pembakaran sampah di kampusnya. Ia juga memberikan semangat kepada para pengangkut sampah bahwa pekerjaan mereka sama terhormatnya dengan orang yang bekerja di ruang berpendingin udara.
Sebanyak 49 duta lingkungan dari kalangan mahasiswa dan pelajar itu telah melalui saringan berlapis di negara masing-masing. Empat duta dari Indonesia, misalnya, dipilih dari sekitar 100 pendaftar. Mereka mengikuti eco-camp yang digelar Bayer Indonesia. Di Jerman, peserta terpilih tinggal bertukar pengalaman dan cerita.
Jika melihat anak-anak muda itu, kata Roland Keiper, Head of International Communications Corporate Policy Bayer, ”Saya optimistis masalah perubahan iklim bisa kita tangani di masa depan.”
Yos Rizal Suriaji (Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo