Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh lima penis kayu terpajang di dinding Gaya FusionArt Gallery, Ubud, Bali. Penis kayu adalah benda umum yang dijual di sejumlah art shop di Bali. Penis yang merupakan lambang kesuburan, atau simbol lingga dan simbol kejantanan. Namun, di tangan Made Wianta, tafsir lingga itu menjadi lain.
Penis berposisi tegang lurus ke depan itu ujungnya ditusuk oleh peniti. Terasa begitu kejam. Ada perasaan perih bila melihatnya. Siapa pun pengunjung pria akan bergidik membayangkan seandainya hal itu terjadi pada dirinya.
Made Wianta, 56 tahun, berbicara tentang seks dan kekuasaan. Bagaimana budaya maskulinitas kini dianggapnya merajalela. Penis—pada banyak kalangan—dipandangnya tak lagi menjadi lambang spiritualitas tapi menjadi daya perusak. ”Itu upaya agar air mani tak tumpah sembarangan,” katanya tertawa.
Pameran bertajuk Sharp Object di Gaya Fusion of Sense, Ubud, 22 Desember hingga 22 Januari 2008 itu menarik. Semua karya Wianta menggunakan material benda tajam seperti silet, jarum, kapak, celurit, keris, gergaji, paku, kawat berduri, dan pecahan kaca. Benda tajam itu ditancapkan, ditusukkan, ditikamkan, disobekkan, diguratkan, dibacokkan ke obyek yang sehari-hari biasa kita kenal. Dan obyek biasa itu tiba-tiba mendapat makna yang berbeda dari sebelumnya. Makna yang membahayakan.
Lihatlah kasur dan guling putih yang ditancapi pecahan beling. Kasur dan guling itu putih bersih, terasa empuk seperti ada di kamar hotel. Tapi siapa yang sudi dan berani tidur di atasnya. Begitu badan rebah, pasti punggung akan robek. Apalagi kasur itu dikelilingi gorden kawat berduri.
Ide pameran ini, kata Wianta, diperam semenjak dua tahun lalu. Ini berawal dari kegelisahannya menonton televisi yang menayangkan banyak bentrokan antarkelompok. Mereka semuanya menenteng senjata tajam untuk meneror lawannya. Wianta lalu membayangkan membuat instalasi dengan bahan-bahan tajam yang bisa dengan mudah didapat di mana-mana. Pecahan beling, silet, misalnya, mudah ditemukan dari kampungnya di Apuan, Bali, sampai New York.
Instalasi ini menjadi sangat berbeda dan kontras dengan karya lukisan kanvas Wianta. Belum lama ini ia mengadakan pameran kaligrafi di Dubai. Ia akhir-akhir ini dikenal menekuni kaligrafi bebas. Di kanvasnya, huruf ciptaannya sendiri bergerak bebas, menari. Sebelumnya ia terkenal dengan gaya pointilisme—yang menampilkan komposisi permainan titik-titik, komposisi permainan segi tiga, segi empat.
Dalam gaya itu lukisan Wianta dikenal rumit, butuh ketelitian tinggi. Apalagi karya pada periode Karang Asem, ketika dengan tinta ia membuat gambar di atas kertas yang bercitra mitologis seperti gambar rajah Bali. Itu sangat membutuhkan keterampilan tangan untuk menggores hal yang detail dan halus. Karyanya pada periode Karang Asem menampilkan citra arkaik, surealis, sekaligus modern.
Sedangkan karya instalasinya cenderung provokatif. Ia sengaja mengambil obyek yang tak lazim dengan cara presentasi yang tak terduga. Menurut Wianta, ia butuh menciptakan instalasi karena bila bertahan dalam lukisan ia tak bisa menuangkan pikirannya. ”Susah merealisasikan gagasan bila dengan gaya abstrak,” katanya. Sementara pada lukisan yang diburu adalah estetika komposisi, pada karya instalasi yang diburu adalah daya kejut. Pemaknaan yang radikal tentang berbagai masalah sosial.
Maka, dalam salah satu performance-nya ia pernah menggunakan helikopter; ia juga pernah melukis dengan memanfaatkan darah sapi segar yang langsung diambil dari rumah jagal. Ia pernah melepas 250 kunang-kunang hidup di dalam sebuah ruangan gelap yang memaksa penonton bila melihat karyanya harus menggunakan senter. Ia juga, untuk merefleksikan pencemaran lingkungan, pernah merekam perjalanan sepotong BH dari hulu sungai Badung hingga ke muara pantai.
”Karya instalasi saya itu bukan karya sensasi,” katanya. Ia mengaku selalu berusaha membuat hal yang berbeda dari yang sudah pernah dilakukannya. Semua kemungkinan ia jelajahi selama ia masih bisa mencapainya. Ia, misalnya, tak mau lagi membuat gambar mitologis seperti periode Karang Asem. Padahal banyak kolektor yang terkesan pada gambarnya dari periode itu dan mau menghargainya dengan angka tinggi. ”Periode itu sudah selesai, saya tak mau lagi membuatnya.”
Pengamat seni Jean Couteau menilai kemampuan untuk terus memperbarui diri justru menjadi keunggulan Made Wianta. Bagi seorang seniman, hal itu merupakan tantangan yang berat karena membutuhkan sikap kesediaan untuk belajar kembali. Pada Wianta problem elementer itu sudah selesai. Wianta bergegas meninggalkan teknik lama bila mulai merasakan kebosanan. Akibatnya, pada diri Wianta aspek dramatik selalu muncul dan berhasil mengejutkan. Itulah yang membuat karya perupa senior ini bertahan meski bersaing dengan perupa baru yang tangguh. Ide-idenya tak kalah bernas. Ia selalu aktual.
”Saya sesungguhnya dulu orang teater. Itu membuat saya mudah membuat karya dengan aspek ruang yang dramatik,” kata Wianta. Dan aspek dramatik itu yang kini juga ingin ditampilkan dalam pameran benda tajam ini. Sebuah poster besar bergambar wajah gemuknya, misalnya, dihadirkan dipenuhi tusukan paku besar. Dalam pembukaan ia menampilkan dua penari asal Slovakia Kaya dan Sabi yang melakukan gerak seolah aksi bunuh diri. Dan dengan sebuah gunting tajam ia mengoyak-ngoyak, memotong kain putih yang dikenakan seorang model asal Italia bernama Michela. ”Ada atmosfer ketegangan yang muncul di sini. Itu yang saya buru,” ujarnya.
Yang tak terduga, karya bertema kekerasan itu laku. Ada 75 persen instalasi Wianta dalam pameran ini yang telah dibeli, baik oleh kolektor asing maupun kolektor Indonesia. Mereka ingin segera membawa tanpa lebih dahulu mencabuti silet, jarum, atau paku yang tertancap. ”Aku sendiri nggak percaya, aku betul-betul kaget,” katanya jujur.
Padahal, menurut Wianta, ia memasang tarif tinggi untuk instalasinya itu. ”Semua karya harganya lebih dari Rp 200 juta. Itu lebih mahal dari harga lukisanku,” tambahnya. Yang membuatnya pusing kini justru persoalan pengiriman. Karyanya berupa kanvas yang ditusuk keris dari belakang misalnya, telah dibeli oleh seorang kolektor asal Italia. Sang kolektor minta agar segera mengirim karya itu tanpa harus mencabut kerisnya ke Italia. ”Tapi pihak pengiriman tidak mau memaketkannya, karena ada senjata tajamnya, gimana ya…,” kata Wianta.
Rofiqi Hasan, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo