DESA sunyi itu seperti lenyap ditelan bumi. Di atasnya muncul sebuah kota modern yang hiruk-pikuk. Pekerja asing ramai berlalu-lalang. Di sana-sini menderu alat-alat berat seukuran gajah. Area seluas 75 hektare itu kini dipenuhi 350 rumah dan sebuah mes berkapasitas 2.400 orang, lengkap dengan pusat perbelanjaan, fasilitas rekreasi dan olahraga, sekolah internasional, rumah sakit, serta masjid semiliar rupiah. Bahkan ada pelabuhan ukuran sedang?Pelabuhan Benete?yang memiliki tiga dermaga untuk bongkar muat kargo, konsentrat, dan batu bara.
Kota yang baru tumbuh itu diberi nama Buin Batu dan memang dirancang khusus untuk permukiman karyawan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Perusahaan pertambangan emas raksasa yang beroperasi di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu tengah bersiap untuk mulai mengeruk Tambang Batuhijau, akhir tahun ini. Proses konstruksi, yang melibatkan 14 ribu pekerja, sudah berlangsung sejak tiga tahun silam. Setelah beroperasi, menurut Direktur Eksekutif Newmont, Richard Ness, pertambangan seluas 58 ribu hektare itu akan menyerap sekitar 4.000 orang tenaga kerja.
Tapi segala "wah" itu tak lantas membuat warga jadi "syur". Hingga kini, yang mereka rasakan cuma dampak buruknya. Tak aneh, sejak Oktober lalu, Forum Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Forda Walhi) NTB gencar melontarkan protes. Menurut ketua tim advokasinya, Yani Sagaroa, proyek itu merupakan sumber masalah. Peledakan bukit dan lalu-lalang kendaraan proyek memunculkan hujan debu yang mengakibatkan penyakit pernapasan dan mata bagi masyarakat di sana. Pengeboran dan penyulingan NNT juga mengakibatkan Sungai Benete kering-kerontang. Air Sungai Sekongkang dan Tongo pun menyusut gara-gara pengerukan dasar sungai di daerah hulu serta penggalian pasir dan bebatuan.
Sebenarnya, persoalan lingkungan itu tak terpisahkan dari "saudara tua" NNT, PT Newmont Minahasa Raya (NMR), yang menguasai lokasi pertambangan seluas 26.240 hektare di Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Sejak beroperasi 1996 silam, NMR tak pernah sepi dari gugatan. Yang paling disorot adalah kasus Teluk Buyat.
Dari teluk yang terletak di Kabupaten Bolaang Mongondow itu, pada suatu hari menyembur bau tajam yang menyengat. Seiring dengan itu, air laut yang semula biru tiba-tiba berubah menjadi kecokelatan. Nelayan ketakutan. Pertengahan tahun lalu itu, pipa buangan limbah NMR pecah di darat, di kedalaman 10 meter. Warga juga berkali-kali menemukan ikan yang mati terapung. Bahkan, pada 1997, jumlahnya mencapai ribuan ekor. Ikan-ikan itu mengambang dalam radius cuma 200 meter dari mulut pipa buangan limbah tailing, yakni serpihan batu yang tersisa dari proses penyaringan emas. Indikasi lain menambah waswas. Seorang nelayan, Mansur Lombonaung, mencurigai pihak NMR, yang tidak pernah mau membeli ikan hasil tangkapan nelayan di Teluk Buyat.
Limbah itu memang mematikan. Zat beracun seperti sianida, arsen, dan merkuri terkandung di dalamnya. Sianida dapat membunuh ikan. Kandungan 0,5 ppm (parts per million) saja sudah cukup bikin ikan lemas dan bahkan jadi mandul. Arsen lebih mengerikan. Logam berat beracun ini mampu mencabut nyawa manusia. Sedangkan merkuri berpotensi menyerang otak, ginjal, hati, dan sistem saraf. Kasus Minamata, yang bikin geger Jepang, menunjukkan betapa berbahayanya zat ini karena bisa menyebar hanya melalui ikan (yang disantap) atau udara yang terkontaminasi.
Masalahnya, sampai sekarang, tidak ada satu pun hasil uji laboratorium yang bisa dijadikan petunjuk. Setiap kali ada ikan mati, pihak NMR memang selalu mengambil sampelnya dan berjanji akan menelitinya di Australia. Tapi hasil pengujian itu tak tentu rimbanya. Aktivis lingkungan juga berupaya mengujinya di laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat). Itu pun ditolak. Alasannya, sampel harus diambil langsung oleh pihak Unsrat sendiri. Anehnya, ketika diminta turun ke lapangan, mereka justru mengelak.
Tudingan itu selalu ditampik NMR. Seperti diungkapkan Richard Ness, kajian Unsrat menyimpulkan bahwa pembuangan tailing tidak memiliki efek negatif. Kepala Subdirektorat Pemantauan Pengembangan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) Damo Polii, kepada Hendriko dari TEMPO, juga menjamin bahwa kebocoran pipa sudah diperbaiki oleh tim dari Filipina. "Tak ada masalah lagi," katanya. Pihak NMR malah menuding bom dan racun potas yang disebar nelayan sebagai penyebabnya. Tapi Direktur Eksekutif Walhi, Emmy Hafild, menepis argumen itu. Menurut dia, efek pengeboman tidak akan seluas itu. "Ikan tidak akan hilang secara drastis. Paling-paling berkurang jumlahnya," Emmy memastikan.
Berbagai pengaduan?dari DPRD, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) daerah, sampai gubernur?telah berkali-kali diajukan. Jawabannya selalu klise: ditampung. Bosan karena tak pernah digubris, akhir Maret lalu, warga dari perkampungan Buyat dan Batuhijau berlayar ke Jakarta. Didampingi Walhi, sedianya mereka akan berdialog dengan pimpinan Newmont. Tapi mereka malah dihadap-hadapkan dengan "warga tandingan" pro Newmont. Dialog pun macet. Warga korban memilih hengkang dari ruang pertemuan. "Itu kan mengadu domba," kata Emmy jengkel. Pihak Newmont kemudian minta maaf dan akan menjadwalkan kembali forum dialog. Mereka juga menyampaikan pengaduannya kepada Menteri Pertambangan dan Energi, Kuntoro Mangkusubroto.
Pangkal masalah sebenarnya ada pada sistem pembuangan limbah. Newmont menerapkan pembuangan limbah bawah laut (submarine tailing placement--STP). Menurut Ness, pilihan ini sesuai dengan rujukan amdal dan juga didasarkan pada standar perlindungan lingkungan di Amerika Serikat. Teknologi ini diklaim oleh Newmont sebagai solusi terbaik dan tidak akan mengancam kelestarian sumber daya laut. Sedangkan sistem waduk dinilai rentan karena bisa retak akibat gempa atau meluap jika curah hujan amat tinggi. Selain itu, metode yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia ini telah terbukti sukses diterapkan pada 23 pertambangan di 11 negara di dunia.
Metode itu akan menetralisasi (detoksifikasi) zat beracun pada gerusan tailing. Caranya, pH (derajat keasaman) limbah disamakan dengan pH lingkungan tempat pembuangan. Netralisasi dilakukan melalui tiga tangki dengan pengecekan laboratorium berlapis-lapis. Setelah itu, dilakukan penyaluran dengan pipa baja ke laut, di kedalaman tertentu yang dianggap aman. Di Minahasa, pipa itu menjulur sampai 82 meter di bawah permukaan laut.
Hanya, standar lingkungan ini masih dipertanyakan kesahihannya. Proses penyusunan amdalnya dinilai jauh dari akurat karena tidak melibatkan masyarakat. "Dalam dokumen amdal, permukiman nelayan di Pantai Buyat malah digambarkan tak ubahnya gubuk tak berpenghuni," kata Rizwan Lapagu dari Walhi Sul-Ut. Emmy Hafild sendiri berpendapat, metode STP itu hanya sekadar memindahkan persoalan dari daratan ke lautan. Meski demikian, secara fair ia menyimpulkan bahwa dampak lingkungan Newmont jauh lebih kecil dari Freeport. Ia juga menilai upaya Newmont jauh lebih serius. "Tapi bukan berarti dampak itu tidak ada," katanya menegaskan.
Pemilihan metode pembuangan limbah memang dilematis. Model pembuangan ke darat bukan berarti lebih manjur. "Terus terang, kami belum bisa memberikan alternatif terbaik," katanya mengakui. Sebagai langkah sementara, ia mendesak Newmont agar memilih tempat yang lebih dalam, 200 meter di bawah permukaan laut, dengan jarak lebih jauh, sekitar 11 kilometer. Solusi terbaik, menurut Emmy lagi, adalah mengembalikan tailing ke lubang galian semula. Tapi metode ini makan waktu bertahun-tahun dan biayanya luar biasa mahal sehingga tak akan dilakukan oleh pertambangan mana pun. "Memang, itu tidak mungkin," kata Emmy, "karena sama saja dengan menambang kembali." Agar pencemaran separah Freeport tidak terulang, Newmont seyogianya membuang limbah secara benar. Jika ikan-ikan mati, tentu penyebabnya harus ditelusuri. Dan jika warga setempat memprotes, jangan mereka dimusuhi atau diadu domba. Pokoknya, jangan mau untungnya saja.
Karaniya Dharmasaputra, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), Verrianto Madjowa (Manado), Supriyanto Khafid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini