NEGARA? Agama? Apakah keduanya harus terpisah? Atau bisakah keduanya disatukan? Problem klasik itulah yang kini sedang merongrong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjelang pemilihan umum di Israel, 17 Mei mendatang.
Adalah Ovadia Yosef, pemimpin spiritual Yahudi ortodoks dari Partai Shas, yang memukul genderang perang kepada pemerintahan Bibi—panggilan akrab Netanyahu. Pertengahan Februari lalu, Rabi Yosef mengutuk Mahkamah Agung Israel karena telah mengeluarkan keputusan yang merugikan kelompoknya. Di antara keputusan itu adalah penundaan keikutsertaan anak-anak muda Yahudi ortodoks dalam dinas militer. Yosef menyebut hakim-hakim MA Israel sebagai orang ''berotak kosong dan mengkhianati kepercayaan Yahudi." Menurut dia, pemerintahan Bibi melalui putusan MA itu telah mengangkangi hukum agama di bawah hukum negara.
Bagi banyak pengamat politik di Israel, ''tembakan" Yosef itu adalah bagian dari keterlibatan kalangan agamawan puritan terhadap politik. Harap maklum, sebelumnya, agama dan politik di Israel seperti dua dunia yang terpisah: rabi bermukim di sinagoga, sedangkan perdana menteri di istana. Tapi, semenjak kalangan agamawan semakin independen, sejak dua dasawarsa lalu—terutama soal pendanaan kegiatan agama, yang biasanya disubsidi pemerintah—desakan untuk memasukkan ideologi agama ke dalam negara semakin kencang. Artinya, dulu kaum ortodoks merasa sebagai ''orang luaran" sehingga tidak akan peduli terhadap perlunya Israel menjadi negara Torah, ''Tapi kini mereka merasa perlu membentuk negara itu karena merasa memiliki Israel," tutur Moshe Halbertal, pengajar filsafat agama di Universitas Herbrew.
Gerakan para rabi ini membuat Netanyahu dan Partai Likud gerah. Netanyahu seperti disuguhi hidangan buah simalakama yang mematikan. Soalnya, jika membalas tantangan kader berjenggot itu dengan keras, ia bakal kehilangan suara kalangan puritan tersebut dalam pemilu mendatang. Namun, jika ia bersikap lunak, dukungan dari kaum sekuler akan melorot.
Kenyataan pahit yang dihadapi Bibi inilah yang kemudian disambar Partai Buruh—musuh bebuyutan Likud. Melalui pemimpinnya, Ehud Barak, Partai Buruh kini sedang ringkes-ringkes untuk bergandeng tangan dengan beberapa kalangan. Setidaknya, sampai dua pekan lalu, Barak telah berhasil merangkul David Levy—bekas menteri luar negeri pemerintahan Netanyahu—Meimad, pemimpin gerakan Yahudi ortodoks, serta Yitzhak Mordechai dari Partai Pusat (Center Party).
Melalui Levy, Barak akan memperluas jaringan partainya dengan kalangan Yahudi yang berada di Afrika Utara dan negara-negara Timur Tengah. Sedangkan melalui Mordechai, bekas menteri pertahanan—yang dipecat Netanyahu—Barak membangun hubungan baik untuk pembangunan ekonomi, infrastuktur, dan pendidikan. Dengan kata lain, meriam koalisi memang sedang diarahkan ke wajah Partai Likud.
Berhasilkah koalisi penggembosan Bibi ini? Belum ada jawaban yang pasti. Tapi, kalau dilihat dari reaksi masyarakat terhadap tiga tahun kepemimpinan Netanyahu, kelihatannya dia akan terpuruk. Jajak pendapat terakhir menunjukkan bahwa Barak unggul beberapa persen di atas Bibi. Di daerah Ofakim, hujatan terhadap Bibi seperti tak terbendung. ''Netanyahu adalah pembohong. Saya tak akan memilihnya lagi, tak akan," kata Meir Benisti, salah seorang warga Ofakim yang pada pemilu 1996 memilih Bibi.
Ofakim mungkin merupakan daerah di Israel yang paling terlupakan. Kota berpenduduk 25 ribu orang ini dihantam pengangguran yang jumlahnya di atas rata-rata angka pengangguran di seluruh Israel. Padahal di daerah ini, tiga tahun lalu, Bibi mengumbar janji dan ia meraup 76 persen suara penduduk kota miskin itu. Dan hasilnya: penduduk tetap miskin.
Kenyataan ini memang sebuah fakta pahit yang harus ditelan Netanyahu, sementara ia sendiri masih punya banyak pekerjaan rumah berkaitan dengan hubungan Israel dengan negara Arab seperti Palestina. Partai Buruh dan Partai Likud secara tradisional memiliki kebijakan berbeda dalam menghadapi isu Palestina. Partai Buruh biasa memproklamasikan proposal ''tanah untuk perdamaian", sementara Partai Likud memopulerkan proposal ''perdamaian untuk keamanan". Dirujuk dari jajak pendapat, tak seorang kandidat pun yang bisa memperoleh suara yang cukup dalam pemilu Mei nanti.
Dan selama ini, pemerintahan koalisi di Israel sangat rapuh ketika berhadapan dengan isu Palestina. Sementara Israel masih punya waktu satu bulan untuk melihat apakah Netanyahu bisa bertahan dalam pemilu Mei mendatang, Palestina juga tengah sibuk akan mendeklarasikan kemerdekaannya pada 4 Mei yang akan datang. Tampaknya, nasib Palestina akan sangat terpengaruh oleh hasil pemilu Israel.
Arif Zulkifli (Sumber: ABCNews, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini