Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Padang - Departemen Biologi Universitas Andalas (Unand) menggelar program pendidikan konservasi primata endemik yang terancam punah di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, mulai bulan ini hingga Oktober 2024. Pendidikan konservasi dianggap urgen di tengah ancaman kepunahan primata endemik Mentawai, terutama karena penebangan hutan dan perburuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Pelaksana Pendidikan Konservasi Primata Mentawai dari Universitas Andalas, Rizaldi, menyebut program itu diadakan di tiga pulau, yakni Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora. “Primata endemik di sana tidak punya kawasan konservasi. Sedangkan di Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, masih punya taman nasional yang cukup luas,” kata Rizaldi kepada Tempo, Kamis, 6 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada enam spesies primata endemik di Kepulauan Mentawai yang berstatus terancam punah (endangered). Keenamnya adalah Owa Mentawai (Hylobates klossii) atau Bilou, Simakobu (Simias concolor), Atapaipai (Presbytis potenziani), Joja (Presbytis siberu), Siteut (Macaca pagensis), serta Bokoi (Macaca siberu).
Pada 2023, Departemen Biologi Universitas Andalas sempat menyurvei primata di beberapa pulau, mulai dari Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora. Hasilnya, habitat primata Mentawai memang terancam penebangan hutan dan perburuan. Pulau Pagai Selatan, ucap Rizaldi, sebenarnya memiliki area konservasi kecil berupa suaka margasatwa, namun tidak berfungsi karena nihil penjaga.
Pelatihan Konservasi untuk Siswa dan Komunitas Masyarakat
Rizaldi menyebut pendidikan konservasi primata itu akan dilaksanakan oleh 10 mahasiswa program studi Biologi dan Antropologi Universitas Andalas yang terbagi menjadi tiga tim. Ada juga sokongan dari mahasiswa Kehutanan Universitas Muhamadiyah di Padang.
“Target program edukasi ini diutamakan untuk usia muda dari tingkatan sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), juga komunitas masyarakat seperti karang taruna,” tutur dia.
Dalam program edukasi itu, tim mahasiswa bakal menetap di kampung-kampung dan membaur dengan masyarakat setempat. “Metode pengajarannya tidak di kelas, tapi langsung observasi ke lapangan,” kata Rizaldi.
Program pendidikan konservasi itu juga mencakup pendekatan budaya. Tim berencana menggelar kegiatan seni, seperti lomba menggambar primata endemik Mentawai bagi anak-anak. Para mahasiswa juga akan menggali cerita lokal yang relevan dengan keragaman hayati dan konservasi di kepulauan tersebut. Saat artikel ini ditulis, ada dua tim yang sudah berada di lapangan, yakni tim untuk Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Tim Universitas Andalas juga berupaya mengikis kebiasaan berburu primata di ketiga pulau. Pasalnya, banyak pemuda lokal yang serin berburu primata sebagai hobi d waktu luang.
“Kegiatan berburu iniakan kita alihkan dengan kegiatan olahraga,” kata Rizaldi. “Tim akan membantu sarana olahraga yang dibutuhkan pemuda, seperti bola kaki, bola dan net voli.”
Sepi Penelitian Primata di Mentawai
Rizaldi mengimbuhkan Kepulauan Mentawai sudah jarang didatangi peneliti konservasi dari luar negeri. Padahal, lembaga konservasi seperti International Union for Conservation of Nature (IUCN) sedang menyoroti ancaman terhadap habitat primata endemik Mentawai.
“Perhatian primatologi dunia juga tertuju ke primata Mentawai, tapi memang tidak ada lagi peneliti asing yang datang,” ucap dia. “Ini karena susahnya perizinan untuk peneliti asing datang ke Indonesia.”
Di tengah paceklik penelitian, tim Universitas Andalas masih bisa menggencarkan pendidikan konservasi untuk primata Kepulauan Mentawai. Program itu didanai Manday Nature, sebuah lembaga konservasi dari Singapura. Lembaga ini juga sempat membiayai survei primata Mentawai yang dilakukan oleh Yayasan Swara Owa.
FEBRIANTI (PADANG)