Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Pekanbaru - Perahu nelayan yang dinaiki oleh anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan para mahasiswa pecinta alam (Mapala) dari beberapa kampus di Pekanbaru tampak menyusuri Sungai Siak pada Selasa, 22 April 2025. Perahu dari Kelurahan Okura, Kecamatan Rumbai Timur, tersebut “mampir” di areal Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Persis di depan PLTU yang tengah beroperasi, kelompok menyerukan penolakan terhadap proyek pembangkit energi fosil yang masih berkembang di tengah krisis iklim. Mereka membentangkan spanduk dan poster. Salah satunya bertuliskan ‘Hentikan Solusi Palsu’. Ada juga kalimat ‘Wujudkan Energi Bersih Berkeadilan’ pada spanduk tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Para anggota organisasi sipil dan mahasiswa yang menamai diri 'Orang Muda Riau' ini menggelar aksi di tengah peringatan Hari Bumi. "Aksi simbolik ini sebagai bentuk penolakan terhadap ketergantungan energi fosil, serta desakan kepada pemerintah untuk segera melakukan transisi menuju energi bersih berkeadilan," ujar Putri, salah relawan Walhi Riau yang mengikuti kegiatan tersebut.
Aksi tersebut mengusung tema global ‘Our Power, Our Planet’ yang menyoroti urgensi energi terbarukan di tengah perubahan iklim. Peserta aksi menuntut percepatan pensiun dini PLTU Tenayan Raya.
Menurut Putri, PLTU Tenayan Raya yang masih beroperasi menunjukkan kegagalan pemerintah untuk melepaskan diri dari energi kotor. "Pembangkit ini terus mencemari Sungai Siak dan merampas hak warga sekitar atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” tuturnya.
Sungai Siak, Putri meneruskan, tercemar akibat tumpahan batu bara di sekitar area PLTU. Limbah hasil pembakaran batu bara seperti fly ash dan bottom ash (FABA), membahayakan ekosistem dan kesehatan masyarakat di sekitar pembangkit.
Selain mendesak peralihan ke energi bersih, ‘Orang Muda Riau’ juga menyatakan menolak rencana transisi energi yang dimuat dalam dokumen Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Riau. Rencana itu berisi proyek co-firing biomassa dari cangkang sawit dan sampah. “Rencana itu kontraproduktif dan tidak menyentuh akar masalah untuk lepas dari ketergantungan terhadap energi kotor,” ujar Putri.
Sabila, anggota Wahana Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (Wanapalhi) dari Universitas Sains dan Teknologi Indonesia (USTI) Pekanbaru, menyebut isi RUED Riau itu hanya akan memperkuat ketergantungan terhadap industri sawit. Proyek co-firing juga diprediksi menambah emisi dari sektor Forest and Other Land Use (FOLU), akibat meningkatnya kebutuhan bahan baku biomassa.
“Transisi energi tidak bisa hanya soal mengganti sumber listrik, tetapi harus menjamin seluruh rantainya bersih,” ucap Sabila.
Kritik lain datang dari Khariq Anhar, peserta aksi yang sama. Dia menyebut pemerintah tidak ambisius menghentikan penggunaan energi fosil. Bersama ‘Orang Muda Riau’, dia mendesak peninjauan ulang RUED Provinsi Riau.
“Pemerintah harus segera menghentikan pembangunan PLTU baru, pensiunkan yang sudah ada,” kata Khariq. “Serta berkomitmen penuh pada transisi energi yang berpihak kepada masyarakat, bukan korporasi.”