Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bentuknya mirip antena radio. Dengan panjang 31 sentimeter dan diameter 0,6 milimeter, benda lonjong dan sedikit mengkilap itu tidak terlihat istimewa. Namun, jika benda itu lepas dari sarungnyakontainer yang menyerupai termospetaka yang ditimbulkanya mengerikan. Kulit, daging, atau anggota tubuh manusia yang menyentuhnya bisa melepuh dan gosong.
Tentu saja. Sebab, benda yang terbungkus logam timbal itu menyimpan radioaktif nuklir, yakni bahan radioaktif cobalt-60 dan americium 241. Yang tak tentu adalah niat para maling, yang Jumat dua pekan lalu membobol gudang penyimpanan milik PT Kratau Steel di Cilegon, Banten.
Selain menggondol katrol, rantai besi, serta pagar kawat dari gudang tersebut, dengan sengaja atau tidak, si maling juga mengempit 20 batang cobalt-60 dan americium 241. Dua benda terakhir inilah yang mengkhawatirkan Andi Soko, Manajer Keselamatan Kerja, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup Krakatau Steel. Andidan kita semua tentunyakhawatir jika cobalt dan americium itu lepas dari sarung atau kontainernya, yang akan menyebabkan jatuhnya korban.
Polisi yang dilapori kemudian mengirim anggotanya ke rumah-rumah sakit dan puskesmas. Kapolres Cilegon, Superintenden Martono, juga menyuruh anak buahnya mengorek-ngorek tempat penjualan besi tua di daerahnya. Polisi tampaknya menduga, si pencuri tak tahu bahwa mereka mengondol bahan yang mematikan.
Maling memang tidak dituntut untuk tahu banyak. Tapi pihak Krakatau seharusnya lebih paham bagaimana mengamankan benda berbahaya itu. Sebab, bukankah sudah ada undang-undang yang mengharuskan limbah radioaktif diserahkan ke Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).
Memang, tiga tahun lalu, Undang-Undang Nomor 10 tentang Ketenaganukliran memberikan hak kepada perusahaan untuk menyimpan sementara limbahnya. Limbah itu boleh dibuang setelah aktivitasnya aman bagi lingkungan. Jika perusahaan tak sanggup, harus diserahkan ke Batan. Di sini celah Andi Soko mengelak. "Kita sudah menyimpan sesuai dengan standar dan rekomendasi Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir)," katanya.
Cuma, Andi lupa bahwa secara otomatis standardisasi itu juga menuntut pihak penyimpan (PT Krakatau Steel) bisa memastikan bahwa benda tersebut aman dari tangan jail. Seperti dikatakan Yudi Utomo, Ketua Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, "Jika Krakatau mau menyimpan sendiri bahan radioaktifnya, mereka harus menjamin keamanannya,"' kata Yudi.
Adapun keperluan pabrik baja ini memakai cobalt-60 adalah untuk mengukur suhu baja cair panas. Sedangkan amiricium dipakai untuk mengukur tebal baja yang diinginkan. Cobalt yang dipakai KS mempunyai waktu paruh sekitar lima tahun. Jadi, sebatang cobalt-60, dengan aktivitas sebesar 4,8 milicurie, dalam lima tahun aktivitasnya tinggal setengahnya. Kemudian, dalam jangka sepuluh tahun tinggal seperempatnya.
Padahal, 21 batang yang diembat maling itu aktivitasnya masih 1,9 milicurie hingga 4,8 milicurie. Sedangkan americium masih 1.000 milicurie. Bandingkan dengan ambang batas aman bagi lingkungan, yakni jika aktivitasnya sepermiliar milicurie.
Dengan kadar aktivitas yang tinggi ini, Bapeten yakin, orang yang menyentuh radioaktif itu harus berurusan dengan rumah sakit. Mohammad Ridwan, Ketua Bapeten, mencontohkan kejadian di Peru, Amerika Selatan, tahun lalu. Seorang pemuda yang mengantongi bahan radioaktif baru akan merasakan kulitnya di bagian belakang pangkal paha melepuh dua minggu kemudian. Dalam tempo tiga bulan jaringan kulit dan daging di bawahnya gosong digerogoti radiasi, hingga kakinya diamputasi.
Menurut Ridwan, banyak perusahaan yang enggan menyerahkan limbah radioaktifnya ke Batan karena dipungut biaya yang tinggi. Selain itu, "Mereka gampang mempermainkan harga," ujar Ridwan.
Batan membantah biaya yang dikenakannya terlalu mahal. "Saya sudah banyak memberikan diskon," kata Gunandjar, Kepala Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif Batan. Mahalnya biaya karena limbah radioaktif harus diisolasi dalam sel beton penyimpan. Adapun biaya penyimpanan dalam bunker, yang mestinya Rp 14 juta per meter kubik, tidak dikenai biaya.
Sebenarnya, ada cara lain agar perusahaan tak dibebani pengurusan limbah. Seperti yang dilakukan PT Sucofindo, mereka mengirim balik sebagian besar bahan radioaktif yang dibelinya ke negara asal. "Menyimpan sendiri berbahaya," kata Rofezal, staf Divisi Jasa Teknik Sucofindo. Ia juga menambahkan sebagian kecil ampas radioaktif Sucofindo langsung diserahkan ke Batan. "Harga yang ditawarkan Batan masih realistis," kata Rofezal. Yudi Utomo dari UGM juga keberatan. "Krakatau maunya ngirit biaya, tapi keamanannya memble," kata Yudi.
Sementara soal biaya masih jadi perdebatan, sampai Sabtu pekan lalu batangan radioaktif yang lenyap masih begentayangan. Jadilah ia "hantu" radioaktif yang tak berwarna, berbau, atau berasa.
Agung Rulianto, Agus S. Riyanto, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo