Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hamdi Muluk *)
*) Pengajar di Bagian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UI
AWAL tahun 1970-an terbit sebuah buku dari David McClellandseorang pakar psikologiyang berjudul The Achieving Society. Buku itu menjadi terkenal karena hasil penelitian McClelland memperlihatkan bahwa negara maju adalah negara dengan orang-orang yang didominasi oleh dorongan untuk berprestasi (Need for achievement/N-ach) yang tinggi. Menurut temuan McClelland, motif inidengan nilai: kerja keras, disiplin, komitmen, keberanian mengambil risiko, kreativitas, prestatif, realistik, dan kemandirian sebagai pilar utamanyamemang lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermental entrepreneurship ketimbang yang bermental pegawai. Namun, intinya, motif atau semangat berprestasi ini harus ditumbuhkan pada setiap individu, kalau bisa sedini mungkin, kalau suatu negara ingin maju.
Lebih lanjut, menurut McClelland, motif dan nilai-nilai yang mendasari semangat berprestasi ini sifatnya tidak bawaan (herediter), tapi justru proses tumbuh-kembangnya banyak disokong oleh perangkat sosial-ekonomi-politik dan budaya. Karena itu, secara psikologis ia bisa diajarkan dan "ditularkan" secara terencana. Dari tangan McClelland inilah lahir pelatihan achievement motivation training (AMT) untuk mengajarkan orang supaya punya motif berprestasi yang tinggi. Pelatihan ini sangat populer di Indonesia dan diajarkan pada banyak orang pada tahun 1980 sampai awal 1990-an, walaupun tidak terlalu jelas apakah pelatihan ini berhasil mengubah mental masyarakat dan mendorong lebih banyak orang untuk berprestasi. Kenyataan yang kita lihat sekarang ini tidaklah seoptimistis apa yang diprediksikan McClelland. Alih-alih prestasi didongkrak, malah kemunduran dalam berbagai sektor yang menggejala di mana-mana. Lihatlah betapa peringkat perguruan tinggi kita terus melorot dibandingkan dengan negara-negara yang dulu peringkatnya jauh di bawah kita. Padahal, menurut McClelland, sektor pendidikan adalah salah satu indikator tingkat prestasi suatu bangsa, di samping indikator perekonomian. Saya kira, persoalannya bukan terletak pada tidak sahihnya konsep dan teori McClelland, tapi mungkin jawabannya terletak pada gagalnya kita menggagas suatu strategi sosial dan budaya yang mendorong dan menumbuhkembangkan etos serta semangat berprestasi. Bisakah kita melihat praktek dan laku budaya kita yang lebih menghargai unsur kerja keras, kegigihan, keuletan, serta ketabahan? Dan apakah hal ini diganjar dengan imbalan yang lebih tinggi ketimbang laku dan praktek yang sekadar mengandalkan nasib dan keberuntungan? Banyak hal dalam praktek budaya kita yang tanpa kita sadari mengajarkan "etos cepat dapat hasil" kepada anak-anak kita. Contoh kecil yang membuat saya terhenyak adalah ketika keponakan saya tidak lagi tertarik mengisi TTS serta mencari jawaban kuis-kuis yang lebih memutar otak di beberapa koran dan majalah yang biasanya ia gemari. Alasannya, lebih enak mengikuti telekuis di TV yang pertanyaannya terkadang sangat sepele, seperti apa warna kemasan suatu sampo dan hadiahnya bisa sampai satu juta rupiah. Pokoknya, asal rajin saja "memeloti" siaran, terutama iklan-iklannya, dijamin bisa menjawab plus sedikit keberuntungan teleponnya bisa nyambung, ketimbang puyeng mencari jawaban TTS yang hadiahnya sangat kecil. Contoh kecil ini, ketika saya tarik paralelnya kepada soal yang tinggi, menemukan korelasinya juga. Banyak ilmuwan dan akademisi kita lebih tertarik menjadi pembicara talk show ketimbang menulis buku atau mengerjakan penelitian dan menuliskan hasilnya di jurnal ilmiah, karena imbalan materialnya sangat sedikit dibandingkan dengan aktivitas "ngomong" yang relatif tidak banyak "memutar otak" itu. Budaya "cepat mendapat hasil" ini juga yang dipertontonkan selama kurang lebih 30 tahun lewat kebijakan pembangunan ekonomi kita yang lebih mementingkan "impresivitas pertumbuhan" bukan melalui kerja keras dengan keringat sendiri, tapi lewat belas kasihan utang dari negara-negara donor. Baru sekarang kita mengerti bahwa untuk maju perlu suatu proses, perlu suatu kerja keras, dan proses bahkan lebih penting ketimbang "hasil akhir" yang kelihatannya berkilauan. Dan di belakang itu, harus ada suatu "paradigma mental" bahkan suatu "paradigma sosial-budaya", yang mungkin salah satunya achieving society tadi. Kalau kita perpanjang, contoh praktek budaya yang lebih mendorong "budaya kulit-kulit" akan lebih membuat kita miris. Betapa, misalnya, sinetron dan telenovela membanjiri kita tiap hari dengan logika yang tidak jelas. Tidak pernah bisa dijelaskan bagaimana seorang tokoh dalam serial ituumumnya sinetron kita lebih sering berlatar seting rumah mewah, mobil mewah, dan sebagainyabisa menjadi kaya. Saya teringat pada tesis S2 Niniek L. Karim empat tahun lalu, yang memperlihatkan bahwa betapa lemahnya pemahaman sineas terhadap kaitan antara logika kerja keras dan kemakmuran (kaya). Artinya, skema sosial para sineas terhadap "proses menjadi kaya" tidak pernah jelas. Yang penting orang kaya, ya kaya, karena ia memang sudah kaya. Kalau kita menganggap bahwa "skema mental" sineas pembuat film tentang orang kaya tersebut adalah representasi bagaimana sebagian besar rakyat kita memahami proses menjadi kaya (berhasil), saya kira kita layak untuk menjadi prihatin. Itu berlaku pada para sineas yang relatif terdidik, bagaimana halnya dengan rakyat kebanyakan? Dengan kata lain, kita memang makin jauh dari cita-cita menuju masyarakat dengan paradigma achieving society sebagai basisnya. Lantas apa yang bisa diperbuat? Rasanya memang banyak yang harus kita lakukan untuk meluruskan hal ini, termasuk pembenahan sistem sosial-ekonomi-politik yang meletakkan dasar-dasar meritokrasi sebagai basisnya; sewaktu orang diberi ganjaran karena unsur prestatifnya, bukan karena hal-hal lain yang tidak ada kaitan dengan prestasinya. Dengan segala upaya, kita harus mengingatkan dan mengoreksi praktek-praktek kebijakan sosial-ekonomi-politik yang dibuat pemerintah yang tidak mengarah pada asas meritokrasi. Dan mungkin yang lebih mendesak adalah kita perlu merumuskan lagi strategi budaya kita, kalau kita ingin survive dan keluar dari krisis dengan selamat. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |