Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REAKSINYA datar-datar saja. Senyumnya juga tidak lepas. Dialah Musa Gurning, 74 tahun, tokoh masyarakat Kecamatan Porsea, Kabupaten Tobasamosir, Sumatra Utara. Padahal, organisasi lingkungan yang dimotorinya, Suara Rakyat Bersama, memperoleh Walhi Award, penghargaan dari lembaga peduli lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Pemberian penghargaan itu diselenggarakan bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-20 Walhi, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Ahad pekan lalu. Suara, sebut saja begitu, dinilai sebagai organisasi yang konsisten dan kompak dalam aksi penentangan terhadap perusahaan yang mencemarkan lingkungan.
Suara adalah organisasi tanpa struktur dalam bidang lingkungan hidup yang berdiri pada Agustus 1998. Organisasi itu didukung dan didirikan para kepala desa dari lima kecamatan, yaitu Porsea, Perwakilanuluan, Lumbanjulu, Pintupohan, dan Laguboti. Sebagian besar warga Kabupaten Tobasamosir, menurut klaim Musa Gurning, adalah anggota Suara. Kegiatan utamanya adalah mengadakan aksi penentangan terhadap PT Inti Indorayon Utama, perusahaan pulp, kertas, dan rayon, yang dianggap melakukan serangkaian pencemaran lingkungan di kabupaten tersebut.
Mengingat usaha penentangan tersebut di lakukan sejak masa pemerintahan diktator Soeharto, tak aneh jika beberapa anggota organisasi ini pernah menjadi sasaran intimidasi dan teror. Rumah Musa Gurning, misalnya, pernah diserang oleh oknum aparat kepolisian pada September 1998. Akibat serangan itu, rumah Musa porak-poranda dan dua adiknya menjadi korban kekerasan. Peristiwa yang lebih berdarah terjadi pada Desember 1998. Panuju Manurung dan Sahat Butar-butar tewas karena ditembak polisi setempat.
Setelah Soeharto lengser pun, kekerasan aparat berlanjut. Korban jiwa masih saja jatuh. Pada Maret 1999, Pantun Sitorus dan Sitanggang tewas. Terakhir, pada Juni 2000, Herman Sitorus tewas akibat peluru yang ditembakkan aparat Kepolisian Sektor Porsea. "Semua peristiwa itu membuat warga Tobasamosir semakin antipati kepada Indorayon," kata Musa, yang gemar memakai celana jins dan kemeja kotak-kotak.
Walau didera berbagai teror, organisasi Suara tak gentar. Karena itulah mereka memperoleh penghargaan dari Walhi. Masih ada alasan lain. Suara dinilai berhasil mengatasi berbagai tekanan politik dan godaan gemerencing rupiah untuk melemahkan semangat juang mereka. "Konsistensi itu perlu dihargai," kata Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Walhi. Pertimbangan lain, Suara dinilai tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan aksinya dan lebih memilih cara pembangkangan sipil seperti memblokade suplai bahan ke pabrik.
Indorayon memang perusahaan yang bermasalah sejak masih embrio. Ketika pabrik pulp itu masih berupa cetak biru, Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup waktu itu, dan A.R. Soehoed, Menteri Perindustrian, sudah menyatakan keberatan atas pemilihan lokasi sumber bahan baku pabrik tersebutkarena akan menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Pabrik itu menggunakan berbagai bahan kimia beracun dalam jumlah besar, sementara daerah yang dipakai adalah lokasi pertanian dan permukiman padat penduduk. Kecamatan Porsea dihuni sekitar 20 ribu jiwa yang tinggal di 42 desa. Mereka hidup sebagai petani dan peternak. Hanya puluhan orang yang diperkirakan bekerja di Indorayon.
Walau ada lampu merah, perusahaan penanaman modal asing itu akhirnya berdiri pada 1989 dengan investasi awal sekitar US$ 600, dengan sebagian sahamnya dipegang investor lokal. Perusahaan itu memiliki hak pengelolaan hutan seluas 269 ribu hektare di Kabupaten Tapanuli Utara (kini bernama Tobasamosir), Dairi, Simalungun, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Dalam perjalanannya, Indorayon dilaporkan merusak lingkungan. Danau Toba, misalnya, yang letaknya tak jauh dari lokasi pabrik tersebut, pada 1998 dilaporkan mengalami penyusutan air.
Pada tahun yang sama, perusahaan itu pernah diamuk massa yang mengakibatkan pabrik berhenti beroperasi sementara. Namun, Indorayon secara resmi berhenti beroperasi setelah Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menutup untuk sementara perusahaan itu pada Maret 1999. Kebijakan untuk memalang pintu Indorayon itu dilanjutkan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Bahkan, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf belakangan merekomendasikan agar Indorayon ditutup.
KMN, Bambang Soedjiartono (Medan), Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo