Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEDA itu meluncur. Seorang pemuda dengan tas punggung sekolah mengayuh sepeda itu ke sebuah pos penjagaan tentara Israel. Pos penjagaan itu terletak di depan gerbang masuk permukiman Yahudi Kissufim, di sebelah barat Jalur Gaza. Seorang tentara yang curiga berusaha menghadangnya.
Tapi pemuda itu nekat menabrakkan sepedanya ke dinding penghalang. Bum! Tubuhnya hancur lebur oleh sebuah bom bunuh diri seberat empat kilogram. Sedangkan tentara Israel itu hanya mengalami cedera.
Maka, serangkaian pamflet pun menyebar ke seluruh Gaza. Brigade Al-Qudskelompok bersenjata dari gerakan Jihad Islamimengaku bertanggung jawab atas peristiwa itu dan menegaskan bahwa ini hanya permulaan. Mereka menyebut Nabil Al-Arair, pemuda yang sehari-hari adalah tukang bersih-bersih sebuah taman kanak-kanak di Gaza itu, sebagai martir. Ratusan pelayat menghadiri pemakamannya. "Saya bangga dengan apa yang dilakukan Nabil," kata Abdel-Rahim Al-Arair, sepupu Nabil, di rumahnya. Setelah salat Jumat pekan lalu, berbagai pelosok Gaza menyelenggarakan demonstrasi mengelukan aksi nekat tersebut. "Kami akan datang dengan bom lebih besar," teriak warga Gaza berulang-ulang. Akibatnya, empat orang mati diterjang peluru Israel.
Peristiwa ini membuka babakan baru konflik Israel. Kecemasan Israel semakin bertambah menghadapi gelombang serangan bunuh diri. Apalagi ada kesan bahwa titik sasaran selanjutnya adalah ruang publik seperti pasar, pertokoan, dan tempat hiburan. Dan ini semakin menebalkan anggapan bahwa Arafat sengaja melepaskan beberapa tokoh teroris dari penjara.
Letnan Jenderal Shaul Mofaz, komandan Israel di Gaza, menyatakan akan menghadapi teror itu. Sedangkan Ehud Barak mengatakan tak akan mau duduk semeja perundingan lagi dengan Palestina sebelum Arafat menjebloskan tokoh El-Jihad dan Hamas kembali ke penjara. Serangan itu diduga merupakan bagian dari peringatan lima tahun tewasnya pemimpin Jihad Islami, Fathi Shqaqi, yang dibunuh pihak Israel di Malta. Pihak Jihad Islami mengatakan, itu isyarat bagi Israel yang keras kepala yang tak mau menarik pasukannya. Meskipun pekan ini terasa ada suasana cooling down dan tentara Israel terlihat mulai mengizinkan lelaki berusia 35 tahunan (sebelumnya hanya yang di atas 40 tahun) melakukan salat jamaah di Masjid Aqsa, tetap ada sesuatu yang ganjil menarik dicermati.
Dalam suasana "mendingin" dan gencatan senjata itu, di dalam negeri, Israel malah membangun persiapan militer yang luar biasa. Sebuah analisis dari pakar bahasa dan komunikasiyang sering mengamati politik internasionalNoam Chomsky menginformasikan suatu hal yang baru. Setelah terjadi bentrokan antara Israel dan demonstran Palestina, 3 Oktober silam, Angkatan Udara Israel memutuskan pembelian helikopter militer dan suku cadang pesawat dari AS dalam jumlah yang terbesar sepanjang sejarah. Harian Israel Ha'aretz menurunkan laporan bahwa AS melego 35 buah helikopter militer Black Hawk seharga US$ 525 juta (Rp 4,2 triliun dengan kurs Rp 8.000). Sebelumnya, Israel sudah memborong pesawat jet, pesawat patroli, dan helikopter serang Apache. Sebuah sumber di Pentagon, yang dikutip Chomsky, mengatakan penjualan senjata-senjata supercanggih ini tak menyertakan prasyarat apa punmisalnya tidak boleh digunakan untuk menembaki penduduk sipil.
Harian Jerusalem Post menguatkan pengamatan Noam Chomsky itu. Menurut harian itu, Kementerian Pertahanan Israel merencanakan, pada 2001 nanti, akan mengembangkan sistem intelijennya dan untuk itu mereka membutuhkan anggaran ekstra pada pos militer. Celakanya, dan ini berita yang menggembirakan Kementerian Pertahanan Israel, Kongres AS menyetujui penambahan bantuan uang militer Israel.
Di masa pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, paket bantuan tahunan AS kepada Israel lazimnya mencapai US$ 120 juta (Rp 960 miliar) untuk masyarakat sipil dan US$ 60 juta (Rp 480 miliar) untuk militer. Tapi, kini, "dengan penuh kasih" Kongres AS menggelembungkan paket bantuan itu menjadi sekitar US$ 800 juta (Rp 6,4 triliun) untuk sipil dan US$ 198 juta (Rp 1,584 triliun) untuk militer.
Betapapun dana sudah berlimpah untuk pembelian the killing machine itu, The Israel Defense Forces (IDF) masih terus-menerus melobi Gedung Putih untuk bisa mendapatkan kucuran dana sekitar US$ 800 juta (Rp 6,4 triliun). Apa lagi? Itu ditujukan untuk biaya penarikan pasukan Israel dari Lebanon Selatan dan mengembangkan anti-misil. Duta Besar Israel untuk Washington, DC, David Ivry, kini terus bergerilya di Gedung Putih untuk mendiskusikan paket spesial ini.
Akibat dari rencana "persiapan perang" yang diselenggarakan Israel itu, Amnesti Internasional mengajukan protes atas digunakannya helikopter militer untuk menghantam warga sipil Palestina. Bahkan, Palang Merah Internasionalyang cenderung tak bersuaraikut berang lantaran tak kurang dari 18 ambulans Palang Merah kena hajar mortir Israel. Dengan penggembungan bantuan militer ini, terlihat betapa AS mempraktekkan standar ganda. Kebijakan Kongres Amerika ini adalah suatu anakronisme. Apa gunanya Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright dan Presiden AS Bill Clinton terlihat bersusah payah menjadi penengah mulai Camp David sampai Sharm El-Sheikh? Dan apa gunanya pihak AS mengusulkan deklarasi Negara Palestina pada 15 November depan (meski terbatas hanya sekitar 40 persen Tepi Barat dan 60 persen Jalur Gaza) bila di pihak lain Pentagon dan Kongres terus memperkuat persenjataan Israel?
Tentu saja bantuan AS itu telah diperhitungkan banyak kalangan. Kepada koresponden TEMPO Zuhaid El-Qudsy, pakar Timur Tengah Universitas Kairo, Imad El-Gad, mengatakan itulah sebabnya negara-negara Arab tak usah memilih jalan perangkarena persenjataan mereka kalah canggih dari Israel-Amerika.
Sikap Israel dalam meningkatkan kekuatan militernya ini semakin mengkhawatirkan pihak Palestina, terutama karena perkembangan politik dalam negerinya. Perdana Menteri Ehud Barak belakangan telah menyebut-nyebut akan membentuk koalisi pemerintahan darurat. Dua pekan silam, secara mengejutkan Barak mengajak Ketua Partai Likud, Ariel Sharon, yang merupakan tokoh oposisi, untuk bergabung. Memang usulan Barak tak disetujui oleh Sharon. Sharon tampak masih gamang dan menganggap usul itu hanya trik Barak yang popularitasnya menurun semenjak perjanjian Camp David.
Dari 120 kursi parlemen Israel, kini Barak hanya memegang 30 kursi. Sementara itu, polling terakhir di Israel menyatakan bahwa dukungan publik terhadap Barak hanya tinggal 23 persen, padahal dukungan untuk Benjamin Netanyahu melonjak menjadi 48 persen.
Namun, tetap ada saja dukungan terbuka dari anggota Likud agar Sharon menyetujui tawaran itu. Bagi mereka, ini kesempatan bagi Sharon untuk "naik takhta" lagi. Sekitar 40 tokoh utama Partai Likud menandatangani petisi dukungan tersebut. Saed Barak, negosiator Palestina, menganggap bahwa bila akhirnya Sharonsang provokator Aqsamemang bergabung, sudah pasti dunia harus menyiapkan obituari bagi cita-cita perdamaian itu.
Seno Joko Suyono dan Zuhaid El-Qudsy (Mesir)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo