Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Apa Saja Hasil COP28 Dubai

COP28 di Dubai menyepakati adanya transisi, bukan keluar, dari energi fosil. Akibat kuatnya penolakan dari produsen minyak. 

17 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILMUWAN Brasil, Carlos Nobre, mengikuti Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, sejak 30 November dan baru pulang ke negaranya pada 9 Desember 2023. Ia datang ke acara yang dihadiri wakil dari 200 negara itu bukan sebagai negosiator. Ia berbicara dengan negosiator dari Brasil tentang alotnya perundingan. “Dia tidak terlalu optimistis bahwa kita akan benar-benar menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan sebagainya secara bertahap,” katanya pada 12 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekhawatiran Nobre menjadi kenyataan. Konferensi yang sedianya akan berakhir pada 12 Desember 2023 itu molor sehari dari jadwal karena perbedaan pandangan para juru runding. Dalam kesepakatan akhir pada 13 Desember, tak ada frasa phase-out atau keluar dari energi fosil meskipun sudah jelas bukti bahwa energi fosil menjadi kontributor terbesar (sekitar 75 persen) emisi karbon dunia. Yang mereka sepakati adalah “transisi” dari energi fosil. “Desakan untuk phase-out itu enggak berhasil,” ucap Wakil Ketua Kelompok Kerja I dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) Edvin Aldrian, 13 Desember 2023. Dia menyebut kata "transisi" itu sebagai penghalusan phase-down atau pengurangan secara bertahap. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sejumlah agenda krusial yang dibahas dalam COP28. Selain energi fosil, ada soal perdagangan karbon serta Dana Kerugian dan Kerusakan. Topik terakhir ini disepakati pada awal konferensi. Sesuai dengan kesepakatan, sejumlah negara maju akan mengalokasikan dana untuk membantu aksi mitigasi dan adaptasi negara yang rentan terkena dampak krisis iklim.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berbicara dalam ajang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan bangsa-Bangsa (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, 11 Desember 2023. Reuters/Thaier Al-Sudani

Agenda Dana Kerugian dan Kerusakan itu sudah disepakati dalam COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, pada 2022. Dalam konferensi di Dubai ini, sejumlah negara sudah menyampaikan komitmennya. Hingga akhir konferensi, dana yang terkumpul sekitar US$ 800 juta. Untuk tahap awal, pengelolaan dan distribusi dana akan dilakukan melalui Bank Dunia.

Sejumlah pihak mengkritik soal dana ini. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nasional, Uli Arta Siagian, menilai jumlahnya masih jauh dari komitmen sebelumnya, ketika setiap negara maju akan mengalokasikan dana US$ 100 juta sebagai pembayaran utang atas emisi mereka di masa lalu. “Ini jauh dari US$ 100 juta yang seharusnya dibayarkan,” ujarnya.

Yang juga dipertanyakan adalah mekanisme penyaluran dan kriteria negara yang bisa memanfaatkan dana itu karena belum jelas diatur. “Ada kekhawatiran, ketika dikelola oleh Bank Dunia, ia enggak bisa langsung dirasakan oleh masyarakat yang terkena dampak atau, lebih buruk lagi, enggak jatuh menjadi hibah tapi, misalnya, menjadi utang,” tutur Uli.

Bagi Carlos Nobre, masalahnya ada pada jumlah dana yang terlalu sedikit. “Ide bagus untuk menciptakan Dana Kerugian dan Kerusakan, tapi sayangnya COP28 hanya menghasilkan dana yang sangat kecil. Harus puluhan miliar dolar per tahun, mungkin 100 miliar dolar atau lebih,” katanya.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa kerusakan akibat krisis iklim memang sangat besar. Majalah Nature edisi Oktober 2023 mempublikasikan hasil penelitian yang menunjukkan nilai kerugian akibat perubahan iklim dari 185 peristiwa cuaca ekstrem selama 2000-2019 mencapai total US$ 2,86 triliun atau rata-rata US$ 143 miliar per tahun.

Berbeda dengan perundingan Dana Kerugian dan Kerusakan, pembahasan global stocktake dan upaya mitigasinya berjalan lebih alot. Global stocktake adalah metode evaluasi untuk mengukur kemajuan komitmen iklim negara dalam mencapai tujuan Perjanjian Paris, yang hendak mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius atau di bawah 2 derajat Celsius di akhir abad ini dari suhu pada masa praindustri.

Nobre mengatakan global stocktake itu, berdasarkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) setiap negara yang disampaikan dalam COP27 di Mesir, menunjukkan target Perjanjian Paris tidak akan terpenuhi. Dengan NDC semua negara saat ini, kenaikan suhu bumi pada 2050 diperkirakan di atas 2 derajat Celsius, naik dari saat ini yang sekitar 1,2 derajat Celsius.

Dari kajian IPCC, kontributor terbesar pemanasan global ini adalah energi fosil, dari minyak, gas, hingga batu bara. Penyumbang terbesar selanjutnya adalah sektor hutan. Meski negara-negara yang meratifikasi Perjanjian Paris menyadari target penurunan emisi pasti tidak akan terpenuhi, perumusan upaya mitigasi oleh mereka berlangsung alot.

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik, dalam draf awal opsi aksi mitigasi, yaitu naskah pada 11 Desember 2022, ada dua opsi yang muncul: phase-out (meninggalkan energi fosil) atau phase-down (menurunkan penggunaan energi fosil). Lebih dari 100 negara menginginkan konferensi ini membuat keputusan untuk keluar sepenuhnya dari energi fosil.

Penentang terbesar opsi phase-out adalah negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Media Inggris, The Guardian, melaporkan adanya surat bertanggal 6 Desember 2023 dan ditandatangani eksekutif perminyakan Kuwait serta Sekretaris Jenderal OPEC Haitham al-Ghais. Isinya, mereka meminta 13 negara anggota OPEC memperjuangkan penghapusan opsi yang menyasar energi fosil.

Negosiasi soal ini tak berjalan seperti harapan, terutama bagi negara-negara yang tergabung dalam Aliansi Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS). Sampai hari akhir konferensi, kesepakatan belum dicapai sehingga ada perpanjangan waktu sehari. “Dalam draf opsi pada 13 Desember atau teks terakhir, tidak ada kata 'phase-out'. Yang ada mekanisme transisi,” ucap Iqbal.

Sempat terjadi drama pada saat penutupan COP28. Menurut kantor berita AP, beberapa menit setelah sesi pembukaan acara, Presiden COP28 Sultan Al Jaber menyetujui dokumen utama tersebut tanpa memberikan kesempatan bagi para pengkritik untuk berkomentar. Dia memuji dokumen itu sebagai “paket bersejarah untuk mempercepat aksi iklim”.

Beberapa menit kemudian, pemimpin delegasi Samoa, Anne Rasmussen, atas nama negara-negara kepulauan kecil, mengeluh bahwa mereka bahkan tidak berada di ruangan ketika Al Jaber mengatakan kesepakatan telah selesai. Dia menilai kesepakatan itu “berpotensi membawa kita ke belakang, bukan ke depan”.

Ketika Rasmussen selesai berbicara, para delegasi bersorak, bertepuk tangan, dan berdiri. Al Jaber sempat terlihat mengerutkan kening sebelum akhirnya ikut bertepuk tangan. Protes Rasmussen tak mengubah kesepakatan yang dibuat setelah masa perpanjangan waktu itu.

Delegasi Kepulauan Marshall tampak berpelukan dan menangis. Beberapa jam kemudian, di luar arena sidang pleno, delegasi negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara Eropa bersama Kolombia terlihat berpegangan tangan dan berpelukan untuk menunjukkan dukungan emosional mereka terhadap negara yang memperjuangkan ambisi yang lebih besar dalam menangani krisis iklim.

Iqbal mengaku tak terkejut atas hasil kesepakatan dengan skema transisi itu, yang sangat jauh dari harapan bisa mencegah pemanasan global. “Ketika dikatakan kesepakatannya transisi dan tidak phase-out, kita tahu ini keputusan yang menguntungkan negara-negara beremisi tinggi, terutama negara-negara yang memiliki sumber daya fosil,” dia menambahkan.

Selain transisi dari energi fosil, kesepakatan yang juga dihasilkan adalah peningkatan energi terbarukan tiga kali lipat dari upaya saat ini. Carlos Nobre memuji hasil ini meski dampaknya bagi pengurangan emisi dipertanyakan. “Ini sangat bagus. Namun, lagi-lagi, eksplorasi bahan bakar fosil terus meningkat di dunia,” tuturnya. 

Uli Arta punya pandangan senada. Namun, dalam kasus Indonesia, dia mengungkapkan, kesepakatan ini bisa berbahaya bagi lingkungan dan keselamatan rakyat. “Bisa dibayangkan betapa cepatnya nanti Sulawesi, Maluku Utara, dan wilayah-wilayah yang sekarang punya potensi nikel, kobalt, itu akan dieksploitasi untuk mengejar ambisi tiga kali lipat transisi energi,” ujarnya. 

Di Indonesia, salah satu yang juga disebut sebagai energi terbarukan adalah biomassa sebagai co-firing untuk pembangkit listrik, biodiesel, dan panas bumi. Uli menilai kesepakatan ini bisa dijadikan dasar untuk memperluas pembukaan kebun kayu energi demi kebutuhan biomassa. Hal ini juga berpotensi mendorong terjadinya deforestasi lanjutan. 

Dalam kasus panas bumi, Uli melanjutkan, yang bisa terjadi adalah konflik dengan masyarakat yang merasa diasingkan dari ruang hidup mereka. Ia menyebutkan kasus protes dari masyarakat adat Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. “Gerakan untuk menolak panas bumi itu tinggi sekali. Dan ada yang dikriminalisasi,” ucapnya. 

Iqbal menambahkan, agenda lain yang juga dibahas adalah carbon offset atau jual-beli karbon, tapi tak tercapai titik temu. “Pembahasan artikel pasal 6.2 dan 6.4 Perjanjian Paris tidak mencapai kesepakatan di COP28 ini sehingga carbon offsetting antarnegara itu tidak dibenarkan.”

Greenpeace menyebut perdagangan karbon sebagai perdagangan palsu sehingga buntunya pembahasan hal ini tak berarti baik. “Kami mengharapkan kesepakatannya muncul dan mengutamakan mekanisme non-market,” katanya. Melalui skema ini, ada pelibatan masyarakat adat atau komunitas lokal yang tinggal di wilayah hutan untuk menyelamatkan hutan mereka sebagai bagian dari upaya menyerap emisi karbon.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan untuk pertama kalinya ada hasil konferensi yang mengakui perlunya transisi dari bahan bakar fosil. “Era bahan bakar fosil harus diakhiri. Dan harus diakhiri dengan keadilan dan kesetaraan,” tuturnya. Al Jaber juga memuji kesepakatan ini dan menyebutnya sebagai “Bintang Utara”—metafora sebuah kesuksesan.

Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, menyebutkan hasil COP ini tonggak penting karena akhirnya mengakui bahwa krisis iklim pada dasarnya adalah krisis bahan bakar fosil, tapi dengan catatan. “Apakah ini merupakan titik balik yang benar-benar menandai awal dari berakhirnya era bahan bakar fosil, itu bergantung pada tindakan yang diambil selanjutnya,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Awal dari Akhir Era Energi Fosil"

Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus