Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Konservasi Ikan Belida di Sungai Cisadane

Penelitian BRIN menemukan belida lopis yang dianggap punah di Sungai Cisadane. Riset itu tak menemukan belida Sumatera.

17 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penelitian BRIN menemukan kembali ikan belida lopis (Chitala lopis) di Sungai Cisadane yang dianggap punah.

  • Pada 2020, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menetapkan Chitala lopis punah di Jawa.

  • Penelitian BRIN tidak menemukan ikan belida Sumatera (Chitala hypselonotus) dalam survei.

IKAN belida lopis atau Chitala lopis ,yang dinyatakan punah oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pada 2020, ternyata masih ada di Sungai Cisadane. Penelitian Arif Wibowo, Kepala Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Perikanan dan Perairan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bersama timnya menemukan belida lopis di Sungai Cisadane, Cikokol, Kota Tangerang, Banten, pada 25 September 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Penemuan kembali ikan Chitala lopis ini mengakhiri dua dekade kebingungan taksonomi dalam kelompok ini,” tulis Arif dalam makalah yang terbit di Journal of Endangered Species Research pada 30 November 2023. Penelitian ini merupakan kolaborasi para peneliti BRIN; Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO); Yayasan Selaras Hijau Indonesia; Universitas Jambi; Charles Sturt University, Australia; Museum Vienna, Austria; dan Universite´ de Montpellier, Prancis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebingungan taksonomi yang dimaksud Arif itu muncul karena minimnya studi dan adanya perbedaan pengklasifikasian jenis ikan belida Indonesia. Kurniawan, yang ikut dalam penelitian ini, mengatakan ilmuwan pertama yang menemukan belida Indonesia adalah Pieter Bleeker saat ia meneliti di Jawa pada 1851. Bleeker hanya menemukan satu jenis ikan belida, Chitala lopis, yang spesimennya kini tersimpan di Natural History Museum di London, Inggris. Selain Chitala lopis, menurut Bleeker, terdapat Chitala borneensis (belida Borneo) dan Chitala hypselonotus (belida Sumatera).

Klasifikasi belida versi Bleeker dibantah Tyson R. Roberts dari California Academy of Sciences pada 1992. “Menurut dia, jenis belida Indonesia hanya Chitala lopis. Adapun C. borneensis dan C. hypselonotus bagian dari siklus hidup C. lopis,” kata Kurniawan di kantornya di Kawasan Sains Terpadu Soekarno di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 11 Desember 2023. “Roberts meneliti C. lopis di Sungai Kapuas berdasarkan warna dan ukuran,” tutur Ketua Kelompok Riset Restorasi Ekosistem Perairan di Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Perikanan dan Perairan Darat tersebut.

Menurut Kurniawan, banyak yang ragu terhadap Roberts karena hanya bersandarkan pada tujuh sampel. Salah satu penolak Roberts adalah Maurice Kottelat, ahli perikanan atau iktiologis dari Université de Neuchâtel, Swiss, yang meneliti belida di Sungai Kapuas dan Taman Nasional Danau Sentarum di Kalimantan Barat pada 2005. “Kottelat menemukan C. borneensis, C. hypselonotus, dan C. lopis. Menurut dia, C. borneensis dan C. hypselonotus merupakan spesies tersendiri,” ujar kandidat doktor Charles Sturt University, Australia, ini.

Kottelat, Kurniawan melanjutkan, menegaskan dalam publikasinya bahwa klasifikasi spesies Chitala itu masih tentatif karena penelitiannya hanya dilakukan di dua lokasi. Menurut Kurniawan, untuk memastikan taksonomi jenis Chitala itu, diperlukan konfirmasi dengan mengumpulkan lebih banyak spesimen yang berkondisi baik dari habitat dan populasi ikan yang representatif. Sejak 2005, riset belida di Indonesia berhenti. “Kami kaget tiba-tiba IUCN pada 2020 menyatakan Chitala lopis punah,” tuturnya.

Kurniawan makin terkejut karena IUCN menetapkan status konservasi belida lopis itu berdasarkan publikasi Heok Hee Ng dari National University of Singapore. “Kami mengontak Heok Hee Ng untuk mengajak berkolaborasi riset. Ia mengaku bukan ahli belida, tapi lele (catfish),” ujar Kurniawan. “Ihwal kesimpulan mengenai Chitala lopis telah punah itu dikutip Heok Hee Ng dari publikasi Hadi Dahruddin dan Kottelat.”

“Pak Hadi memang mempublikasikan penelitian tentang ikan di Jawa dan Bali secara umum pada 2017. Jadi bukan penelitian belida. Ia hanya menyebut Chitala lopis sudah tidak ditemukan di Jawa,” kata Kurniawan tentang penelitian Hadi, yang kini bergabung dengan Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN dan ikut bersamanya dalam penelitian belida. “Kottelat juga mengatakan yang sama, bahwa di Jawa sudah tidak ada informasi tentang belida lagi.”

Sebenarnya, Kurniawan menambahkan, IUCN hanya menetapkan kepunahan belida lopis di pantai utara Jawa, dari Tangerang di Banten sampai Semarang di Jawa Tengah. “Jadi tidak seluruh Jawa, apalagi seluruh Indonesia,” ucapnya. Karena itu, penelitian belida bermula dari area tempat ikan itu dinyatakan punah oleh IUCN. “Kami melakukan survei dari Cisadane, Ciliwung, Citarum, sampai sungai di Semarang,” katanya tentang riset yang didanai FAO sejak 2021 itu.

Kurniawan, Kelompok Riset Restorasi Ekosistem Perairan pada Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Perikanan dan Perairan Darat/Tempo/Dody Hidayat

Kurniawan bercerita, sejak ditunjuk kantornya—dulu bernama Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan—sebagai koordinator penelitian belida, ia mencari induk ikan tersebut. Ia mendapat informasi bahwa belida ada di Sungai Cipunagara, Indramayu, Jawa Barat, lalu mendatanginya. “Saya surprised mendengar ada belida di Jawa. Ternyata bukan jenis Chitala, melainkan Notopterus notopterus.”

Belida masuk famili atau suku Notopteridae. Famili ini terdiri atas empat genus, yakni Chitala, Notopterus, Papyrocranus, dan Xenomystus. Di Indonesia hanya ada dua genus yang pertama. Genus Chitala memiliki enam spesies, yakni Chitala chitala, Chitala ornata, Chitala blanci, serta tiga spesies lain yang semuanya ada di Indonesia. Adapun genus Notopterus hanya memiliki satu spesies, Notopterus notopterus, yang di Indonesia dikenal sebagai putak atau belida Jawa.

Menurut Kurniawan, tanda keberadaan Chitala lopis di Sungai Cisadane ada sejak 2008, ketika Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar melakukan riset domestikasi belida. “Waktu itu peneliti mengambil belida dari Sungai Cisadane. Mereka memberi nama belida itu Notopterus chitala,” ujar Kurniawan, yang meraih gelar master of science aquaculture dari College of Sciences and Engineering Flinders University, Australia, pada 2018.

Setelah berulang kali melakukan survei di Cisadane, timnya akhirnya berhasil menangkap seekor belida lopis. Menurut Kurniawan, tim bekerja sama dengan tiga nelayan perairan tawar yang memasang bubu atau perangkap ikan di tiga lokasi selama satu pekan. Ternyata hanya satu bubu yang dapat memerangkap belida. “Kami tidak mau gegabah mengklaim itu Chitala lopis sebelum ada analisis morfologi yang detail dan analisis genetika,” tutur Kurniawan.

Kurniawan menjelaskan, ada 50 sungai yang mereka survei yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. “Dari 50 sungai itu, 34 sungai memiliki jenis Chitala,” ujarnya. “Berdasarkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kami menangkap 150 spesimen. Sekitar 60 spesimen hidup sekarang tersimpan di Animalium milik BRIN.”

Untuk analisis genetika, kata Kurniawan, mereka mengumpulkan 151 sekuens asam deoksiribonukleat (DNA) ikan belida dari berbagai jenis. “Sebanyak 103 sekuens yang baru, sedangkan 48 lainnya berasal dari penelitian lama di Paparan Sunda,” ucapnya. Menurut dia, sekuens DNA dari gen sitokrom C oksidase 1 (CO1) lazim dipakai untuk mendeteksi spesies. “Kami juga mengajak Pak Nicolas Hubert dari Universite´ de Montpellier yang memiliki koleksi DNA sekuens Chitala borneensis.”

Tim, Kurniawan melanjutkan, juga menggaet Harald Arnelt, ahli morfologi ikan dari Museum Vienna, Austria, yang memiliki akses ke spesimen Bleeker di Natural History Museum, London. “Supaya dunia tahu riset ini bukan klaim Indonesia saja, tapi ada ahli-ahli dunia yang juga terlibat,” tutur Kurniawan. “Akhirnya, setelah kami mencocokkan semua sampel, baik secara morfologi maupun barcode DNA, betul yang di Sungai Cisadane itu adalah Chitala lopis.”

Bila mengamati dengan saksama, kata Kurniawan, secara morfologi, belida lopis dapat dibedakan dengan dua Chitala lain. Menurut dia, lebar mulut C. borneensis dan C. hypselonotus pas sampai mata, sementara mulut C. lopis melewati belakang mata. Di sepanjang sirip bawah C. borneensis juga ada bintik-bintik kecil. “Kalau membedakan Chitala dan Notopterus dari lekukan kepalanya, Chitala lebih melekuk.”

Setelah publikasi ini, yang harus dilakukan adalah meninjau ulang status konservasi belida lopis di Daftar Merah Spesies Terancam IUCN. “Kami akan mengirimkan surat ke IUCN untuk mengasesmen ulang bahwa Chitala lopis tidak punah,” ujar Kurniawan. Selain itu, status C. borneensis dan C. hypselonotus perlu dinaikkan dari saat ini berisiko rendah (least concern) karena penelitian ini menunjukkan keduanya berisiko punah.

Menurut mereka, C. borneensis tersebar luas, tapi sangat jarang teramati selama penelitian. Ini membuat spesies tersebut rentan. “Yang lebih memprihatinkan adalah C. hypselonotus, yang tidak tertangkap dalam penelitian ini meskipun sudah banyak upaya dilakukan,” tulis tim peneliti dalam makalah. “Chitala hypselonotus terakhir ditemukan di Sungai Musi pada 2015,” kata Arif Wibowo dalam pernyataan pers.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Firdaus Agung Kunto Kurniawan mengungkapkan, mereka akan melakukan koordinasi dan konsolidasi data serta informasi dengan otoritas ilmiah (BRIN) dulu. “Setelah itu baru menyusun dan menetapkan langkah-langkah untuk tingkat nasional dan internasional,” ucap Firdaus melalui pesan WhatsApp pada 11 Desember 2023.

Menteri Kelautan dan Perikanan pada 4 Januari 2021 menerbitkan Keputusan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi. Keputusan itu menetapkan 19 jenis ikan dengan perlindungan penuh, termasuk C. lopis, C. hypselonotus, C. borneensis, dan N. notopterus. Sesuai dengan Undang-Undang Perikanan, penangkap belida dikenai denda Rp 250 juta, sementara pengepul atau penadah dijatuhi denda Rp 1,5 miliar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Masih Ada Belida di Cisadane"

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus