Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di hutan Toloulaggo di Desa Katurei, Siberut Barat Daya, Kepulauan Mentawai, dapat ditemukan simakobu berbulu keemasan atau simabulou yang sangat langka.
Keanekaragaman hayati di hutan Toloulaggo dapat mewakili keberagaman flora dan fauna yang ada di Pulau Siberut.
Hutan Toloulaggo sangat tepat untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata bagi pengamat serta peneliti primata dan burung.
PAGI hari di hutan Toloulaggo yang senyap, di atas pohon keruing setinggi 20 meter, tampak dua simakobu remaja dengan warna yang kontras berkejaran di atas dahan. Simakobu berbulu keemasan yang sangat indah dikejar oleh simakobu berwarna hitam kelabu yang badannya lebih kecil. Sang induk primata yang berwarna hitam kelabu duduk di tajuk pohon. Ia mengawasi kedua anaknya sambil menikmati pucuk daun keruing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyadari kehadiran manusia yang mengawasi mereka dari bawah pohon, induk simakobu langsung melompat dan berpindah ke pohon tumung di sebelahnya. Ia terus berpindah ke pohon-pohon lain di area itu. Mungkin instingnya untuk menyelamatkan kedua anaknya dari ancaman perburuan membuatnya berpindah-pindah buat menarik perhatian. Kedua simakobu muda pun tak terlihat lagi, mungkin bersembunyi di balik kanopi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Simakobu (Simias concolor) salah satu primata endemis di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Primata ini masuk daftar 25 primata paling terancam di dunia menurut Kelompok Spesialis Primata Uni Internasional untuk Konservasi Alam (PSG-IUCN). Ancaman utama yang dihadapi fauna ini adalah perburuan dan deforestasi. Simakobu keemasan yang dinamai simabulou sangat jarang terlihat. Salah satu yang sering menjadi tempat ditemukannya simabulou adalah hutan Toloulaggo di Dusun Toloulaggo, Katurei, Siberut Barat Daya.
Ismael Saumanuk, pegiat konservasi dari Malinggai Uma Mentawai, saat mengamati primata di hutan Toloulaggo pada Selasa, 28 Maret lalu, mengatakan sangat sedikit penelitian tentang simabulou karena hewan itu amat langka. “Jadi belum ada yang tahu mengapa di lokasi tertentu dalam satu kelompok simakobu yang hitam kelabu terdapat seekor simakobu keemasan,” ujarnya. Selama belasan tahun mengamati primata Mentawai, ini kedua kalinya Ismael berjumpa dengan simabulou. Perjumpaan itu hanya terjadi di hutan Toloulaggo.
Celepuk Mentawai, burung hantu endemik Mentawai di hutan Toloulaggo/Imam Taufiqurrahman/Swara Owa
Hutan Toloulaggo terdiri atas hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6.100 hektare dan hutan produksi seluas 606 hektare. Kawasan hutan yang terbentang dari pantai Teluk Katurei hingga bukit-bukit yang tinggi di belakangnya ini merupakan salah satu habitat penting empat primata endemis Mentawai di Pulau Siberut yang ada di luar Taman Nasional Siberut. Tiga primata endemis Mentawai lain adalah bokkoi (Macaca siberu), joja (Presbytis potenziani), dan bilou (Hylobates klossii).
Hutan Toloulaggo termasuk hutan sekunder, tapi masih banyak pohon dipterocarpaceae (suku meranti-merantian) yang menjadi tempat hidup dan tempat makanan keempat jenis primata. Berbagai jenis burung juga masih sering teramati di hutan Toloulaggo, termasuk dua jenis burung endemis Mentawai, kadalan birah Mentawai (Phaenicophaeus curvirostris) dan celepuk Mentawai (Otus mentawi).
Imam Taufiqurrahman, peneliti burung dari Yayasan Swara Owa, mengatakan jenis burung yang teramati di Toloulaggo sekitar 50 jenis. Ada burung endemis Mentawai dan sub-endemis Mentawai, juga burung yang bukan hewan endemis yang sebarannya luas di Sumatera. “Dari 178 jenis burung di Kepulauan Mentawai, 50 jenis bisa kita amati di Toloulaggo. Itu jumlah yang cukup besar,” kata Imam, yang ikut dalam kegiatan pengamatan di hutan Toloulaggo pada akhir Maret lalu.
Simakobu/Imam Taufiqurrahman/Swara Owa
Keanekaragaman hayati di hutan Toloulaggo, selain burung, adalah berbagai jenis ular, katak, capung, kupu-kupu, bajing terbang, dan musang. Selain itu, terdapat berbagai jenis anggrek, dari yang berukuran besar hingga mini. Bahkan dalam satu pohon bisa menempel enam jenis anggrek. “Sudah banyak peneliti primata, anggrek, kupu-kupu, dan ular yang datang ke Toloulaggo. Juga ada turis asing yang hanya ingin melihat bajing terbang dan musang,” ucap Damianus Tateburuk, Ketua Malinggai Uma Mentawai.
Menurut Damianus, keanekaragaman hayati di hutan Toloulaggo bisa mewakili flora-fauna di Pulau Siberut yang unik, bahkan untuk semua jenis mamalia endemis seperti primata, musang, dan bajing terbang serta burung endemis seperti kadalan birah Mentawai dan celepuk Mentawai. “Toloulaggo seperti Siberut kecil. Kawasan ini sangat tepat untuk dikembangkan menjadi tempat ekowisata bagi pengamat primata, pengamat burung, dan peneliti,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo