Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Makna Fabel dalam Relief Candi Sojiwan

Dona Prawita Arissuta mengadaptasi kisah fabel relief Candi Sojiwan dalam disertasi. Muncul dalam lukisan di keramik.

 

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran keramik karya Dona Prawita Arissuta.

  • Mengadaptasi kisah fabel dari relief Candi Sojiwan.

  • Diwujudkan dalam lukisan keramik benda keseharian.

SEBAGAI candi Buddhis, Candi Sojiwan terkenal karena relief-reliefnya yang menampilkan dunia fabel. Candi itu berlokasi di Desa Kebon Ndalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Berdasarkan catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, candi tersebut diperkirakan dibangun antara 842 dan 850 Masehi dan ditemukan pada 1813.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah-kisah fabel yang terpatri di Sojiwan berasal dari cerita Jataka. Jataka adalah kisah kehidupan masa lalu Buddha sebelum ia lahir menjadi Sakyamuni. Di masa-masa kelahirannya terdahulu, Buddha menjadi hewan. Karena berbuat kebajikan terus-menerus, akhirnya ia bisa terlahir sebagai manusia dan menjadi Bodhisatwa. Terdapat 17 relief di Candi Sojiwan. Sebanyak 14 relief masih bisa diamati dengan jelas. Fabel yang terpahat di antaranya kisah tentang angsa dan kura-kura, kura-kura dan garuda, kera dan buaya, serta serigala dan banteng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dona Prawita Arissuta, keramikus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jatuh hati pada fabel-fabel relief Sojiwan. Apalagi kisah fabel sangat dekat dengan dunia anak-anak lewat dongeng. Ia pun menjadikan relief Candi Sojiwan sebagai bahan disertasinya untuk meraih gelar doktor dari Program Doktoral Jurusan Penciptaan Seni Pascasarjana ISI Yogyakarta. 

“Kisah kehidupan Buddha di masa-masa lalunya sangat menguras emosi. Untuk mencapai kebaikan, butuh proses panjang,” ujar Dona. Dona mengadaptasi kisah relief candi dalam gambar pada keramik. Disertasinya bertajuk “Adaptasi Kisah Relief Candi Sojiwan dalam Media Keramik Benda Keseharian”. Ia memamerkan keramik-keramiknya itu di Bentara Budaya Yogyakarta pada 4-11 April 2023. Dona hanya mengambil lima dari 14 kisah, yakni kisah ketam membalas budi, kera dan buaya, pertarungan singa dan lembu jantan, perempuan dan serigala, serta gajah dan ranting pohon. 

Lima kisah itu mewakili rasa rindu dan bersalahnya lantaran terpisah jarak dengan dua anak kembarnya. Dona berada di Yogyakarta, sedangkan kedua bocah kembarnya tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat, bersama suami dan keluarga besarnya. Semula ibu dan anak itu bisa betah berjam-jam berbincang, mendongeng, dan saling menatap lewat video call. Saat kedua anaknya menginjak kelas II sekolah dasar, Dona merasa dinomorduakan karena mereka lebih suka bermain dengan gawai. "Saya sampai merasa sudah disingkirkan,” ucap Dona, mengenang awal mulanya berkarya saat ditemui selepas pembukaan pameran.

Karya keramik Dona Prawita Arissuta yang berjudul Palimpsest Series #10 di Bentara Budaya Yogyakarta, 4 April 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana

Ko-promotor Suwarno Wisetrotomo menyebutkan proses kreatif kriya Dona melalui riset, pengamatan saksama, pengamatan material, dan pengamatan terhadap dua anak kembarnya hingga ia membuat kisah yang diadaptasi dari relief Candi Sojiwan begitu menubuh pada dirinya. “Dona melibatkan diri habis-habisan,” kata Suwarno pada saat pembukaan pameran.

Tahap proses kreatif Dona menarik. Ia mulai mengeksplorasi Candi Sojiwan pada Januari 2021 dan sempat terhalang pandemi Covid-19. Setelah akses dibuka, Dona memotret relief-relief itu dan dibuatlah sketsa. Ada tiga tahap pembuatan sketsa. Sketsa dari tiap tahap juga dipajang dalam pigura pada dinding ruang pamer Bentara Budaya. Pertama, sketsa adaptasi relief Candi Sojiwan. Sketsa dengan pena itu mengadaptasi persis lima kisah dalam relief ke atas kertas. Adaptasi hanya berfokus pada gambar obyek makhluk hidup, yakni hewan, manusia, dan tumbuhan, di sana. 

Lihatlah kera yang duduk di atas punggung buaya dalam kisah kera dan buaya. Lalu gajah yang menggulung sepotong ranting pohon dengan belalainya serta ketam yang merangkul angsa dan ular masing-masing dengan capitnya. Ada pula singa yang menerkam lembu dan serigala yang duduk menemani seorang perempuan yang tengah menjemur ikan. Dua kuntum kembang tumbuh di antara mereka.

Dona lantas mengembangkan sketsa awal menjadi gambar lebih detail. Misalnya sketsa ular yang menunjukkan detail arsiran sisik-sisik kulitnya. Begitu pun sketsa kera yang terlihat lucu karena mengenakan pakaian bercorak batik. Adapun singa pada sketsa jadi tak terlihat garang karena surainya bermotif daun. Sementara itu, si gadis tampak cantik dengan rambut tebal dan panjang membalut tubuhnya.

Tahap kedua adalah menjadikan sketsa hitam-putih itu penuh warna. Tahap ketiga, ia memindahkan gambar sketsa tersebut pada sketsa bergambar benda-benda keseharian, seperti piring, gelas, mangkuk, talenan, cermin, kendi, dakon, dan guci. Ia mendatangkan tanah liat dari Dusun Pagerjurang, Kecamatan Wedi, Klaten; dan Dusun Tancep, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam karya sebelumnya, ia biasa mengambil tanah liat dari Sukabumi, Jawa Barat. Dona merasa sebagai "pencipta", sementara tanah liat adalah benda.

Dari pengambilan material, ia merasa menyatu dengan bahan baku karyanya. Apalagi masyarakat di kedua dusun merupakan penghasil kerajinan gerabah. “Saya baru (bisa) menyelami bersatu dengan material, bahwa material itu sejajar dengan saya,” tuturnya. Material dari kedua dusun itu pun dipilih karena tanah liat di sana punya kekhasan. Tanah liat di Pagerjurang berwarna cokelat-kehitaman dan di Tancep berkelir putih-krem. Pemilihan tanah liat keduanya juga berpengaruh pada pewarnaan keramik-keramik tersebut nantinya.

Untuk menyulap adonan lempung menjadi gelas, piring, dan perkakas sehari-hari lain, Dona mengaku hanya membutuhkan waktu 30 menit. Namun proses selanjutnya berupa pengeringan di bawah sinar matahari menjadi biskuit, pembakaran biskuit, pewarnaan, lalu pembakaran lagi membutuhkan waktu lama. "Total pembakaran sampai sembilan jam,” ujar Dona, yang mengerjakan proyek disertasi itu selama dua tahun. 

Contoh lempung dan karya keramik setengah jadi dari Dona Prawita Arissuta yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 4 April 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana

Beragam biskuit aneka bentuk perkakas yang berwarna dasar cokelat dan putih itu dibakar dalam suhu 1.154 derajat Celsius. Pembakaran biskuit dengan suhu tinggi bertujuan membuat bakal keramik kuat dan keras membatu. Setelah pembakaran pertama, ia mengaplikasikan engobe pada biskuit dan menghasilkan biskuit yang cerah dan kinclong seperti porselen. Sedangkan keramik berwarna putih ia pulas dengan engobe putih.

Setelah itu, barulah Dona membuat gambar sesuai dengan sketsa yang dibuat sebelumnya pada bodi gerabah. Kemudian ia mewarnai gerabah-gerabah itu dengan pigment style dan glasir, yaitu cat khusus keramik dengan warna cerah dan mencolok seperti hitam, cokelat, merah, biru, dan hijau. Proses terakhir adalah pembakaran ulang.

Dona mengakui tak semua proses mewujudkan ratusan karyanya berjalan mulus sejak pengeringan hingga pembakaran. Saat pembakaran tahap akhir, keramik juga bisa retak, pecah, atau menyusut. Warnanya pun bisa berubah, bahkan hilang. “Seperti Candi Sojiwan, meski terbuat dari batu, bisa hilang, hancur, rusak karena dicuri, terkena hujan dan panas, keropos karena kadar asam yang tinggi,” tuturnya. Produk gagalnya pun turut dipajang dalam pameran.

Dona memilih karya keramik yang bersifat fungsional untuk digunakan dalam keseharian, imajinatif dengan ragam bentuk dan gambar. Karya itu terwujud dalam aneka piring, gelas, dan mangkok yang dipajang di meja; kendi-kendi air di rak-rak kayu; cermin dan talenan pada dinding; guci-guci di lantai; peluit-peluit berbentuk aneka satwa yang digantung di langit-langit; mainan dakon di meja makan mungil; serta aksesori keramik bermagnet yang ditempel mengepung dinding lemari es. 

Dona memberi lukisan pada setiap benda keramik. Ada gambar ular cokelat melingkar memenuhi piring. Ada moncong teko yang dilukis dengan moncong burung gagak. Ada wajah singa di piring kecil. Benda-benda keseharian dipilih karena membentuk suasana intim antar-anggota keluarga. Seperti Dona dan anak-anaknya. “Ada suasana sakral kedekatan sehari-hari. Sambil makan, saya bisa melihat proyeksi gambaran Dona yang bercerita tentang kura-kura, bangau, dan sebagainya,” kata budayawan Sindhunata saat membuka pameran.

Dari lima cerita itu, Dona membuat 14 seri yang diberi judul Palimpsest Series. Salah satu yang disukainya adalah gambar pada keramik guci padasan pada seri #10. Dona melukiskan anak kembarnya digendong kera masuk ke hutan. Di sisi lain, ia juga menyampaikan bahwa gambar itu merupakan simbol. Anak kecil adalah simbol kelahiran dan hutan merupakan simbol perjalanan hidup manusia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Fabel Candi Sojiwan di Atas Piring Keramik"

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus