Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hutan untuk rakyat?

Kongres kehutanan sedunia ke-8 diadakan di jakarta dengan tema hutan untuk rakyat. para kontraktor di indonesia belum melakukan kewajiban meremajakan hutan. sistem penebangan selektif, meruntuhkan pohon muda.

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES Kehutanan Sedunia ke-8 dibuka oleh Presiden Suharto, Senin. Sekitar 2000 peserta dari 82 negara -- termasuk RRC -- hadir di dalam dan di luar Balai Sidang Jakarta. Pertemuan 6 tahun sekali yang makan sekitar Rp 1 milyar ini akan membahas sekitar 555 kertas kerja, hingga tiap peserta akan menerima 20 kg bahan kongres. Dalam kata-kata Dirjen Kehutanan Soedjarwo, "2000 peserta akan menghabiskan sekitar 40 ton kertas." Itu artinya menghabiskan 800 sampai 1000 pohon cemara, yang kemudian dicincang, digiling, direbus, digilas dan dikeringkan menjadi kertas. Melihat kolosalnya kongres, banyak yang mengharap pertemuan akan dimanfaatkan betul oleh peserta. Terutama oleh Indonesia sendiri. Sebab tema kongres cukup menantang: "Hutan untuk Rakyat." Mungkin saamya memang sudah tepat. Selama ini banyak kritik, bahwa untuk penghasilan negara di luar sektor minyak -- dan sekalipun untuk mereka yang menguasai hutan-hutan produktif dari Sabang hingga Merauke-nasib hutan agak jadi terlantar. Sampai-sampai Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Aam (PPA), yang juga bernaung di bawah Ditjen Kehutanan, Departemen Pertanian, sampai saat ini masih kembang-kempis memperjuangkan perluasan areal hutan lindungan menjadi 12,46 juta Ha. Artinya: 10% dari seluruh areal hutan yang tercatat. Dan Muncullah Helikopter Menurut catatan resmi 1976, luas wilayah pengawasan PPA itu baru 2,6% dari seluruh kawasan hutan. Atau sekitar 3 juta Ha. Sementara itu, semenjak 1968, sekitar 400 pemegang HPH (hak pengusahaan hutan) telah dapat jatah 38,1 juta Ha hutan -- yang berarti sebagian besar dari seluruh hutan produksi yang 47 juta Ha luasnya. Dan intensitas penebangannya tak tanggung-tanggung. Mengungguli negara tetangga di bidang penebangan hutan, Indonesia diam-diam sudah memasuki tahap eksploitasi hutan dengan helikopter, yang sama seperti yang membantu mobilitas para pemburu minyak bumi. Sejak Juni yang lalu, gemertap baling-baling helikopter telah silang-selisih dengan deru gergaji mesin dan traktor penumpuk kayu di pedalaman Sulawesi Tengah, di leher tanah genting antara Palu dan Gunung Tinombala. Di sana, suatu usaha patungan antara orang Palu dan orang Jakarta, PT Sakura Abadi Timber Corporation, mengerahkan helikopter carterannya untuk mengangkut gelondongan kayu hitam (ebony). Perusahaan ini, sejak Mei lalu beruntung memperoleh konsesi hutan kayu hitam seluas 150 ribu Ha, di leher Kabupaten Donggala. Dalam sehari, kedua helikopter Bell 205 yang dicarter lewat Dirgantara Air Service (DAS) itu berhasil meneluarkan 120 ton kayu hitam sehari dari hutan, ke tongkang-tongkang di pantai timur dan barat Sulawesi Tengah. Boleh dikata, ini merupakan belicopter logging pertama yang sukses di Indonesia. (Tahun lalu, perusahaan Jayanti Jaya yang punya konsesi kayu meranti terbesar di Kalimantan Tengah mencoba juga mencarter helikopter, tapi kemudian batal lantaran harga meranti yang sekitar $AS 40/m3 terlalu murah untuk membayar sewa heli yang sampai mencapai $AS 850/jam. Trenggono, Komisaris PT Sakura Abadi, berbicara tentang helicopter logging, tak setuju kalau dikatakan bahwa teknologi mutakhir itu akan mengganggu kelestarian 'berlian hitam' dari Sul-Teng itu. "Sampai sekarang, kami belum melakukan penebangan sendiri. Kami sekedar menghabiskan stok lama yang ditinggalkan perusahaan yang terdahulu," kata Trenggono. Stok lama itu, ditaksirnya masih ada 40 ribu ton, tersembunyi di sela-sela hutan, gunung dan lembah. Namun Trenggono mengakui, kalau tiba saatnya stok lama itu habis dan Sakura mulai menebang kayu hitam sendiri, "kami belum punya rencana penghutanan kembali yang konkrit." Kenapa? "Terus terang, belum ada kepustakaan yang jelas tentang teknik penanaman kembali hutan ebony, dan Kehutanan pun belum memberi petunjuk teknis," kata pengusaha yang baru pertama kalinya berbisnis hutan ini. Kedengarannya memang aneh. Para ahli kehutanan sendiri belum cukup tahu tentang seluk-beluk kayu hitam, tapi toh Dirjen Kehutanan -- yang juga membawahi Direktorat PPA -- sudah memberikan izin penebangan. Padahal, peremajaan selalu diwajibkan dalam perjanjian antara pemerintah dan pengusaha, yang harus ditandatangani dulu sebelum keluarnya SK Menteri Pertanian tentang pemberian HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Namun rupanya itu bukan keanehan baru. Konsesi penebangan kayu damar di seputar Danau Lindu, juga di Sul-Teng, pernah diberikan Menteri Pertanian walaupun ada rencana PPA menjadikannya bagian dari Taman Nasional Lore Kalamanta. Sukurlah, konsesi itu kemudian dicabut kembali oleh Menteri Pertanian, atas desakan Menteri Negara PPLH (TEMPO, 23 September). Menteri Pertanian yang sekarang sendiri, Prof. Sudarsono Hadisaputro, dalam wawancaranya dengan Sinar Harapan di Bali dua minggu lalu juga mengecam para kontraktor hutan yang dikatakannya "belum melakukan kewajiban meremajakan hutan yang sudah ditebang." Dan kepada TEMPO, seorang pejabat Ekuin mengungkapkan banyak efek negatif dari penebangan hutan secara mekanis. Pertama-tama, sistim penebangan selektif yang secara teoritis hanya membolehkan pohon berdiameter 40 atau 50 cm ditebang, dalam praktek banyak dilanggar. Mungkin karena sebab teknis: pohon besar setinggi 200 meter yang tumbang ikut meruntuhkan pohon-pohon muda. Penebangan raksasa-raksasa yang tingginya sampai ratusan meter itu, juga menghilangkan langit-langit hutan yang menyaring sinar matahari. Akibatnya, tumbuhan merambat semakin tumbuh ke atas meliliti pohon-pohon yang tersisa, dan ini pun menghalangi peremajaan hutan. Di samping itu, pengusaha hanya tertarik untuk menebang pohon yang laris, misalnya meranti, ramin, ebony dan agathis itu. Di kemudian hari peremajaan alamiah hanya akan menghasilkan hutan-hutan yang jenis pohon larisnya tak ada lagi. Untuk Orang Utan? Memang, ada juga satu dua pengusaha yang melakukan penanaman kembali. Tapi banyak juga kegiatan penanaman pohon-pohon muda kembali itu hanya dilakukan sepanjang jalan-jalan pengangkut kayu demi melindungi tubuh jalan yang tak diaspal itu. Atau sebagai pameran bagi para petugas Kehutanan yang sekali-sekali datang meninjau. Dan berbarengan dengan menciutnya hutan tropis basah yang belum terjamah, margasatwa dan suku penghuni hutan asli pun secara pelan tapi pasti tersingkir ke pinggir. Gejala harimau masuk kampung (lihat Box), dapat dilihat sebagai satu pertanda habisnya tempat tinggal harimau di punggung Bukit Barisan. Terutama di perbatasan propinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Barat. Juga populasi orang utan di Sumatera dan Kalimantan semakin merosot seiring dengan penebangan hutan secara mekanis. Seperti dikemukakan oleh Regina Frey dari tim WWF Indonesia dalam simposium Biotrop di Bogor, beberapa waktu lalu: "Pengambilan 10% pohon di hutan, praktis akan merusak 55% tumbuh-tumbuhan lainnya. Termasuk dahan-dahan yang bersliweran, akar-akar bergantung dan tanaman jenis liana, yang sangat penting sebagai tempat orang utan bermukim dan bermain. Semua itu hancur karena kegiatan penebangan hutan." Jika didengar sepintas lalu ucapan ini, memang seolah-olah hutan didesakkan hanya untuk kepentingan orang utan, bukan untuk manusia. Tapi sukar dibantah bahwa terdesaknya orang utan atau margasatwa lain dari tempat alamiahnya menunjukkan guncangnya keselarasan lingkungan dalam ukuran yang dahsyat. Hutan yang binasa, tanah yang jadi tandus dan sunyi, dengan cepat akan jadi pemandangan di mana-mana. Lalu berjangkitlah krisis. Krisis itukah yang untuk rakyat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus