KONGRES Kehutanan Sedunia ke-8 dibuka oleh Presiden Suharto,
Senin. Sekitar 2000 peserta dari 82 negara -- termasuk RRC --
hadir di dalam dan di luar Balai Sidang Jakarta.
Pertemuan 6 tahun sekali yang makan sekitar Rp 1 milyar ini akan
membahas sekitar 555 kertas kerja, hingga tiap peserta akan
menerima 20 kg bahan kongres. Dalam kata-kata Dirjen Kehutanan
Soedjarwo, "2000 peserta akan menghabiskan sekitar 40 ton
kertas." Itu artinya menghabiskan 800 sampai 1000 pohon cemara,
yang kemudian dicincang, digiling, direbus, digilas dan
dikeringkan menjadi kertas.
Melihat kolosalnya kongres, banyak yang mengharap pertemuan akan
dimanfaatkan betul oleh peserta. Terutama oleh Indonesia
sendiri. Sebab tema kongres cukup menantang: "Hutan untuk
Rakyat."
Mungkin saamya memang sudah tepat. Selama ini banyak kritik,
bahwa untuk penghasilan negara di luar sektor minyak -- dan
sekalipun untuk mereka yang menguasai hutan-hutan produktif dari
Sabang hingga Merauke-nasib hutan agak jadi terlantar.
Sampai-sampai Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Aam (PPA),
yang juga bernaung di bawah Ditjen Kehutanan, Departemen
Pertanian, sampai saat ini masih kembang-kempis memperjuangkan
perluasan areal hutan lindungan menjadi 12,46 juta Ha. Artinya:
10% dari seluruh areal hutan yang tercatat.
Dan Muncullah Helikopter
Menurut catatan resmi 1976, luas wilayah pengawasan PPA itu baru
2,6% dari seluruh kawasan hutan. Atau sekitar 3 juta Ha.
Sementara itu, semenjak 1968, sekitar 400 pemegang HPH (hak
pengusahaan hutan) telah dapat jatah 38,1 juta Ha hutan -- yang
berarti sebagian besar dari seluruh hutan produksi yang 47 juta
Ha luasnya.
Dan intensitas penebangannya tak tanggung-tanggung. Mengungguli
negara tetangga di bidang penebangan hutan, Indonesia diam-diam
sudah memasuki tahap eksploitasi hutan dengan helikopter, yang
sama seperti yang membantu mobilitas para pemburu minyak bumi.
Sejak Juni yang lalu, gemertap baling-baling helikopter telah
silang-selisih dengan deru gergaji mesin dan traktor penumpuk
kayu di pedalaman Sulawesi Tengah, di leher tanah genting antara
Palu dan Gunung Tinombala.
Di sana, suatu usaha patungan antara orang Palu dan orang
Jakarta, PT Sakura Abadi Timber Corporation, mengerahkan
helikopter carterannya untuk mengangkut gelondongan kayu hitam
(ebony). Perusahaan ini, sejak Mei lalu beruntung memperoleh
konsesi hutan kayu hitam seluas 150 ribu Ha, di leher Kabupaten
Donggala.
Dalam sehari, kedua helikopter Bell 205 yang dicarter lewat
Dirgantara Air Service (DAS) itu berhasil meneluarkan 120 ton
kayu hitam sehari dari hutan, ke tongkang-tongkang di pantai
timur dan barat Sulawesi Tengah.
Boleh dikata, ini merupakan belicopter logging pertama yang
sukses di Indonesia. (Tahun lalu, perusahaan Jayanti Jaya yang
punya konsesi kayu meranti terbesar di Kalimantan Tengah mencoba
juga mencarter helikopter, tapi kemudian batal lantaran harga
meranti yang sekitar $AS 40/m3 terlalu murah untuk membayar sewa
heli yang sampai mencapai $AS 850/jam.
Trenggono, Komisaris PT Sakura Abadi, berbicara tentang
helicopter logging, tak setuju kalau dikatakan bahwa teknologi
mutakhir itu akan mengganggu kelestarian 'berlian hitam' dari
Sul-Teng itu. "Sampai sekarang, kami belum melakukan penebangan
sendiri. Kami sekedar menghabiskan stok lama yang ditinggalkan
perusahaan yang terdahulu," kata Trenggono. Stok lama itu,
ditaksirnya masih ada 40 ribu ton, tersembunyi di sela-sela
hutan, gunung dan lembah.
Namun Trenggono mengakui, kalau tiba saatnya stok lama itu habis
dan Sakura mulai menebang kayu hitam sendiri, "kami belum punya
rencana penghutanan kembali yang konkrit." Kenapa? "Terus
terang, belum ada kepustakaan yang jelas tentang teknik
penanaman kembali hutan ebony, dan Kehutanan pun belum memberi
petunjuk teknis," kata pengusaha yang baru pertama kalinya
berbisnis hutan ini.
Kedengarannya memang aneh. Para ahli kehutanan sendiri belum
cukup tahu tentang seluk-beluk kayu hitam, tapi toh Dirjen
Kehutanan -- yang juga membawahi Direktorat PPA -- sudah
memberikan izin penebangan. Padahal, peremajaan selalu
diwajibkan dalam perjanjian antara pemerintah dan pengusaha,
yang harus ditandatangani dulu sebelum keluarnya SK Menteri
Pertanian tentang pemberian HPH (Hak Pengusahaan Hutan).
Namun rupanya itu bukan keanehan baru. Konsesi penebangan kayu
damar di seputar Danau Lindu, juga di Sul-Teng, pernah diberikan
Menteri Pertanian walaupun ada rencana PPA menjadikannya bagian
dari Taman Nasional Lore Kalamanta. Sukurlah, konsesi itu
kemudian dicabut kembali oleh Menteri Pertanian, atas desakan
Menteri Negara PPLH (TEMPO, 23 September).
Menteri Pertanian yang sekarang sendiri, Prof. Sudarsono
Hadisaputro, dalam wawancaranya dengan Sinar Harapan di Bali dua
minggu lalu juga mengecam para kontraktor hutan yang
dikatakannya "belum melakukan kewajiban meremajakan hutan yang
sudah ditebang." Dan kepada TEMPO, seorang pejabat Ekuin
mengungkapkan banyak efek negatif dari penebangan hutan secara
mekanis.
Pertama-tama, sistim penebangan selektif yang secara teoritis
hanya membolehkan pohon berdiameter 40 atau 50 cm ditebang,
dalam praktek banyak dilanggar. Mungkin karena sebab teknis:
pohon besar setinggi 200 meter yang tumbang ikut meruntuhkan
pohon-pohon muda. Penebangan raksasa-raksasa yang tingginya
sampai ratusan meter itu, juga menghilangkan langit-langit hutan
yang menyaring sinar matahari.
Akibatnya, tumbuhan merambat semakin tumbuh ke atas meliliti
pohon-pohon yang tersisa, dan ini pun menghalangi peremajaan
hutan. Di samping itu, pengusaha hanya tertarik untuk menebang
pohon yang laris, misalnya meranti, ramin, ebony dan agathis
itu. Di kemudian hari peremajaan alamiah hanya akan menghasilkan
hutan-hutan yang jenis pohon larisnya tak ada lagi.
Untuk Orang Utan?
Memang, ada juga satu dua pengusaha yang melakukan penanaman
kembali. Tapi banyak juga kegiatan penanaman pohon-pohon muda
kembali itu hanya dilakukan sepanjang jalan-jalan pengangkut
kayu demi melindungi tubuh jalan yang tak diaspal itu. Atau
sebagai pameran bagi para petugas Kehutanan yang sekali-sekali
datang meninjau.
Dan berbarengan dengan menciutnya hutan tropis basah yang belum
terjamah, margasatwa dan suku penghuni hutan asli pun secara
pelan tapi pasti tersingkir ke pinggir. Gejala harimau masuk
kampung (lihat Box), dapat dilihat sebagai satu pertanda
habisnya tempat tinggal harimau di punggung Bukit Barisan.
Terutama di perbatasan propinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
Juga populasi orang utan di Sumatera dan Kalimantan semakin
merosot seiring dengan penebangan hutan secara mekanis. Seperti
dikemukakan oleh Regina Frey dari tim WWF Indonesia dalam
simposium Biotrop di Bogor, beberapa waktu lalu: "Pengambilan
10% pohon di hutan, praktis akan merusak 55% tumbuh-tumbuhan
lainnya. Termasuk dahan-dahan yang bersliweran, akar-akar
bergantung dan tanaman jenis liana, yang sangat penting sebagai
tempat orang utan bermukim dan bermain. Semua itu hancur karena
kegiatan penebangan hutan."
Jika didengar sepintas lalu ucapan ini, memang seolah-olah hutan
didesakkan hanya untuk kepentingan orang utan, bukan untuk
manusia. Tapi sukar dibantah bahwa terdesaknya orang utan atau
margasatwa lain dari tempat alamiahnya menunjukkan guncangnya
keselarasan lingkungan dalam ukuran yang dahsyat. Hutan yang
binasa, tanah yang jadi tandus dan sunyi, dengan cepat akan jadi
pemandangan di mana-mana. Lalu berjangkitlah krisis.
Krisis itukah yang untuk rakyat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini